Hi guys! Kembali lagi sama aku. Hahaha. Kali ini bawa cerbung yang sebenarnya udah terbit di majalah sekolah aku. Jadi pemerannya bukan our prince aka Justin Beebur. hahaha. I know sebagian dari kalian pasti belum baca, jadi aku repost deh. Dan as always, copycats is unavailable!!! Think creative for those who want to steal this cerbung. Hahaha. Well--Happy reading ya. :) xx
***
“Aku menenggelamkan pikiranku dan memandanginya dari jauh. Mengaguminya
dari jarak pandang yang tak bisa ia raih.
Tanpa senyum. Tanpa sapa.”
-------------
Pindah
ke tempat yang jauh dari tempatku berasal bukanlah sesuatu yang menyenangkan.
Sekolah baru. Teman baru. Suasana
baru. Kota baru. Semuanya serba baru dan aku sama sekali tak menyukainya. Kau
bisa mengatakan bahwa aku bodoh karena menyesal sudah pindah ke kota kecil
benama Springfield di Amerika. Karena aku sama sekali tidak menyukai Amerika
dan lebih meyukai kampung halamanku di Prancis. Jauh berbeda dengan
adikku—Rebecca—yang tampak senang atas kepindahan kami dan aku tak tau apa
alasannya.
Besok
adalah hari yang menegangkan karena aku akan masuk ke SMA Saint Michael untuk
yang pertama kalinya. Rasanya sulit menerima bahwa aku masuk di tengah
semester, bukan di awal semester. Hal itu membuat perutku mendadak ngilu.
Ya
ampun. Bukankah hari pertama di sekolah selalu menyeramkan? Apalagi ini
Amerika. Semuanya kelihatan jauh lebih mengerikan dari apapun. Aku lantas
mengigit bagian dalam pipi kananku—salah satu kegiatan yang kulakukan jika aku
sedang grogi.
Well. Aku adalah seorang Regina Persie
Woodley. Hal apa sih, yang tak bisa kulakukan? Masuk sekolah baru adalah sebuah
hal yang gampang. Sebuah hal sepele yang bisa kulakukan.
Aku
lantas berdecak dalam hati. Ah. Aku pasti bisa melakukannya!
------------
Dari caranya menatapku, aku
tau aku tidak akan pernah menggunakan mobil butut warna merah atau mobil sedan
hitam yang lumayan bagus untuk pergi ke sekolah. Ayah sudah pergi beberapa jam
yang lalu, dan dia meninggalkan sebuah catatan kecil diatas meja yang berkata
bahwa ada kejutan buatku di garasi depan. Pada saat aku dan Rebecca sudah siap
untuk pergi ke sekolah, kami sempat menilik garasi depan. Kami seketika kaget
saat melihat sebuah sepeda motor butut warna hitam yang nangkring disana. Aku
ternganga beberapa kali saking kagetnya, apalagi saat kuncinya masih
menggantung pada tempatnya.
“Gina!
Kita harus ke sekolah naik ini? Ya ampun, menggelikan.” kata Becca jijik, sama
sekali tak mau melihat sepeda motor butut yang saat ini sedang kuraba.
Aku
merekahkan senyum. Sialan, motor butut ini jauh lebih bagus daripada mobil
butut merah dan sedan itu.
“Kau
bercanda?! Ini keren!” kataku.
“Apanya
yang keren, sih? Bayangkan jika aku harus kembali mengikat rambut karena
rambutku bisa jadi ijuk saat kena angin. Atau rambutku jadi kusut padahal aku
sudah pakai kondisioner dobel tadi pagi agar rambutku bisa kelihatan jatuh
sempurna saat diikat. Errrr, apa kau mau kulitmu jadi hitam kena sinar matahari
langsung?”
“Berisik!”
aku mendengus saat Becca mengatakan perkataannya dengan sangat cepat, “Nikmati
saja. Ini keren dan tidak ada salahnya naik motor. Kau belum pernah, kan?”
Becca
menaikkan satu alis sebelum akhirnya merutuk dan menghentakkan kakinya kesal.
