Jumat, 18 April 2014

Avoid You. (Can I?)

Aku menuliskan entri ini sambil mendengarkan lagu-lagu Keane di albumnya yang berjudul Hopes and Fears. Iya, lagi-lagi Keane. Ada satu alasan tersembunyi yang selalu membuatku sedih setiap kali mendengarkan lagu-lagu Keane. Entah karena aku suka aliran alternative, atau lagu ini entah bagaimana caranya membuatku mengingat kamu. Ya, kamu. Kamu yang selalu tampak sehat dan baik-baik saja setiap kali kita bertemu di hari Sabtu. Kamu yang kukagumi, sampai-sampai aku menutup hatiku untuk lelaki lain. Kamu yang tampak begitu dekat, namun ternyata teramat jauhnya. Kamu yang pada akhirnya membuatku sadar, bahwa sebenarnya selama ini aku terlalu percaya diri akan anggapan bahwa kamu menyukaiku seperti aku menyukaimu.
Well, kamu boleh menyalahkanku dalam kasus ini karena aku mengharapkanmu terlalu tinggi. Agaknya aku cuma gadis umur 16 tahun yang selalu mengharapkan cinta di masa SMA. Dan kukira, cinta itu adalah kamu. Tapi ternyata aku salah. Cinta itu memang untuk kamu; dariku untuk kamu. Tapi nyatanya cinta itu bukanlah kamu. 
Pada awalnya kukira kamu juga menyukaiku. Pada awalnya kukira kita sama-sama suka. Tapi kamu tidak berbuat apa-apa untuk membuktikannya. Sampai akhirnya aku sadar bahwa sebenarnya, kamu tidak pernah menyukaiku. Oh, kalau boleh aku bertanya, dan kalau aku punya keberanian untuk bertanya, aku akan bertanya satu hal padamu; apakah benar bahwa kamu pernah menyukaiku? Karena dari caramu melirikku beberapa bulan yang lalu, ada sebagian dari diriku yang percaya bahwa kamu dulu sempat menyukaiku. Tapi perasaan itu terkikis karena kamu punya kepentingan yang jauh lebih penting daripada menyukai seorang gadis jelek sepertiku. Iya, kamu harus menatap masa depanmu. Kamu harus melanjutkan sekolahmu. Lalu mendapatkan gelar Dokter beberapa tahun kemudian.
Ini memang sepenuhnya salahku karena sudah mengharapkanmu terlalu tinggi. Awalnya aku berpikir bahwa kita bisa jadi pasangan yang lucu. Yang duduk bersama di gereja setiap hari Sabtu. Yang tidak banyak bertingkah karena sikap pendiammu. Yang membuat banyak orang menganga saat melihat kita bersatu... Namun hal itu tidak terjadi dan aku semakin bingung akan semua ini. Aku ingin sekali menyalahkan keadaan karena begitu terpaku padamu dan ogah melayangkan pandanganku pada cowok lain setiap melihatmu melintas. 
Tapi... apa semua ini salahku?
Baiklah, aku memang jelek dan buruk rupa. Aku tidak cantik dan tidak memiliki tubuh yang semampai. Aku ibaratkan selembar kertas yang biasa-biasa saja. Dan semua hal itu membuatku sadar bahwa mungkin... mungkin hal itu adalah faktor kenapa kamu tidak pernah mau membuat first move. 
Dan sekarang... setelah delapan bulan berlalu, aku yang sudah memutuskan untuk mundur dua bulan yang lalu, kali ini sedang mencoba menjauhimu. Aku mencoba untuk tidak menatapmu setiap hari Sabtu. Dan tebak apa? Aku tidak berhasil! Sedih rasanya. Its hard to avoid you even thats the right thing to do. 
Aku memang terlalu labil bila disandingkan denganmu. Kamu sudah sembilan belas, sudah matang dan punya masa depan yang cerah. Sedangkan aku baru enam belas, sama sekali belum dewasa dan selalu mengharapkan cinta di masa SMA-nya.
Mungkin aku akan tertawa beberapa bulan lagi karena sudah menulis ini. Tapi aku tidak bisa membendungnya lagi. Aku perlu meluapkannya jika tidak ingin menjadi gila.

