Tittle:
FOREVER OURS.
Written
by: Brigita Yo’ella Beta Shela
Genre: Romance-Hurt,
Eternal Friendship.
Suitable
for: 14 years and above.
Length: 1 PART –
ONESHOOT - 6000++ WORDS.
Inspired
by: Reality Show “Friendzone” on MTV, Crush by David Archuleta, and emh—someone
out there.
Casts: Justin Drew Bieber, Tayla Victory Mason,
Scarlett Nic Montez, and others.
Caution: All the plots, quotes, and
characters are belong to me. Just do not try to steal this oneshoot or my
kepongers will slap your mouth. Happy jolly reading! :)
***
“Selamanya akan jadi milik kita, bukan?”
Wisconsin,
Januari 2013.
Justin
Bieber menghembuskan napasnya secara tertahan, sedang berusaha untuk menahan
sebuah serangan dingin yang menyelimuti kedua tangannya ketika ia mencoba untuk
berjalan menyusuri sebuah taman. Ia menggosokkan kedua tangannya, lalu
memasukannya ke dalam kedua kantung jaket tebalnya dan terduduk di sebuah kursi
yang berada di taman.
Musim
dingin di Wisconsin memang selalu begini, selalu tampak memilukan dan dingin
setengah mati. Sehingga rasanya kupluk warna cokelat dan jaket tebal warna
hitam yang dikenakannya terasa tak bisa menahan rasa dingin yang hampir
meremukkan tulang-tulangnya. Justin Bieber lantas mengambil tindakan dengan
merogoh saku jaketnya, mengambil satu puntung rokok dari sebuah kotak dan
kemudian menyulutnya dengan api. Ia selalu merasa bahwa rokok bisa menyembuhkan
apa saja. Bisa mengusirnya dari rasa gusar, menghalau kepanikan yang
menjadi-jadi, dan yang pastinya membuat tubuhnya terasa jauh lebih hangat.
Jangan merokok. Aku benci melihatmu merokok.
Justin
Bieber mengangkat kepalanya, langsung terkesiap kaget begitu suara itu bergema
di seluruh isi otaknya. Ia menghisap rokoknya sekali lagi, lantas
menyelipkannya di antara jari telunjuk dan jari tengahnya ketika suara itu
menggema dan jatuh bertubi-tubi dalam pikirannya.
Aku benci melihatmu merokok, Justin. Jangan
lakukan itu lagi.
Justin
Bieber mendesis, memejamkan kedua matanya dan berharap suara itu akan segera
menghilang secara magical dalam
sebuah lubang kecil di otaknya. Namun suara itu nyatanya masih berada disana,
memaksanya untuk berhenti menghisap puntung rokok itu dan menjatuhkannya ke
tanah. Justin Bieber menggigit bibir bawahnya saat ia melihat sebuah siluet abstrak
dalam pikirannya. Lantas dengan secepat kilat ia membuka matanya dan akhirnya
membuang puntung rokok itu ke tanah yang berlapiskan es. Dan seperti sebuah
sihir, suara itu akhirnya tak terdengar lagi.
Justin
tau persis siapa pemilik suara itu. Dan ia paling tau pemilik suara itu begitu
benci saat ia ketahuan menyulut puntung rokok dan menghisapnya berulang kali.
Ia paling tau bahwa pemilik suara itu hanya berusaha untuk melindunginya,
berusaha mengingatkannya bahwa kebiasaan buruk itu memang sudah seharusnya
dimusnahkan. Dan ia juga tau bahwa pemilik suara itu benar-benar mencintainya,
meskipun ia tau bahwa sudah terlambat baginya untuk menyadari.
Justin
mendesah, lalu mengedarkan pandangannya keseluruh penjuru taman yang sudah
hampir tak terurus ini. Hawa dingin masih terus mengusiknya ketika ia berusaha
untuk mengingat seluruh kejadian yang sering ia lewati di taman ini dulu.
Selamanya akan jadi milik kita, bukan? batinnya.
Justin
melenguh dan secara tiba-tiba, otaknya menyalurkan sebuah perintah untuk
mengingat semua kenangan itu… Sebuah permainan mengasyikkan yang selalu
membuatnya geli. Tangis pertama karena patah hati. Pelukan hangat yang tak
pernah dilewati. Janji-janji persahabatan yang tak pernah diingkari.
Harapan-harapan baru yang selalu muncul setiap hari. Dan sebuah cinta yang yang
muncul tanpa disadari.
Ia
paham betul bahwa tempat ini sudah jauh berubah sejak beberapa tahun lalu.
Semenjak ia meninggalkan Wisconsin dan pindah ke sebuah kota pewujud mimpi
bernama New York. Ia dalam hati meringis, menyadari betul bahwa seluruh kenangan
itu masih tersimpan rapi dalam memorinya.
Dan
kemudian janji-janji itu. Janji persahabatan yang akan selalu diingatnya. Janji
bahwa mereka akan selalu bersama selamanya. Janji bahwa mereka akan menaklukkan
dunia. Janji bahwa mereka akan saling menjaga apapun kondisinya. Dan juga janji
bahwa mereka tak akan pernah jatuh cinta pada akhirnya.
Namun
pada kenyataannya, janji itu memang diingkari, sehingga salah satu diantara
mereka merasa dikhianati. Lantas kalau sudah begini Justin bisa apa? Mengulangi
kembali seluruh kejadian yang tak akan pernah bisa diulang? Tentu saja
jawabannya tidak.
Karena
seperti apapun keadannya, janji memang hanyalah sebuah janji. Dan selamanya
pun, janji itu akan selalu diingkari….
--------
Wisconsin,
September 2006.
“Kepakkan
tanganmu, Tay!” ucap Justin setengah berteriak, “Gerakkan kakimu! Terus kayuh
dan tetap tahan napasmu di dalam air!”
Justin
mengigit bibir bawahnya, sementara matanya tertuju lurus pada seseorang yang
masih berada di kolam renang, sedang berenang menyeberangi kolam dengan
perlahan namun pasti. Justin mulai tersenyum saat seseorang itu sudah hampir
mencapai ujung kolam, namun ia mulai menyipitkan matanya ketika seseorang
itu mengangkat tangan dan kepalanya.
Lalu menyerukan namanya berulang kali dengan suara yang luar biasa tersengal.
“JUS-HTIN!”
ucap seseorang itu, sukses membuat Justin berlari menuju kolam dan langsung
menceburkan dirinya pada air kolam yang terasa dingin. Sempat terbersit rasa
cemas dan khawatir saat Justin menyaksikannya hampir tenggelam dan hampir
kehabisan napas. Namun Justin dengan professional mengepakkan tangannya di
dalam air, lalu meraih seseorang itu dan menariknya sampai ujung kolam.