Aku
pernah naik motor. Maksudku, Christian—sahabatku di Prancis—pernah mengajariku
mengendarai motor sekali. Tapi motor Christian jauh lebih besar daripada motor
ini. Motor Christian begitu besar dan tampak seperi harimau, sedangkan motor
ini tampak seperti bebek yang hampir tak berbentuk. Aku lumayan bisa
mengendarai motor gede Christian, dan aku yakin menaiki motor ini tak akan jauh
lebih sulit.
“Naiklah,” kataku saat aku sudah
memasang helm pada kepalaku dan memasangkan helm pada kepala Rebecca. Dia
merutuk untuk beberapa kali karena takut kuciran ekor kudanya akan kabur.
Setelah membujuknya dan sedikit mengancamnya, akhirnya ia berhasil naik
walaupun takut-takut.
Dan akhirnya, kami meluncur menuju sekolah.
-----------------
Kelas
pertamaku adalah kelas Biologi. Aku sudah meminta jadwal pelajaranku ke guru BP
untuk sembilan bulan kedepan. Guru BP itu lantas menunjukkan dimana kelas
Biologi berada, dan aku berterimakasih karena kelas masih agak kosong dan sepi.
Paling tidak, hanya ada sedikit orang yang menyadari bahwa aku adalah anak
baru. Aku sedikit tersenyum ketika mereka menatapku dengan tatapan ragu. Aku
tak banyak berpikir hingga akhirnya aku memutuskan untuk duduk di kursi paling
belakang. Di pojok belakang sayap kanan. Disana hanya ada seseorang yang tampak
asik dengan ponselnya.
“Apakah
tempat ini kosong?”
Dia
mendongak. Dia jelas seorang pria, dan matanya yang sayu tampak menatapku
dengan tatapan siaga sebelum akhirnya ia berkata, “Ya.”
Aku
sedikit mengangkat senyum, lalu terduduk disana. Oh. Apa yang harus kulakukan?
Membaca buku? Mengeluarkan ponselku? Atau tiduran saja dan menyelonjorkan
kakiku ke meja?
“Kau
pasti anak baru itu.”
Aku
mendongak, itu suara cowok bermata kehijauan tadi. “Bagaimana kau bisa tau?”
“Karena
kau jadi gossip heboh di sekolah.”
Aku
mengernyit. “Apa?”
Dia
malah terkekeh, “Kau harus tau bahwa semua orang menggosipkan tentang anak baru
dari Prancis sejak seminggu yang lalu.”
“Oh—“
aku mendesah kikuk. Entah aku harus bersyukur karena aku digossipkan atau aku
harus menelan pil pahit karena semua orang tau aku orang Prancis.
“Siapa
namamu, ya? Kalau tidak salah—“
“Regina.”
Kataku sebelum dia menyelesaikan perkataannya.
“Oh—yeah,
Regina. Aku Daniel, senang berkenalan denganmu.”
Kami
kemudian berjabat tangan, dan kami berdua sama-sama tersenyum. Diam-diam aku
bersyukur dalam hati, karena paling tidak aku sudah menemukan satu teman yang
lumayan baik walaupun tampak berantakan dan ngantuk berat.
“Bagaimana
kau menyadari bahwa aku adalah anak baru dari Prancis itu?” kataku ingin tahu,
dan Daniel justru tertawa.
“Aku
tidak pernah melihatmu di kelas ini sebelumnya. Dan karena aksen Prancis-mu
masih sangat kental.”
Aku
tersentak. “Benarkah?”
“Ya,”
katanya, “Aksenmu aneh, kau tau? Aksen Prancis yang menyatu dengan aksen
Amerika. Unik. Dan jangan mengubah aksen itu karena itu baik untukmu.”
Aku
yakin wajahku memerah sekarang, “Thanks.” kataku singkat.
Aku dan Daniel lalu berbicara
tentang obyek ringan, dan dia berjanji bahwa dia akan menemaniku pergi ke
kantin pada jam makan siang nanti. Atau aku bisa bolos bersamanya pada jam
sosiologi—kebetulan aku satu kelas dengannya. Namun dari semua itu, aku merasa
bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Ya.
Semoga saja.
-------------------
Daniel
tidak mengingkari janjinya karena dia memang menemaniku ke kantin saat makan
siang. Kami sudah mengambil jatah makan siang kami, dan kami terduduk di salah
satu kursi tertutup di pojok kantin. Daniel tampaknya bukan anak populer, dan
aku bersyukur karena aku tidak ingin bergaul dengan siswa populer.