Dan, well, inti dari semua ini adalah, aku tidak bisa melepaskan kamu dari otakku walaupun kamu sama sekali tidak peduli. Aku berusaha tidak peduli, tapi ternyata tidak bisa karena aku masih sering membuka semua akunmu dan memastikan keadaanmu.
Tapi aku sedang berusaha menjauhimu sekarang. Doakan aku supaya metode ini berhasil, ya. Pada dasarnya aku hanya tidak ingin melukai diriku terlalu dalam karena sudah menyukai orang yang seharusnya tak pernah kusukai. 
Tapi tenang saja. 
Aku masih menyukaimu dan selamanya aku akan peduli. Karena apa? Karena kamu adalah satu-satunya lelaki yang bisa membuatku gila hanya dengan tatapanmu. Karena kamu adalah satu-satunya lelaki yang bisa membuatku mengerti apa artinya mengagumi dari jauh; mengagumi tanpa dikagumi; mencintai tanpa dicintai. Dan, ya. Karena kamu adalah satu-satunya lelaki yang bisa membuatku jatuh cinta lagi dan lagi. 
Dan aku berjanji, aku tidak akan pernah menyalahkanku atau menyalahkanmu karena aku sudah terlanjur menjatuhkan cinta itu padamu.

Rabu, 26 Februari 2014

If it's meant to be, it will be.

Pagi ini, tepatnya pukul 00.00, aku dibangunkan oleh bunyi alarm yang bergema nyaring dan menyuarakan lagu Hurricane punya Bridgit Mendler. Aku lantas menjulurkan tangan ke meja di sebelah ranjang, menatap ponsel, dan langsung teringat bahwa tanggal ini adalah tanggal khusus yang sudah kutandai agar aku tidak lupa. Aku segera siap siaga, membuka berbagai macam sosial media dan mengecek segalanya, tapi aku tidak mengucapkan apa-apa, tidak menulis apa-apa. Aku hanya terjaga selama 20 menit dan berlutut sebentar untuk berdoa. Setelahnya aku bangun dan berangkat ke sekolah seperti biasa.
Ada satu hal yang mendukungku untuk tetap diam pada saat alarm itu berbunyi, bahkan ketika aku menatap layar ponsel dan mengetahui hari ini hari apa. Aku tetap diam, atau lebih tepatnya memilih untuk diam dan tidak melakukan apa-apa.
Aku sudah capek dengan semua hal yang tak berujung ini; menyukai tanpa disukai; peduli tanpa dipedulikan; mencintai tanpa dicintai. Aku sudah terbiasa dengan semua ini, sehingga rasanya aku sudah capek menggantungkan harapanku yang terlalu besar untuk seseorang yang sama sekali nggak bisa kuraih. Aku seperti kehilangan arah, merasa selalu mencintai seseorang yang salah. Cinta yang bertepuk sebelah tangan sepertinya sudah menempel dan melekat erat dalam diriku layaknya label harga di toko-toko kelontong. Bahkan lagu Pupus milik Dewa 19 sepertinya sudah seperti ceritaku sendiri, karena aku mengalaminya berulang kali.
Aku sudah sering mengalami kisah sendu tak berujung ini dengan beberapa laki-laki lain.  Dan bahkan saat memulai semua ini aku pun sudah tau bagaimana semua ini akan berakhir; ini semua tidak akan pernah ada ujungnya. Mengambang teratur, lalu tiba-tiba hilang dengan aku yang mulai melupakannya walaupun butuh waktu yang cukup lama.

It suck, you know?
Knowing that someone you want the most doesn't want you back. Or knowing that someone you care the most is the person who hurt you the most. 
Well... if you feel the same way, you are not alone then. Because I've been through this  so many times. 