“Tayla! Are you okay?” ucap Justin
ketika mereka berdua sudah terangkat dari air. Justin yang cemas luar biasa
lantas mendudukkannya di pinggiran kolam renang, menyaksikannya hampir
kehabisan napas dengan wajah yang merah bukan main.
“Tayla
jawab aku!” ketus Justin, “Apa kau baik-baik saja?”
Tayla
yang masih berada di pangkuan Justin lantas terbatuk, mengeluarkan sedikit air
dan mulai memegangi pundak Justin kuat-kuat. Dadanya terasa ngilu dan hidungnya
seakan-akan sudah meledak.
“Tayla!”
kata Justin lagi dengan suara sarat kekhawatiran, “Bicaralah!”
Tayla
memegangi pundak Justin sekali lagi, lalu menatapnya. “Dasar sinting!”
“Ah—syukurlah!”
desah Justin, lega karena akhirnya Tayla mampu angkat bicara. “
Kukira kau akan mati!”
Kukira kau akan mati!”
Tayla
terbatuk sekali lagi, lalu berusaha menatap Justin dengan tatapannya yang tajam
ketika Justin beringsut memeluknya dan menyematkan sebuah senyuman untuknya.
“Sahabat macam apa kau sehingga berharap aku mati?!”
Justin
mengerutkan keningnya. “Aku tidak berharap kau mati.” Katanya, “Aku hanya
mengira kau akan mati.”
“Itu
sama saja, bodoh!” tandas Tayla, lalu berusaha untuk duduk sambil terus
memegangi dadanya yang masih terasa ngilu. “Lagipula harus kubilang berapa kali
padamu bahwa aku tidak bisa berenang? Kau tau minggu lalu aku juga tenggelam di
tempat yang sama. Kau memang sinting karena kau menyuruhku untuk melakukannya
sekali lagi dan akupun hampir mati!”
Justin
tersenyum, lalu mengacak rambut Tayla yang setengah basah asal-asalan.
“Terserah saja apa katamu. Yang penting kau selamat!” kata Justin, lalu
mencubit kedua pipinya dan menariknya sesuka hati. Tayla mendengus, lalu
berusaha melepaskan kedua tangan Justin di pipinya ketika Justin menuntunnya
untuk berdiri dan berjalan ke sebuah tempat duduk yang ada di pinggir kolam
renang.
Tayla
dan Justin memang selalu begini. Mereka selalu bertengkar oleh masalah-masalah
kecil, selalu adu mulut dan saling
mengejek, namun pada akhirnya mereka akan kembali dan menyadari bahwa mereka
tidak bisa hidup tanpa satu sama lain.
Mereka
memang bersahabat. Persahabatan yang penuh warna itu mereka awali sejak empat
belas tahun yang lalu, saat usia mereka masih sama-sama empat tahun di pre-school. Waktu itu Tayla sedang
kebingungan di sekolahnya, mencari pasangan untuk diajak bergandengan tangan
untuk menyusuri lapangan sekolah karena memang begitulah peraturannya; mereka
harus mencari pasangan untuk bergandengan tangan dan tak diperbolehkan pulang
jika tidak melakukannya. Dan tanpa diundang, Justin akhirnya datang, dengan
giginya yang ompong dan rambut yang berwarna kuning terang. Dengan lugunya
Justin mengambil tangan Tayla dan menariknya untuk berjalan menyusuri lapangan
sekolah sebelum akhirnya diperbolehkan untuk pulang.
Dan
semenjak kejadian itu, Tayla selalu menghampiri Justin dan mengajaknya bermain
bersama. Mereka mempunyai satu kebiasaan untuk mengunjungi sebuah taman yang
ada di dekat sekolah jika kedua orang tua mereka terlambat menjemput. Dan
rutinitas itu masih mereka lakukan sampai sekarang, sampai mereka sama-sama
berusia delapan belas tahun dan mulai mengakhiri
masa SMA mereka yang menyenangkan.
Tayla
terbatuk sekali lagi, lalu mulai mengambil handuk yang berada di sebuah kursi
sebelum akhirnya mengusapkannya pada rambutnya yang basah. Ia mengambil sebotol
air minum, lalu meneguknya hingga tak bersisa dan kemudian menghampiri Justin.
“Apa
kabar Harvard?” kata Tayla sambil menyipitkan matanya, kemudian duduk di
sebelah Justin.
“Baik-baik
saja. Mereka sepertinya sudah tak sabar untuk menyambutku sebagai mahasiswa
baru.” Jawab Justin seraya mengedikkan bahu, “Apa kabar Notre Dame?”
Tayla
terkekeh, kemudian melemparkan pandangannya ke kolam renang pribadi milik
keluarga Justin sembari memikirkan sesuatu. Sebenarnya saat-saat ini bukanlah
saat yang tepat untuk membahas tempat kuliah apa yang akan mereka naungi nanti.
Saat ini adalah saat-saat yang tepat bagi mereka untuk menghabiskan waktu
sebagai sepasang sahabat—sebelum akhirnya mereka harus berpisah karena Harvard
terletak di New York sementara Notre Dame terletak di Indiana.
“Kau
tau bahwa aku membenci perbincangan ini, Justin.” Kata Tayla, lalu mendesah.
“Kau
hanya tidak mau menerima kenyataan bahwa kau harus berpisah denganku,” kata
Justin sambil menyengir kuda, “Itu kenyataannya.”
Tayla
memelototinya dengan tatapan sarkastik, lalu menoyor kepala Justin sebelum
akhirnya berkata, “Kau juga tidak akan bisa hidup tanpa aku.” Tandasnya, “Aku
tak bisa membayangkan hidupmu yang begitu hampa tanpa kehadiran sahabatmu yang
paling cantik ini. Selama empat tahun kedepan, tidak akan ada yang bisa
membuatmu tertawa lepas. Tidak ada yang akan datang kerumahmu jam tiga pagi
hanya untuk sebuah panekuk cokelat. Yaampun—pasti hidupmu luarbiasa hampa tanpa
kehadiranku.”
Justin
tergelak seketika, lalu menggelengkan kepalanya saat ia berjalan menuju sisi
kolam renang dan mengambil sekotak rokok yang terletak disana.
“Kau
tau aku menyayangimu, Tay,” ucap Justin, lalu menyelipkan sepuntung rokok di
bibirnya. “Namun bisakah kau berhenti mengatakan bahwa aku memang tidak bisa
hidup tanpamu?”
“Sudah berapa kali kubilang untuk tidak
merokok? Apa gunanya merokok, sih?”
Justin
menyipitkan kedua matanya, lalu berusaha untuk menyalakan pemantik api. “Kenapa
kita jadi merubah arah pembicaraan?”
“Kau
yang membuat arah pembicaraan jadi melenceng drastis.” Katanya, “Jangan
merokok, aku benci melihatmu merokok.”