“Makan
siang kali ini payah,” ujar Daniel, lalu menyedot jus jambu dari gelasnya.
“Tidak juga. Paling tidak saladnya enak.” Kami
berdua lantas terkekeh hebat.
Aku mendesah, lalu memutuskan untuk
menyelesaikan makanku. Aku tidak lapar, dan untuk itu aku melayangkan
pandanganku kearah lain. Kearah segerombolan anak yang tampak berkumpul di meja
tengah kantin sambil tertawa lepas. Ada beberapa perempuan dengan pakaian cheers, dan beberapa lelaki yang
badannya sekekar pemain futbol.
Mereka pasti anak populer.
Sementara Daniel melanjutkan makan
saladnya, aku duduk terpaku dan pandanganku melayang-layang di sekitar kantin
yang cukup luas ini. Kantin ini bersih, dan makan siangnya lumayan enak
walaupun keju kambing yang disiapkan agak sedikit lembek. Tapi untung saja
salad wortelnya enak, dan jus jambu itu juga lumayan manis.
Dan ketika pandanganku tertuju pada
salah satu meja kantin yang terletak di dekat pastry, aku hampir sesak nafas. Dia
adalah cowok tampan yang kutemui di depan sekolah tadi pagi. Tapi sedihnya, dia
tidak sendirian. Dia bersama dengan beberapa wanita dan beberapa pria yang juga
sama-sama tertawa seperti anak populer tadi.
“Daniel, kalau mereka…maksudku yang
itu. Mereka itu siapa?” aku menunjuk tempat duduk mereka dan Daniel langsung
mendesah.
“Mereka golongan jenius.”
Aku sedikit tersentak. “Benarkah?”
“Ya. Mereka termasuk golongan
populer sebenarnya. Namun mereka juga masuk golongan jenius karena kebanyakan
dari mereka adalah anggota organisasi sekolah.”
Aku mengangguk, lalu meneguk
ludahku sendiri. Aku akan menanyai Daniel tentang cowok itu. Aku bisa mati
penasaran jika tidak tau siapa namanya.
“Kalau pria yang itu—“ aku
menunjuknya dengan jari telunjukku, “Yang sedang tertawa itu. Itu siapa?”
“Oh—“ Daniel mengerutkan keningnya,
“Yang rambut hitam itu? Dia Troy. Troy McCartney.”
Aku bersorak dalam hati. Namanya
Troy. Troy! Nama itu cocok buatnya dengan segala ketampanan dan kemahaseksian
bibirnya yang penuh dan yang tampak lembut itu.
“Oh, Troy..” aku berdesis, sukses
membuat Daniel menyenggol lenganku dan mengerling jahil kearahku.
“Kau menyukainya, ya? Duh, Regina. Aku
sarankan jangan. Kau bisa kalah telak. Troy adalah Ketua OSIS di sekolah ini.”
Aku terperangah seketika. “Ketua
OSIS?”
“Ya, sejak dua tahun yang lalu. Dia
itu kesayangan guru-guru, kau tau? Dan kabarnya, adiknya yang masih di kelas
junior juga dicalonkan jadi Ketua OSIS selepas Troy lulus nanti.”
Aku meneguk ludahku yang terasa
pahit dan terasa janggal saat mencapai kerongkongan. Sialan. Ketua OSIS?! Oh.
yang benar saja.
Aku memutuskan untuk mengangguk dan
tidak menanyai Daniel lagi, takut kalau Daniel akan menginterogasiku dan
berprasangka bahwa aku menyukai Troy. Daniel mengambil jatah keju kambingku,
dan dia melahapnya dalam balutan roti kering yang dia bawa dari rumah. Aku
masih memandangi Troy diam-diam. Dan untungnya dia tidak menyadari bahwa sedari
tadi ada seseorang yang sedang memperhatikannya.
Dia tampak manis saat menyuapkan
sesendok salad ke mulutnya. Dan ia tampak seksi saat bibirnya mengerucut untuk
menyedot sedotan. Dia juga tampak bahagia dengan kehadiran cewek-cewek cantik
walaupun kutau mereka bukan anak-anak cheers
seperti anak-anak populer.