Aku tidak takut jatuh cinta, aku siap menjatuhkan cintaku pada siapapun yang kumau, tapi rasa-rasanya aku selalu menjatuhkannya kepada seseorang yang salah. Seseorang yang nggak tau bahwa aku disini, menatapnya diam-diam, mengecek seluruh sosial media miliknya dan kadang-kadang mengunduh fotonya sebagai sesuatu yang bisa dipandang saat perasaan itu meluap jika nggak ketemu sama dia dengan jangka waktu lama. 
Aku sudah merahasiakan perasaan ini dari sahabat-sahabatku selama 5 bulan penuh, padahal semua orang tau bahwa aku benar-benar nggak bisa menyimpan rahasiaku sendiri. Tapi dengan laki-laki satu ini, aku membuat pengecualian. Aku membuat pengecualian dan  menjaga perasaan ini sendiri. Hanya aku dan Tuhan yang tau selama 5 bulan itu. 
Tapi akhirnya mereka mengetahuinya, dan ekspresi mereka saat mendengarnya hampir semua sama. Seolah-olah wajah mereka mengatakan, "lo nggak mungkin jadi sama dia, dia terlalu tinggi buat lo, nggak usah banyak berharap karena toh dia nggak mungkin lirik elo." 
Tapi semua itu memang benar. Aku dan dia memang jauh berbeda. Dia pendiam, aku koar koar. Dia pintar, aku standar. Dia begitu tampan, aku buruk rupa. Dia punya ekspektasi cewek yang tinggi, sedangkan aku disini hanya seuntai kain yang nggak berarti buat dia.
Dari awal aku memang tau bahwa aku dan dia mustahil untuk menjadi satu, tapi bodohnya aku tetap mencoba. Mencoba untuk memulai percakapan di sosial media yang membutuhkan waktu 2 jam untuk mengirimnya. Mencoba untuk melakukan first move walaupun akhirnya gagal. Aku ingat persis tanganku bergetar hebat waktu itu, sampai akhirnya aku nekat meng-klik kata send dari layar ponsel. Tiga puluh menit kemudian, dia membalasnya. Lumayan panjang, lumayan membuatku lega karena aku pikir dia nggak merasa annoyed of my behave. Namun, percakapan itu berlangsung hanya dua hari, diawali dengan ucapan natal dan barisan pertanyaan basa-basi yang dia dan aku tanyakan. Lalu setelah itu, semuanya berhenti. Berhenti begitu saja tanpa alasan yang jelas. 
Aku sudah mengeceknya berulang kali, namun hasilnya tetap kosong; dia membiarkan pesan terakhirku tak terbalas dan digantungkan begitu saja.
Aku ingat betul bahwa hari itu hariku rasanya kelabu.  Aku diabaikan, dan aku yakin bahwa dia memang tidak menyukaiku seperti aku menyukainya.
Namun aku memang bodoh karena aku masih mengharapkannya setelah semua kejadian itu. Aku tetap memeriksa akunnya setiap hari, mengambil napas lega karena nyatanya dia baik-baik saja. Dan dua bulan setelah percakapan itu, tepatnya hari ini, aku mulai ragu. Aku bukan meragukan perasaanku terhadapnya, namun aku meragukan kekukuhan hatiku yang masih terus mengharapkannya setiap hari. Rasanya sosok itu hanya sebuah imajinasi yang kutemui setiap seminggu sekali jika beruntung. Rasanya sosok itu hanya sebuah ilusi semu dan angan-angan yang nggak akan pernah bisa kucapai seberapa besar pun aku mencoba. Aku sudah mengalami ini berulang kali, dan aku tau bahwa semua ini nggak akan berakhir; tetap menggantung disana, nggak berbunga apalagi berbuah.

Dan hari ini, tepatnya tanggal 26 Februari 2014, aku sudah membulatkan tekad dan memilih untuk mundur. Aku memilih mundur dan berniat melupakannya, seolah-olah perasaan ini nggak pernah ada, sama seperti perasaannya yang nggak pernah ada buatku. Aku tau persis skenario cerita tak berujung ini, dan aku nggak mau melihat endingnya. Aku akan menuntaskannya dan mengakhirinya dengan kemunduranku sendiri, sebelum aku tersakiti oleh diri sendiri dan mempunyai ekspektasi yang bisa membuatku gila. 
Kita mungkin nggak pernah berbicara, mungkin hanya berjabat tangan dua kali. Tapi aku tau, aku harus melanjutkan hidupku dan kamu dengan hidupmu.
Aku akan berusaha melupakanmu walaupun itu sulit, dan kamu akan tetap menganggapku tidak ada. Selesai. Tidak ada yang dirugikan dalam skenario ini, bukan?
Aku memutuskan untuk mundur. Toh kalau kita memang seharusnya bersatu, sekuat apapun aku menjauh, kamu akan selalu ada disampingku, menjadi seseorang yang bisa menjagaku.

If its meant to be, it will be. 


Dan oh, ya. Satu lagi, kalau kamu kebetulan membacanya.
Selamat ulang tahun yang ke-19. :) 