Justin
mengangkat kedua alisnya, lalu bersiap untuk membuka mulut ketika ia mendengar
ponselnya berdering nyaring. Justin lantas
berjalan menuju sebuah meja yang ada di pinggir kolam, kemudian mengusap
ponselnya setelah sebelumnya sempat mengangkat telunjuknya—memberikan tanda
untuk Tayla bahwa ia harus diam sejenak.
“Hallo?”
kata Justin, lalu tiga detik kemudian senyumannya merekah. “Scarlett? Oh—hai!”
Tayla
diam-diam memutarkan kedua matanya, langsung mendengus hebat saat Justin
tiba-tiba berjalan menjauhinya untuk berbicara dengan Scarlett Montez—mantan flyer dan kapten cheerleader sekolah yang memiliki dada serta bokong yang besar.
Justin sudah lama menyukai Scarlett Montez, namun entah mengapa menjelang
kelulusan ini mereka baru bisa dekat. Tayla hanya bisa memiringkan senyumnya
ketika suatu kali Scarlett diboyong Justin ke markas mereka, dan menghabiskan
waktu di markas yang tak lain dan tak bukan adalah taman kesayangan mereka
dengan bermanja-manjaan bersama Justin.
Kalau
boleh jujur, dari dalam hatinya yang paling dalam, Tayla sama sekali tidak
menyukai Scarlett. Bukan karena dia seorang flyer,
dan bukan juga karena bokong dan dadanya yang seksi.
Tapi
karena Scarlett sudah berhasil merebut hati Justin sementara ia masih disini,
di tempat yang sama dan sama sekali tak bergerak untuk bisa meraih hati Justin
yang tak akan pernah terbuka untuknya.
“Scarlett
bilang apa?” tanya Tayla kemudian mendongak sesudah Justin muncul di hadapannya
dengan senyuman dan binaran lain di wajahnya.
“Dia
menerimanya, Tayla!”
Tayla
menegang seketika. “Menerima—apa?”
“Menerima
ajakanku untuk pergi ke prom!” kata Justin setengah berteriak, kemudian ia
menjerit histeris dan langsung memeluk tubuh Tayla. Rokok itu sudah hilang
entah kemana ketika akhirnya ia berteriak, “Akhirnya mimpiku terwujud juga
untuk pergi ke prom bersamanya!”
Tayla
merasakan sesuatu yang menohok ulu jantungnya saat Justin merengkuhnya dan
mengguncang-guncangkan tubuhnya. Perasaan ini bukan perasaan pertama yang ia
rasakan saat ia harus mendengar nama Scarlett terucap dari bibir Justin.
Mungkin ini adalah rasa sesak yang ke seribu karena ia harus memendam perasaan
itu. Perasaan cinta, yang entah
bagaimana caranya bisa menelusup dan hadir diantara persahabatan mereka.
“Dan
sekarang ia mengajakku untuk pergi ke bioskop. Aku akan bersiap-siap sekarang,
karena aku berjanji untuk menjemputnya satu jam lagi.” Sambung Justin ketika ia
melepaskan pelukan Tayla.
Tayla
memiringkan senyumnya, lalu mengangguk satu kali. “You better be ready.”
“I know,” kata
Justin, “Kau tidak apa-apa jika harus pulang sendiri ke rumah?”
“I’ll be fine.” sahut Tayla dengan suara
tertahan, “Aku bisa jalan kaki.”
Justin
menarik bibirnya, lalu mengacak rambut Tayla asal-asalan sebelum akhirnya
berdiri dan beranjak meninggalkan Tayla.
“Dan
oh—Tayla, kita ke markas, ya, nanti malam? Hitung-hitung untuk bercerita tentang sesi menontonku dengan Scarlett.
Boleh, kan?”
Tayla
mengangguk dua kali, lalu tersenyum mantap. “Of
course.”
“Perfect!” katanya, “I’ll be there at 7! See you, then!”
Tayla
mengangguk sekali lagi, lalu mulai memandangi punggung Justin yang makin lama
makin menjauh sebelum akhirnya menghilang di tikungan sebuah pilar. Tayla
mendesah, lalu mulai merasakan rasa itu menyebar lagi di dadanya. Perasaan
berkecamuk—orang-orang menyebutnya rasa cemburu, yang selalu saja hadir jika ia
melihat senyuman itu tersemat di bibir Justin.
Dan
rasanya ia sama sekali tidak bisa menerima bahwa Justin lebih menomorsatukan
Scarlett daripada dirinya, yang jelas-jelas sudah berada disini sejak awal. Yang
jelas-jelas selalu berada di sisinya dalam semua keadaan yang ditempuh Justin.
Dan yang
jelas-jelas mencintainya walaupun Justin sama sekali tak menyadarinya…
Ia
bahagia jika Justin bahagia, namun ia akan lebih bahagia jika dirinyalah alasan
dibalik senyuman indah milik Justin. Tapi… melihat Justin bahagia dan tersenyum
karena Scarlett kadang-kadang membuatnya pesimis dan memilih untuk mundur. Bukankah
semua orang ingin melihat orang yang dicintainya tersenyum karena dirinya
sendiri?
-----------
Tayla
sedang terduduk di kursi taman, sedang asik memilah-milah dan membuka ranselnya
yang hampir penuh oleh barang-barang sembari menunggu kedatangan Justin. Ransel
itu berisi macam-macam barang penting yang sudah dibawa Tayla kemana-mana. Termasuk
salah satu kaset yang berisikan sebuah penuturan dan pengakuan bahwa Tayla
mencintai Justin.
Kaset
itu berisikan video amatir yang Tayla rekam sekitar tiga tahun lalu, saat
mereka akan menginjakkan kaki di SMA. Video itu hanya berdurasi tiga menit.
Menampilkan wajah Tayla yang pias dan berkeringat setelah sebelumnya berlatih
ratusan kali di depan cermin. Dan akhirnya dengan segala ketakutan dan sebuah
tekad yang bulat, Tayla bisa mengatakan perasaannya pada Justin melalui video
itu.
“Hi Justin. It’s Tayla. Yeah—I know its
weird, but I have to tell you about this before its too late. Before its really
too late.” Ada jeda beberapa detik sebelum akhirnya Tayla menunduk dan
menarik nafasnya, lalu mengangkat kepalanya dan menatap lurus kearah kamera.
“I love you. Kau mungkin akan berkata bahwa
aku benar-benar bodoh karena sudah mengatakan ini padamu. Namun aku juga benar-benar tau bahwa aku memang sudah seharusnya
mengatakan ini. Aku tau semua ini terasa salah, dan aku tidak tau sejak kapan
perasaan itu mulai muncul dan hadir di tengah-tengah persahabatan kita. Tapi
aku yakin bahwa perasaanku ini nyata. Bukan khayalan semata atau sebuah ilusi
yang membuatku mendadak buta. Pada kenyataannya aku memang mencintaimu, dan
jangan tanyakan apa alasannya karena aku juga tidak tau mengapa.”