Aku mengerjap, lalu menyedot jus
jambuku dan menatapnya lagi sambil diam-diam tersipu malu. Aku melakukannya
beberapa kali, selalu begitu dan seterusnya. Aku menenggelamkan pikiranku dan
memandanginya dari jauh. Mengaguminya dari
jarak pandang yang tak bisa ia raih. Tanpa senyum. Tanpa sapa.
Dan kurasa, hanya boleh aku saja
yang mengetahuinya.
----------------
Saat alarmku meraung pada pukul
enam, aku tergoda untuk melemparkannya ke dinding. Aku kena pusing akut kalau
dilihat dari otot-otot tubuhku yang mulai melemah dan juga kepalaku yang pening
berat. Sepertinya otakku beku, rasanya seperti ditusuki oleh peniti. Sambil
melirik kearah alarm sialan itu, aku menarik selimut putih sampai keatas kepalaku,
berusaha meredam suara alarm yang memekakan telinga.
Otakku sudah terjaga. Kalau sudah
bangun, aku susah untuk tidur lagi. Untuk itu, aku punya dua pilihan saat ini.
Yang pertama, aku bisa mematikan
alarm itu dan kembali meringkuk di balik selimut, berusaha untuk tidur lagi
walaupun aku tau itu sulit.
Yang kedua, aku bisa saja mematikan
alarm itu dan merangkak keluar dari selimut selembut beludru ini, lalu keluar
untuk menghirup udara segar.
Aku mengigit bagian dalam bibir
bawahku, kemudian mematikan alarm sialan itu dengan tangan mengepal. Aku
memilih pilihan yang kedua. Untuk itu, aku merangkak keluar dari selimut dan
segera membasuh wajahku dengan air keran yang terasa dingin saat menyentuh
pergelangan tanganku.
Aku kemudian menyambar celana training
dan kaus warna oranye dari lemari, kemudian mengenakannya secepat kilat. Tak
lupa sepatu kets yang tampak kotor untuk melengkapi acara jalan-jalan pagiku
hari ini. Setelah semuanya siap, aku langsung keluar tanpa mempedulikan Becca
dan Ayah yang mungkin masih meringkuk di balik selimut saat ini.
Saat sampai di luar, udara
benar-benar terasa menusuk. Masih ada kabut. Masih ada embun yang tersisa di
dedaunan atau ilalang di pekarangan rumahku. Aku tidak bisa berdiam diri terus
dan berjalan-jalan biasa di udara sedingin ini. Aku bisa mati kedinginan.
Aku berusaha untuk lari. Dan aku
melakukannya. Aku berlari pelan-pelan di awal, dan makin mempercepat langkah
kakiku saat aku merasakan bahwa tubuhku terasa hangat. Aku berlari makin
kencang lagi. Lagi, lagi dan lagi. Aku tau aku bukan atlet lari lintas alam.
Tapi melakukan hal seperti ini di tengah kabut yang dinginnya setengah mati
bisa membuat adrenalinku naik.
Sampai akhirnya aku berhenti ketika
aku merasakan sekujur tubuhku benar-benar lengket oleh keringat. Ditambah lagi
dengan nafas memburu dan jantung yang berdetak tidak karuan. Aku lantas
menengok kesamping kanan dan kiri. Kabut sudah tidak ada lagi, entah sudah
berapa lama aku berlari. Setengah jam kah?
Saat menengok ke samping kanan dan
kiri, aku baru sadar bahwa aku sama sekali tidak mengenali daerah ini. Oh sial.
Aku lupa bahwa aku baru ada di
Springfield selama satu minggu—satu minggu yang sudah kulewati bersama sekolah
dan kawan-kawan baru. Bagaimana aku bisa tau daerah-daerahnya?
Ya ampun. Aku tersesat.
Seperti kehilangan arah, aku
mendengar suara derap langkah kaki di belakangku, membuatku seketika menoleh ke
belakang dan menemukan seorang cowok yang tengah berlari kearahku. Demi
Neptunus. Aku bisa bertanya pada lelaki itu tentang arah jalan pulang ke rumah.
“Hai.” Katanya, suaranya cukup
rendah dan lembut untuk membuat tulangku bergetar.