Dan
video itu diakhiri dengan sebuah desahan dan senyuman tipis sebelum akhirnya
Tayla berkata lagi, “I do really love
you.”
Tayla
menarik napas panjang, berusaha mengatur napasnya yang mendadak terasa tak
karuan begitu memorinya berputar dan jatuh pada video itu. Video yang
seharusnya sudah ia berikan pada Justin sejak tiga tahun yang lalu, namun masih
tetap membeku di dalam sela ranselnya yang ia sembunyikan rapat-rapat. Tayla
sudah berusaha keras untuk memberikan video itu pada Justin pada waktu-waktu
yang tepat, namun Tayla selalu gagal dan tak pernah mau mengumpulkan keberanian
untuk memberikannya pada Justin.
Tayla
tau semua ini salah. Tayla tau bahwa semua ini seharusnya tak pernah terjadi.
Dan ia paham betul bahwa mencintai Justin bukanlah sebuah pilihan yang tepat
jika mengingat Justin adalah sahabat terbaiknya. Sahabat yang sudah menemaninya
selama empat belas tahun terakhir, seorang sahabat yang tak akan pernah menjadi
kekasihnya…
“Hi
Tayla!”
Tayla
hampir meloncat dan melemparkan kaset yang ada di tangannya ketika suara itu
menyeruak di sebelahnya, menampilkan Justin yang tampak terengah-engah dan
langsung duduk di sebelahnya. Tayla menarik napas dalam-dalam, lalu segera memasukkan
video itu ke dalam ranselnya—satu-satunya benda yang bisa ia raih dalam
jengkalan jari.
“Are you okay, Tay?
Tayla
meneguk ludah. “I’m absolutely fine.”
Justin
mengangguk, lalu tanpa menyimpan rasa curiga secuilpun, Justin langsung
tersenyum lebar pada Tayla. “I kissed
her.”
Tayla
mendadak membelalakkan matanya, hampir tersedak oleh air liurnya sendiri. “You—what?!”
“Yeah—aku
menciumnya. Tepat di depan halaman sebelum dia memasuki rumah. Dan itu… French
kiss. Geez, Tayla! Dia benar-benar pencium yang handal!”
Tayla
mengerjapkan mata, merasakan sesuatu telah berdiri hebat di sekitar tengkuknya,
bereaksi seperti sengatan listrik ketika jantungnya seakan-akan memacu darah
dua kali lebih cepat daripada biasanya. Dadanya seakan-akan menyempit,
bergelenyar dan membuatnya kesulitan bernapas, namun bibirnya tetap berusaha
untuk menyunggingkan senyuman tipis untuk Justin.
“Congratulation,” kata Tayla, suaranya
benar-benar terjepit sehingga terdengar seperti bisikan lirih. “Kau memang
pantas mendapatkan ciuman itu.”
“Haha! I know.” Kata Justin, lalu
berdalih dan memandangi langit di luar sana yang tampak gelap dan ditaburi
bintang-bintang. “Ini bukan ciuman pertamaku. Tapi entah mengapa aku merasa
bahwa dia benar-benar mencintaiku, Tay.”
Tayla
menggigit bibir bawahnya, berusaha mati-matian menahan setitik air mata yang
bermuara di sudut matanya. “Dia pasti menciummu dengan panas.”
“Emh—dia
memang panas.” Katanya, lalu tertawa kecil. “Sekali-kali kau harus mencium
seorang pria, Tay. Kau pasti akan merasa bahwa duniamu jungkir balik tidak
karuan. Ciumlah Freddie atau Chris, aku yakin mereka ingin menciummu juga.”
Tayla
berusaha untuk tertawa saat Justin memandangnya dengan tatapan jenaka. Namun
yang bisa dilakukannya hanya tersenyum masam, lalu mati-matian menyembunyikan
matanya yang berair untuk tidak menetes. Ia memang belum pernah mencium pria
sebelumnya, karena satu-satunya pria yang ingin diciumnya hanyalah Justin. Hanya Justin seorang.
“Omong-omong
soal Scarlett, aku juga ingin bilang padamu bahwa aku sudah menyewa limosin
untuk pergi ke prom,” kata Justin, lalu beranjak dari kursinya dan duduk di
rerumputan taman—yang dilanjutkan dengan tiduran seenaknya disana.
Tayla
mengikuti kegiatannya, berbaring persis di sebelah Justin. “Kedengarannya
menyenangkan.” Katanya, sedikit bersyukur karena sejumput air mata yang ada di
sudut matanya sudah menyusut.
“Kedengarannya
lebih dari menyenangkan,” kata Justin, lalu mengambil sepuntung rokok dari saku
kemejanya dan menyalakannya dengan pemantik api. Tayla memutarkan kedua bola
matanya keatas, lalu mengambil puntung rokok itu dan mematikannya di rumput
yang segar.
“Hey,
apa-apaan?!” kata Justin protes.
“Aku
benci melihatmu merokok.”
“Oh—come on, Tay!”
“Apa?
Aku sudah bilang padamu untuk berhenti merokok, kan? Merokok itu sama sekali
tidak berguna. Aku benci melihatmu merokok.”
Justin
mengernyit, lalu mendesah ringan. “Kau daridulu selalu seperti ini. Kau lebih
terdengar seperti ibuku, kau tau? Padahal ibuku juga tidak terlalu
mempermasalahkannya.”
Kali
ini Tayla tersenyum. “Aku hanya ingin yang terbaik untukmu.”
“Oh. Whatever.”
Dan kemudian
hening. Yang terdengar hanyalah suara deru mobil yang ada di kejauhan, lalu
suara jangkrik yang mengikik bersautan. Kedua sahabat itu memandang keatas, ke
sebuah langit malam yang bertaburan bintang dengan bibir yang saling mengatup
rapat. Mereka daridulu memang sering melakukan hal ini—memandangi langit malam
di markas kesayangan. Dan entah mengapa, walaupun mereka memang sering
bertengkar untuk hal-hal yang kecil, mereka akan selalu berbaikan dalam waktu
yang bisa dibilang berdekatan.
“Justin?”
“Mm.”
“Kau
masih ingat janji persahabatan kita beberapa tahun yang lalu disini?”
Perkataan
Tayla membuat Justin menoleh, lalu segera menatapnya yang saat ini masih
memfokuskan pandangan ke langit yang gelap. “Janji bahwa kita akan selalu
bersama selamanya? Janji bahwa kita akan menaklukkan dunia dan saling menjaga apapun
kondisinya? Juga janji bahwa kita tak akan pernah jatuh cinta pada akhirnya?”
Tayla
ikut-ikutan menoleh, lalu mengangguk samar. “Kupikir kau sudah melupakannya.”
“Aku
tidak mungkin melupakan janji persahabatan kita.”
Tayla
tersenyum, lalu meletakkan kepalanya di pundak Justin sementara matanya
menerawang jauh ke langit yang tak berujung. “Selamanya akan jadi milik kita,
bukan?”
Tayla
bisa mendengarnya terkekeh kecil, dan tanpa melihatpun, ia juga tau bahwa saat
ini Justin sedang menyematkan sebuah senyuman. “Ya. Selamanya akan jadi milik
kita.” Katanya.
Tayla
tersenyum, lalu merasakan bahwa ada sesuatu yang saat ini sedang menyelimuti
tangannya. Itu tangan Justin. Tangan Justin sedang menggenggam tangannya, dan
meremasnya dengan lembut. Kalau Tayla bisa, rasanya ia ingin suasana ini
membeku begitu saja—membiarkan kepalanya terkulai bebas di pundak Justin,
membiarkan tangannya di genggam secara gamblang olehnya…
Tayla tersenyum kecil, lantas menutup kedua
matanya, mengubur hidungnya di pundak Justin, membuatnya bisa mencium aromanya
yang lembut.
Kau
tidak tau bahwa aku sudah mengingkari janji itu, Justin. Ya, karena pada akhirnya
aku jatuh cinta padamu.
Tayla
tau betul bahwa selamanya ia tidak bisa memiliki Justin. Namun dengan cara
seperti ini… ia yakin bahwa semuanya akan berjalan dengan baik-baik saja. Dan
ia juga yakin—yakin seratus persen, bahwa selamanya Justin akan tetap menjadi
miliknya.
---------
Pesta
dansa SMA Saint Regina tahun ini memang benar-benar megah dan meriah.
Mengusung
tema red carpet, semua siswa tampak
tampil dengan anggun dan menawan. Hampir semua siswa menggandeng pasangan
mereka masing-masing, dan juga menyewa sebuah limosin untuk acara yang hanya
bisa dirasakan sekali seumur hidup itu. Tayla datang bersama Adam Wiskosnov—salah
satu temannya yang berdarah Rusia karena kebetulan Adam juga tidak bisa menemukan teman kencannya.
Sementara Justin datang bersama Scarlett, menggunakan limosin, dan mereka berdua benar-benar terlihat seperti
selebriti sungguhan saat menjejakkan kaki di red carpet.
Tayla
hanya mengenakan blus gaya vintage
warna biru muda yang dibungkus dengan cardigan warna biru tua, juga tatanan
rambut yang diikat sederhana. Sedangkan Scarlett—ia tampil dengan sepatu hak
tinggi keluaran baru dari Louis Vuitton, yang dipadupadankan dengan gaun mewah
rancangan Sherri Hill. Ia memang benar-benar seorang selebriti—paling tidak,
untuk malam ini saja. Tayla jadi ingat pertemuan memalukannya beberapa hari
lalu dengan Scarlett di salah satu mall di pusat kota Wisconsin. Tayla yang
saat itu sedang membuka-buka isi ranselnya tiba-tiba saja harus menabrak
seseorang karena tidak melihat ke depan—dan orang itu adalah Scarlett. Tadinya ia
memang sedang mengaduk habis isi tasnya karena tidak bisa menemukan ponselnya
yang kala itu berbunyi nyaring. Namun sesaat setelah ia menabrak Scarlett,
jadilah seluruh barangnya tercecer di lantai.
“Maaf,”
kata Tayla waktu itu, tangannya dengan cekatan mengambil beberapa barang yang
tercecer.
“It’s okay.” Scarlett menjawab, lalu berusaha membantu
Tayla memunguti barang-barangnya.
Mereka
tidak banyak berbicara kala itu, karena Tayla tau bahwa sebenarnya Scarlett
tidak terlalu suka padanya—hanya karena ia adalah sahabat Justin. Namun setelah
selesai memasukkan barang-barang Tayla ke dalam ransel, Scarlett sempat
mengangguk kecil dan Tayla membalasnya dengan ucapan terimakasih yang bertubi-tubi.
Dan
sekarang, Tayla bisa melihat jelas bahwa Scarlett tengah berada di lantai dansa
bersama Justin. Mereka berdansa sambil tertawa lepas—dengan kedua tangan Justin
yang dilingkarkan di pinggangnya dan terkadang turun nakal sampai bokongnya.
Tayla mendengus, lalu menoleh dan menatap kearah Adam yang saat ini tengah
membaca salah satu novel karya John C. Maxwell. Tayla tau persis bahwa Adam
tidak akan pernah mau memboyongnya ke lantai dansa dan mengajaknya menari
disana. Tayla sudah cukup beruntung karena Adam mau menyewa mobil Volvo
keluaran tahun 1979 hanya untuk menjemputnya malam ini. Dan ia juga cukup beruntung bahwa akhirnya
ada satu pria yang bisa diajaknya ke prom, walaupun orang itu adalah kutu buku
yang jelek layaknya Adam Wiskosnov sekalipun.
“SAATNYA
PENGUMUMAN UNTUK RAJA DAN RATU PROM!”
Tiba-tiba
saja musik berhenti mengalun, digantikan oleh suara Agatha Gerald—salah satu
siswa junior yang menjadi pembawa acara pada malam hari ini. Tayla melayangkan
pandangannya lagi pada Justin dan Scarlett yang secara tiba-tiba melepaskan
kaitan tubuh mereka, dan langsung menghadap kearah panggung yang ditata
sedemikian gemerlap. Tanpa harus melihat kearah Adam yang masih membaca
bukupun, Tayla sudah berdiri dan memboyong dirinya sendiri untuk ikut-ikutan
maju dan menjadi saksi resmi atas siapa raja dan ratu prom tahun ini. Dalam
hati, ia berseru sebegitu nyaring serta yakin seratus persen bahwa Raja Prom
tahun ini adalah sahabatnya—Justin Drew Bieber, yang selama tiga tahun
berturut-turut menjabat sebagai kapten basket sekolah dan digandrungi
gadis-gadis. Tayla yakin semua gadis telah menuliskan nama Justin untuk
dinobatkan sebagai Raja Prom malam ini. Namun Tayla masih ambigu akan siapa
yang akan dinobatkan sebagai Ratu Prom. Ia sama sekali tidak bisa memilih siapa
yang akan menjadi pasangan Justin karena ia selalu berharap bahwa dialah yang
akan mendampinginya. Namun semua itu mustahil, mengingat bahwa Tayla bukanlah
siswa populer dan bukan kapten cheerleader yang berdada montok dan berbokong
seksi. Ia hanya bersahabat dengan
pria tampan yang menjadi sorotan seantero sekolah, hingga namanya pun kerap
kali terangkat bila hal itu mengungkit nama Justin.