“Hai.” Balasku. Dan saat itu pula
lah aku bisa melihatnya lebih dekat.
Ya ampun. Apakah aku sedang
berhalusinasi? Apakah aku sedang ada dalam dunia fantasi? Kalau iya, tolong
jangan bangunkan aku dari dunia itu! Holly
cowl! Pria yang ada dihadapanku kali ini adalah Troy. Ya. Troy McCartney!
Ketua OSIS ganteng yang kutaksir sejak hari pertama masuk sekolah. Sungguh, aku
tak pernah membayangkan jika aku akan bertemu dengannya pagi ini.
Geez.
Aku menahan nafasku saat ia memiringkan senyumnya. Tidak biasanya aku seperti ini.
“Kau darimana?” katanya.
“Aku tidak tau—“ aku mengigit bibir
bawahku, “—Ah, rumah Mr. Woodley!”
“Kau kenal dengan Mr. Woodley?”
Ya ampun. Ternyata dia kenal Ayah.
“Aku anaknya.”
Dia manggut-manggut, sukses
membuatnya tampak menggemaskan karena setitik keringat jatuh di pelipisnya. Dia
seksi dengan rambut hitamnya, harus kuakui itu.
“Kau berlari?”
Aku menahan nafasku sekali lagi
karena dia tersenyum lagi padaku. “Ya. Tapi aku tidak tau jalan pulang.”
Setelah itu dia tertawa. Ya ampun.
Dia saja terlihat begitu keren saat tertawa. Jenis tertawa yang membuatmu juga
ingin tertawa tanpa ada suatu alasan yang jelas.
“Maafkan aku karena aku tertawa.”
Katanya, “Tapi aku bisa menunjukkan jalan pulang buatmu.”
Aku bersorak dalam hati. Cowok
tampan ini akan mengantarku pulang? Geez.
Rasanya aku ingin berteriak!
“Mari
kuantar.” Katanya, dan aku langsung berjalan di sebelahnya tanpa aba-aba lagi.
Aroma tubuhnya yang beraroma gummy
secara otomatis membuat hidungku terangsang. Dan hal itu makin terasa maskulin
saat bercampur dengan aroma keringatnya yang entah kenapa terasa nyaman. Oh,
aku sudah gila.
“Jadi, kau
anak Mr. Woodley?” aku bersyukur karena dia yang memulai percakapan.
“Ya,” kataku,
“Kau mengenalnya?”
“Tentu saja
aku kenal. Kau tak mengenaliku? Aku adalah tetangga sebelah rumahmu.”
Aku terlonjak
seketika. Apa katanya tadi? Tetangga?! Seorang Troy McCartney adalah tetangga
sebelah rumahku dan aku tak mengetahuinya?!
“Oh—well…”
aku berkata canggung, “Aku jarang keluar. Dan aku sama sekali tidak tau bahwa
kau adalah tetanggaku.”
“Hahahaha.
Tidak apa-apa. Lagipula aku sudah sempat melihatmu di hari pertamamu sekolah.
Dan kita bertemu di kelas Fisika dan Ekonomi beberapa kali.”
Aku yakin
wajahku sudah semerah tomat sekarang. Gila. Troy menyadari keberadaanku saat
masuk sekolah seminggu yang lalu. Oh, ya Tuhan.
“Ya, dan kau
adalah ketua OSIS itu.”
“Bagaimana
kau bisa mengetahuinya?”
“Aku tau dari
seseorang,” kataku sok misterius, “Lagipula siapa sih, yang tidak tau seorag Troy
McCartney?”
Aku yakin aku
sudah membuatnya geli karena akhirnya dia terkekeh, “Kau pasti tau dari Daniel.
Ah, sudahlah. Jangan bahas tentang jabatanku itu.”
Aku
mengedikkan bahu dan terus berjalan sementara Troy berada di sebelahku. Jujur
saja, aku tidak pandai memilih topik pembicaraan hingga akhirnya aku terdiam,
menunggunya untuk angkat bicara lagi.
“Ah, aku
sangat tidak sopan. Kita belum berkenalan secara resmi,” katanya, lalu berhenti
dan berbalik untuk menatapku, “Aku Troy Nicolas McCartney. Siapa namamu?”