“Kalian
semua sudah menuliskan dan memilih siapa yang pantas menjadi Raja dan Ratu Prom
malam ini. Dan setelah menghitung banyaknya suara, kami telah memutuskan siapa
yang berhak menjadi Raja dan Ratu Prom!” kata Agatha penuh semangat, dan semua
siswa sedetik kemudian bersorak, tak sabar menunggu siapa yang akan menjadi
Raja dan Ratu Prom.
“AND
THE KING OF TONIGHT’S PROM IS…..” Agatha sengaja menggantungkan perkataannya
ketika semua orang mengatupkan bibirnya. “THE ONE AND ONLY, JUSTIN BIEBER!”
Semua
orang bersorak dan memekikkan nama Justin, tak urung Tayla yang ikut-ikutan
menyerukan namanya. Justin yang tampak begitu sempurna dalam balutan tuksedo
lantas maju keatas panggung, dan tersenyum bagi siapa saja yang
dilihatnya—termasuk Tayla, Justin sempat mengedipkan satu mata kearahnya.
“Kira-kira,
siapa ya yang akan mendampingi Justin?” Agatha angkat bicara lagi, sukses membuat
kerumunan mendadak diam. “The queen of tonight’s prom is…,” Agatha membuka
amplop, lalu senyuman lebarnya merekah begitu saja. “SCARLETT NIC MONTEZ!”
Tayla
melenguh.
Benar-benar pasangan yang cocok, batinnya
sengit. Tayla agak sedikit menyunggingkan senyum kecut ketika Scarlett naik
keatas panggung, dan ia langsung memeluk Justin saat sudah benar-benar berada
diatasnya.
Kapten
basket dan kapten cheerleader, dengus Tayla, lalu memutarkan kedua
bola matanya dan kembali melanjutkan, seperti
tidak ada wanita yang lebih dari Scarlett saja.
“Dan
marilah kita berikan waktu bagi mereka untuk berdansa bersama di lantai dansa!
Ingat, ya! Hanya boleh mereka yang berdansa!”
Tayla
segera berjalan menjauh ketika kerumunan membelah, menyisakan Scarlett dan
Justin yang sudah dimahkotai oleh mahkota plastik di lantai dansa. Ia agak
sedikit menjinjit saat beberapa orang yang kelewat bongsor menutupi
pandangannya. Dan ketika musik pelan nun romantis tengah mengalun, Tayla merasa
bahwa saat itu juga hatinya berdenyut ngilu. Disana ia melihat Scarlett dan
Justin, berdansa dengan penuh kemesraan dan keintiman yang nyata di lantai
dansa. Justin memegangi pinggul Scarlett, lalu menggeranyangi punggungnya
ketika Scarlett meletakkan kepalanya di bahu Justin. Tayla merasa hatinya mencelos,
seakan-akan hatinya kebas dalam sekali libas.
Ia ingin
berada di lantai dansa itu, bersama
Justin yang mencintainya.
Tayla
berusaha mengatur napasnya yang naik turun tidak karuan, seakan-akan
pundi-pundi parunya menyempit dan tidak dapat menghirup oksigen lagi. Saat
musik yang mengiringi Justin dan Scarlett hampir berhenti mengalun, Tayla bisa
merasakan bahwa ia memegangi dadanya sendiri karena pada saat itu juga Justin
mencium Scarlett, tepat di bibir, tepat di depan khalayak banyak. Semua
orang bersorak, bahagia karena melihat dua anak populer yang mereka pilih
sebagai Raja dan Ratu Prom sedang berciuman layaknya pecinta yang dimabuk
asmara.
Tayla
menggigit bibirnya, lalu segera saja pergi darisana sebelum kesakitannya
bertambah banyak dan makin menjadi-jadi. Ia sudah tidak sanggup melihat Justin
dan Scarlett. Ia tidak sanggup merelakan Justin jatuh ke tangan Scarlett. Ia
tidak sanggup jika sahabatnya yang dicintai akan meninggalkannya untuk gadis
lain...
Ia tidak bisa merelakan Justin…
“Attention, senior!” suara Agatha Gerald
kembali terdengar saat Tayla sudah ada di sebelah Adam yang masih asyik
membaca, lalu menegak minuman soda berwarna kuning kemerahan yang disediakan. Ia
berusaha mabuk dan lupa akan kejadian di lantai dansa sepuluh menit yang lalu,
padahal minuman itu sama sekali tidak beralkohol. Suara gemuruh siswa-siswa
akibat ciuman panas Justin dan Scarlett terpaksa berhenti ketika Agatha
mengambil mikrofon dan kembali mengambil alih.
“Kita
punya tayangan menarik dari sang Ratu Prom. Ternyata Scarlett sudah repot-repot
mau membuat sebuah video perpisahan untuk kita semua!”
Kening
Tayla berkerut seiring dengan alis semua siswa yang melengkung naik. Mereka
semua tau betul bahwa Scarlett sama sekali tidak bisa mengoperasikan komputer
dengan baik, apalagi sampai bisa membuat sebuah video yang layak
dipertontonkan. Video perpisahan yang lumayan susah dibuat tentunya patut
dipertanyakan.
“Silakan
menyaksikaaaaan!” kata Agatha ceria, lalu semua mata tertuju pada layar proyeksi
yang ada di sebelah panggung, termasuk mata Justin, Tayla, dan tentunya mata
kehijauan milik Scarlett.
Sempat
ada jeda beberapa detik sebelum video itu berjalan dan seseorang dengan wajah
yang pias dan luarbiasa pucat mengisi layar proyeksi yang lebar.
Tayla
membulatkan kedua matanya lebar-lebar. Ya Tuhan. Ia… ia tau persis dimana video
ini pernah diambil… Ia… tau persis siapa yang akhirnya berbicara dalam video
amatir tersebut. Dan video itu jelas-jelas bukan sebuah video perpisahan yang
dibuat oleh Scarlett.
“Hi Justin. It’s Tayla. Yeah—I know its
weird, but I have to tell you about this before its too late. Before its really
too late.”
Tayla
merasa bahwa saat itu juga setetes keringat tengah mengaliri leher hingga ke
punggungnya, hingga semuanya terasa bagai sengatan listrik saat semua orang
berbisik dan tak sedikit pula yang melongo saat melihatnya. Video itu… adalah
video amatir yang selalu tersimpan di dalam ranselnya… Video itu adalah video
yang menyatakan perasaannya tentang Justin…
“I love you. Kau mungkin akan berkata bahwa
aku benar-benar bodoh karena sudah mengatakan ini padamu. Namun aku juga benar-benar tau bahwa aku memang sudah seharusnya
mengatakan ini. Aku tau semua ini terasa salah, dan aku tidak tau sejak kapan
perasaan itu mulai muncul dan hadir di tengah-tengah persahabatan kita. Tapi
aku yakin bahwa perasaanku ini nyata. Bukan khayalan semata atau sebuah ilusi
yang membuatku mendadak buta. Pada kenyataannya aku memang mencintaimu, dan
jangan tanyakan apa alasannya karena aku juga tidak tau mengapa.”