Entah kenapa
aku ingin tertawa saat dia menyodorkan tangannya yang kekar padaku. Aku balas
menjabat tangannya yang terasa basah oleh keringat sebelum akhirnya berkata,
“Regina Persie Woodley. Senang berkenalan denganmu, Troy.”
Dia
mengangguk dan tersenyum, lalu jabatan tangan kami lepas. Kami melanjutkan
perjalanan hingga akhirnya Troy kembali membuka pembicaraan.
“Omong-omong,
aku suka aksen Prancismu.”
Aku yakin
wajahku sudah merah padam saat ini, “Terimakasih.”
“Jadi kau
benar-benar dari Prancis? Maksudku, kau memang asli sana?”
Aku
menggeleng, “Ayah masih punya darah Amerika sedangkan Ibu orang Prancis.”
“Ah, itu
masuk akal,” katanya, “Tapi kau benar-benar berbicara seperti orang Prancis.”
“Karena aku
sudah menghabiskan separuh hidupku disana. Tapi aku terpaksa pergi setelah Ayah
dan Ibuku bercerai, dan harus pindah ke Amerika karena hak asuh ku jatuh ke
tangan Ayah.”
Troy
menatapku iba, “Oh, maafkan aku.”
“Tidak
apa-apa,” kataku.
Dan setelah
itu keadaan berubah hening. Sampai pada akhirnya Troy menjulurkan tangannya dan
menyerahkan sebotol minuman mineral padaku. Aku menerima botol yang isinya
hanya tinggal setengah itu dan menegaknya hingga hampir tandas.
“Habiskan
saja jika kau haus,” katanya, sontak membuatku malu setengah mati.
“Ah, maafkan
aku.”
Dia terkekeh
lagi dan dia tiba-tiba mendekat kearahku, sehingga kulit kami bersentuhan. Oh,
ya Tuhan. Tolong hentikan ini semua. Entah sudah berapa lama kejadian itu
berlangsung hingga akhirnya dia menjauh, dan akhirnya dia berkata, “Kita sudah
sampai.”
Aku
terhenyak, lalu menengok ke samping kanan. Benar saja. Ini rumahku. Ah. Kenapa
perjalanan kami terasa begitu cepat?
“Terimakasih
sudah mengantarku,”
Troy
mengedipkan satu matanya, cukup untuk membuat lutuku lemas, “Anytime, Regina.”
Aku
tersenyum mendengarnya, “Well, I’ll see
you soon then?”
“Yea,” dia
mengangguk, “I’ll see you soon then.”
Aku langsung
berbalik dan berusaha menyembunyikan wajah merahku ketika dia berkata seperti
itu. Aku baru saja melangkah ke dalam rumah ketika akhirnya Troy memekikan
namaku, membuatku berbalik dan menatapnya dengan seribu tanda tanya yang
menggantung di atas kepalaku.
“Regina!”
“Ya?”
“Erm—,” katanya
sambil mendesis, “Besok Senin, maukah kau berangkat sekolah bersamaku?”
Holly cowl. Seorang Troy McCartney mengajakku pergi ke sekolah
bersama? Apakah ini mimpi? Apa aku baru saja terlelap dan masuk dalam dunia
mimpi?
“Well, itu ide yang bagus. Sepertinya
akan menyenangkan,” perkataan itu keluar dari bibirku tanpa kendali. Perkataan
itu keluar darisana tanpa bisa kucegah.
“Baiklah. Aku siap kapanpun kau
siap.” Katanya, dan ia tersenyum manis ke arahku.
“Cool,” kataku, “Sampai jumpa besok pagi.”
“Sampai jumpa besok pagi.”
Dan kemudian aku berbalik dan
berjalan masuk ke dalam rumah. Dia tidak memanggilku lagi hingga akhirnya aku
berhasil masuk ke dalam rumah. Apa yang baru saja terjadi? Aku berjalan bersama
Troy McCartney dan dia mengjakku berangkat sekolah bersama? Ya ampun, aku tak
bisa menahan senyumku yang tiba-tiba saja tersemat dan merekah di bibirku.
Pertemuan pertama itu telah
menyeretku untuk masuk ke dalam sebuah pusaran yang tak bisa kukendalikan…
To
be continued….
Love, BS! :) xx
Tidak ada komentar:
Posting Komentar