Semua
orang terperangah, tak terkecuali Justin yang saat ini masih bergandengan
dengan erat bersama Scarlett di lantai dansa. Tayla yakin saat ini semua orang
tengah memandangnya, membisikkan sesuatu yang buruk dengan lawan bicara yang
lain. Tayla merasa bahwa tiba-tiba matanya panas, dan sudut matanya sudah
bermuara dan sudah bersiap untuk mengeluarkan setitik air mata ketika video itu
akhirnya diakhiri dengan perkataan, “I do
really love you.”
Dan kemudian
semuanya gelap.
Setelah
itu, suara benar-benar hampir tidak terdengar kecuali bunyi bisikkan superlirih
dari berbagai sumber. Mereka semua sedang membahas dan membicarakan satu hal
sesudah selesai menyaksikan video itu; Tayla
Victory Mason, jatuh cinta pada sahabatnya sendiri.
Tayla
menggigit bibir bawahnya, sama sekali tidak bisa berbohong bahwa hatinya kali
ini benar-benar terasa perih. Bagaimana video itu bisa ada disana? Bagaimana
video itu bisa ada di acara prom ini? Dan bagaimana caranya video itu bisa
keluar dari dalam ranselnya yang selalu ia tutup rapat-rapat? Pertanyaan itu
memburunya bertubi-tubi, hingga akhirnya kerumunan membelah dan menciptakan
sebuah ruang bagi Justin sehingga ia bisa melihat Tayla yang saat ini tengah
terisak. Tayla menatap Justin yang menatapnya dengan tatapan luarbiasa tidak
percaya, lalu pandangannya jatuh pada Scarlett dengan senyuman licik yang
tersemat disana. Dan pada saat itu pulalah Tayla menemukan jawabannya. Dan pada
saat itu pulalah Tayla sadar bahwa selama ini dirinya dijebak… Dijebak oleh
seorang Scarlett Montez yang mencuri kasetnya saat mereka bertabrakan di mall
tempo hari.
Tayla
merasa hatinya kebas. Rahasianya sudah terbongkar…
Ia sudah mengingkari janjinya bersama Justin…
Justin
yang ada di lantai dansa lantas menatap Tayla dengan sebuah siratan yang selama
ini tak pernah ditunjukkannya. Tayla tengah menangis… pundaknya naik turun, dan
hal itu sukses membuat Justin ingin memeluknya saat itu juga. Tapi ia tidak melakukannya.
Ia hanya berdiam diri disana, memandangi Tayla
dengan tatapan yang sama seperti orang banyak. Ia hanya berdiam diri disana,
menyaksikan sahabatnya sedang mengalami sebuah kejadian yang membuatnya hancur,
hanya karena ia jatuh cinta padanya.
Justin
tidak pernah menyangka bahwa persahabatan yang sudah dibinanya bersama Tayla
selama lebih dari sepuluh tahun harus diakhiri dengan Tayla yang pada akhirnya
jatuh cinta padanya. Ia sama sekali tidak tau bahwa Tayla mencintainya… Bahwa
Tayla sudah menyimpan perasaan itu selama bertahun-tahun… Bahwa Tayla
mengingkari janjinya, karena pada
akhirnya ia jatuh cinta pada Justin.
Justin
masih memandangi Tayla, tak bergerak dan tak bergeming ketika gadis itu menatapnya
dan menggeleng kearahnya. Ia tampak
hancur… Justin menggigit bibir bawahnya, lalu merasa bahwa jantungnya
berdenyut tiga kali lebih cepat dari biasanya, dan ada sebuah rasa sakit yang
bergelenyar aneh di dadanya.
Lalu
kembali, Justin mengingatkan dirinya sendiri dalam hati,
Tayla
mencintaiku….
Justin
mendadak terkesiap kaget saat gadis itu tiba-tiba saja menghapus air mata yang
jatuh di kedua celah pipinya, tak mempedulikan ratusan pasang mata yang
memandangnya dan membicarakannya mati-matian. Tayla akhirnya menyerah dan
memutuskan untuk mundur, memutuskan untuk berbalik, dan kemudian berlari keluar
dari ruangan yang langsung sunyi setelah Tayla menghilang dari pandangan semua
orang.
Justin
menggigit bibir bawahnya sekali lagi, sama sekali tidak berusaha untuk mengejar
dan memanggil nama Tayla. Ia justru membiarkannya
pergi.
Dan
saat itu pulalah Justin sadar, bahwa detik itu juga ia telah kehilangan separuh
hidupnya. Bahwa detik itu juga ia telah kehilangan seorang sahabat yang paling
disayanginya. Bahwa detik itu juga ia telah kehilangan Tayla..., sahabatnya
yang selalu ada untuknya.
Justin
menunduk, lalu merasakan bahwa hatinya ngilu saat kejadian beberapa minggu lalu
kembali terekam ulang di benaknya. Saat ia dan Tayla berada di taman,
memandangi langit yang tampak gelap dan tertidur hingga pagi menjelang. Suara Tayla
bergema dalam otaknya, selalu jatuh bertubi-tubi dalam otaknya ketika ia
melepaskan genggaman Scarlett dan memutuskan untuk meninggalkan pesta. Suara Tayla masih ada dan akan terus ada dalam
benak Justin ketika ia sudah keluar dari ruangan, merasakan bahwa ia menangis
untuk dirinya sendiri….
“Selamanya akan jadi milik kita, bukan? “
“Ya.
Selamanya akan jadi milik kita.”
------
Wisconsin,
Januari 2013
Justin
merasa ngilu saat memorinya berhenti berputar pada malam pesta dansa tujuh
tahun lalu, saat ia tau bahwa sahabatnya sendiri justru mencintainya. Ia ingat
betul bahwa saat itu dirinya menangis, merasakan kesakitan yang luarbiasa
karena ia harus menyakiti orang yang dicintainya. Bahwa ia harus menyakiti
Tayla, yang sampai sekarang sama sekali tidak ada kabarnya.
Sesudah
malam pesta dansa, Tayla tidak pernah terlihat lagi. Justin sudah berusaha
menghubunginya dan datang ke rumahnya, namun Tayla tidak pernah ada sampai hari
kelulusan mereka dari SMA Saint Regina diadakan. Tayla melewatkan hari
kelulusannya, dan ia juga baru mendengar kabar bahwa Tayla melewatkan
kesempatannya untuk bersekolah di Notre Dame, lebih memilih untuk pindah ke
Roma dan menjadi sukarelawan disana.
Justin
merasa dunianya hancur saat itu, karena ia telah kehilangan orang yang paling
berharga dari hidupnya. Justin bahkan sempat berpikir bahwa Tayla sekarang
membencinya, sehingga tak mau lagi melihat wajahnya barang satu kali. Hidupnya
terasa hampa tanpa Tayla, tanpa lelucon dan celetukannya yang menggelitik,
tanpa nasihatnya yang galak untuk berhenti merokok, dan untuk kecupan-kecupan
kecil di pipinya ketika ia sedang merajuk…
Justin
memejamkan mata, lalu membayangkan sosok itu dalam bayangan imajiner di otaknya. Rupanya sudah tujuh
tahun semenjak gadis itu pergi dari kehidupannya. Rupanya sudah tujuh tahun ia
merasa dunianya kosong dan hampa. Rupanya sudah tujuh tahun ia kehilangan
separuh hatinya. Dan rupanya butuh beberapa tahun baginya untuk menyadari bahwa
dirinya sendiri justru lebih mencintai Tayla.
Justin
tidak tau kapan tepatnya ketika ia menyadari bahwa sebenarnya ia tidak bisa
melanjutkan hidup tanpa Tayla. Berada di tengah hiruk pikuk kota New York
justru membuatnya yakin bahwa sedari dulu ia memang mencintai Tayla, bahwa yang
selalu ada di hatinya hanya Tayla. Dan sekarang, ia kembali lagi ke kota ini.
Ia kembali lagi ke kota yang menyimpan seluruh kenangannya bersama Tayla. Ia kembali
lagi dan duduk di markasnya, merasakan bahwa kursi sempit di taman ini sudah
usang dengan cat yang hampir mengelupas ngeri.
Ya Tuhan. Betapa berharapnya Justin
untuk bisa melihat Tayla walaupun hanya sekali…
“Kau
membuang puntung rokokmu.”
Suara
itu berhasil membuat Justin mendongak, menemukan seorang wanita yang sedang
berdiri didekatnya, tengah menyematkan sebuah senyuman manis untuknya.
“Excuse me?”
“Kau
membuang puntung rokokmu. Berhasil berhenti jadi perokok, huh?”
Justin
mengerjapkan matanya. Apakah ia mengenal
orang ini? Wanita ini tampak asing
dengan rambut sebahu dan rambut berwarna cokelat terang, dan juga setelan musim
dingin yang terlalu gelap. Justin berusaha menatap mata wanita itu ketika
wanita itu menyunggingkan senyum. Dan detik itu juga, Justin menegang, merasakan
bahwa seluruh tubuhnya benar-benar mati rasa ketika sadar bahwa ia berhasil
menemukan wanita itu lagi. Wanita dengan bola mata hijau dan senyuman paling
indah dan yang paling dirindukannya.
“Tayla.”
Kata Justin, lebih tepat untuk dirinya sendiri.
Tayla
mengangguk, lalu duduk di sebelah Justin dan kemudian menatapnya. “Jangan
merokok lagi. Aku benci melihatmu merokok.”
Napas
Justin naik turun tidak karuan. Gadis itu… ada disini, bagaimana caranya? Banyak
yang ingin disampaikannya pada Tayla, banyak yang ingin dikatakannya untuk
Tayla karena sudah tujuh tahun tidak bertemu. Tapi mulut Justin seakan
terkunci, menutup rapat-rapat ketika menyadari bahwa gadis itu memang
benar-benar gadisnya. Bagaimana ia bisa berada disini?
“Rupanya
sudah tujuh tahun, ya?” kata Tayla, lalu kembali menatap Justin, “Kau banyak
berubah.”
Justin
akhirnya tersenyum. “Dan kau juga.” Katanya, lalu ikut memandangi Tayla yang terlihat
lebih dewasa dengan tatanan rambut sebahu dan wajah yang luarbiasa cantik.
“Aku
tidak pernah menyangka jika aku harus melewatkan masa mudaku tanpamu, Mr.
Bieber. Aku jadi tidak sempat melihatmu yang berusaha mati-matian menumbuhkan
kumis.”
Justin
membuka mulutnya, lalu bibirnya menyungging sempurna. Hatinya merasa lega
sekaligus bahagia yang tiada tara. Ia bahagia bisa melihat Tayla berada di
sampingnya, lagi.
“Tayla,
soal tujuh tahun lalu di malam pesta dansa—aku benar benar minta ma—“
“Sssssh.”
Tiba-tiba Tayla memotong, meletakkan telunjuknya di bibir Justin. “Lupakan
saja, ya?”
Justin
merasa tubuhnya beku saat tiba-tiba saja Tayla menyentuhnya, menghentikan perkataannya
sekaligus menghentikan detak jantungnya.
“Kau
tidak perlu berkata apa-apa,” kata Tayla, lalu mendekat kearah Justin. “Aku
masih sahabatmu.”
Justin
tersenyum kecil ketika Tayla melepaskan telunjuknya di bibir Justin, lalu
tangannya berpindah ke tangan Justin yang ada diatas paha. Tayla mengambil
tangan itu, meremasnya dengan lembut—menyalurkan kehangatan tubuhnya pada tubuh
Justin. Tayla tidak berkata apa-apa saat dia dengan leluasa meletakkan
kepalanya di pundak Justin, membuat Justin yang ada di sebelahnya langsung
menegang namun tetap membiarkannya.
“Aku
masih sahabatmu.” Kata Tayla, sedikit berbisik dan tersenyum ketika akhirnya ia
melanjutkan, “Selamanya akan jadi milik kita, bukan?”
Justin
mengerjapkan mata, lalu merasa bahwa hatinya benar-benar damai ketika Tayla
meremas tangannya dan kepalanya terkulai bebas di pundaknya. Semua ini sama
seperti dulu—ketika mereka dengan leluasa bersentuhan sebagai sahabat. Ketika
mereka masih bisa adu mulut dan bertengkar, namun pada akhirnya menyadari bahwa
mereka tidak bisa hidup tanpa satu sama lain.
Justin tau
persis bahwa semua ini terjadi bukan tanpa alasan. Semua ini diatur oleh
Seseorang yang selama ini tak kasat mata, namun tetap mengikuti gerak-geriknya.
Tayla hadir disini bukan tanpa alasan. Ia hadir disini karena Seseorang itu
menginginkannya untuk bisa bersama Tayla sekali
lagi.
Dan
kemudian, Justin tersenyum. Diletakannya kepalanya diatas kepala Tayla, lalu
tangannya meremas tangan Tayla ketika ia mengecup puncak kepalanya dan berkata,
“Ya.
Selamanya akan jadi milik kita.”
THE
END