Jumat, 27 Desember 2013

Being Ignored

Diabaikan.
Bukankah satu kata diatas adalah salah satu hal yang paling dibenci cewek di seluruh dunia? Semua cewek di dunia; mau itu tua atau muda, kurus atau gendut, cantik atau buruk rupa, semuanya nggak suka diabaikan. Entah itu diabaikan sama orang tua, sama temen, apalagi sama that someone special yang udah ditaksir sejak lama. Rasanya campur aduk kalau udah diabaikan sama seseorang yang ditunggu-tunggu, padahal butuh waktu berjam-jam untuk mengetikkan sesuatu dan mengirimkan satu pesan singkat buat dia. Butuh seikat keberanian yang kuat dan satu muka tebal yang siap nerima apapun yang akan dibalaskan sama that someone special. 
Ditambah lagi, kaum kita adalah kaum yang disebut perempuan. We need extra courage to do the first move, untuk memulai percakapan yang pertama. Semua orang selalu bilang, "guys always make a first move."  tapi kayaknya sekarang udah nggak jaman lagi yang begituan, karena sebenarnya cewek juga bisa. Girls also make the first move! 
Tapi... dengan satu kondisi. Karena cewek kebanyakan sensitif dan pengen banget diperhatiin, dalam hal ini cewek harus berhati baja untuk buat first move dan siap kalo that someone special nggak bales your texts. 
Pait banget ya? Paiiiiiiit banget kalo didiemin gitu. Seolah-olah campur aduk di dalam hati, perasaannya seakan berkecamuk. 
"Dia keganggu kali kalo gue sms." "Dia sibuk kali." "Mungkin ga deliv!" "Dia mungkin baca, nggak ada pulsa kali." "Mungkin sengaja ga dibaca sama dia." "Mungkin udah dibaca, tapi males dibales." "Duh, kayaknya dia nggak suka sama gue." "Duh, kayaknya dia benci banget sama gue." "Dia jijik kali sama gue!" "Njrit, gue yakin banget dia nggak suka sama gue dan nggak pernah mau gue sms dia!"
DUAAAAAAAR!
Meledak deh lo meledak! 
Serba salah sebenernya jadi kaum perempuan. Buat langkah pertama, nggak diladenin. Nggak buat langkah, stuck aja di tempat. 
Serba salah, kan?

Dan satu, being ignored is one of the worst thing in the whooooole world. Solusinya biar nggak diabaikan? Gue juga nggak tau. Masih cari jalan keluar. Sama-sama buntu. Dan gue suntuk banget. Beteeeee banget. 
BYE. 

Jumat, 08 November 2013

Amy's Diary #2

Berbicara dengan Nathan adalah sebuah hal yang mengasyikkan. Poin plus-nya adalah bahwa ia luarbiasa tampan dan punya selera humor yang sama denganku. Sudah 2 jam aku berbicara dengannya, dan dalam dua jam itu pula aku sudah menghabiskan 2 cangkir cokelat panas. Nathan lebih parah karena ia menghabiskan 1 cangkir cokelat panas dan 2 cangkir kopi, ditambah lagi vanilla pop tart yang sekarang sedang ia santap. 
Sejauh ini, kami sudah berbicara tentang banyak hal. Tentang hobi dan rancangan masa depan, misalnya. Dia juga bertanya banyak tentang Indonesia, dan aku menanyainya balik tentang Australia. Aku diam-diam bersyukur karena bisa berbahasa Inggris lancar, mengingat Papa dulu selalu menuntutku untuk berbicara Bahasa Inggris dan Bahasa Jerman supaya bisa mudah berbicara dengannya. 
Aku juga berbicara tentang kuliahku yang mengambil jurusan Komunikasi di salah satu Universitas Swasta di Jakarta, dan juga tentang restoran yang dibangun Papa di 12 kota di Indonesia. Nathan mendengarkan semua ceritaku dengan baik. Aku sudah menobatkan dia sebagai salah satu pendengar terbaik atas semua cerita-ceritaku, karena semua ceritaku sepertinya selalu menarik untuknya.
"Jadi kamu sempat cuti kuliah selama satu tahun karena membantu Papa-mu membangun restoran?"
Aku menyesap cokelat panas, lalu mengangguk. "Yepp. Dan hasilnya nggak sia-sia, karena Papa nggak hanya buka cabang di Jakarta saja, tapi sudah meluas di 12 kota besar di Indonesia. Papa malah berencana membuka cabang juga di Berlin."
Nathan menganga. "12 kota? Geez. Papa kamu sepertinya keren sekali."
"Yes. He totally is." kataku bangga, "Tapi jangan lupa. Saya juga ikut andil dalam pembukaan restoran pertama Papa. Dan berkat itu semua, saya jadi tau bagaimana rasanya struggling untuk mencapai sebuah kesuksesan." 
Nathan tersenyum samar, sedikit menyipitkan matanya dan menatapku dengan sebuah tatapan yang tak bisa kutebak. "Ternyata ke-kerenan Papa mu menurun sama kamu."
Aku terkekeh. "Banyak orang yang bilang begitu. Kamu bukan yang pertama."
"Dasar narsis."
Kini aku tertawa. "Tapi benar, lho. Dibandingkan Tiffany, saya jauh lebih dewasa. Yah, setidaknya begitulah kata beberapa orang."
"Tiffany siapa?"
Ah, aku lupa memberi tahu tentang Tiffany pada Nathan. "Tiffany Summers, kakak saya."
Nathan mengangguk-angguk, lalu menyuapkan sesendok vanilla pop tart ke dalam mulutnya. 
Diam-diam aku melirik kearah jam tangan merk Dior palsu yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Sudah jam setengah sepuluh malam. Itu berarti sudah lebih dari 2 jam aku berbicara pada Nathan. Tapi anehnya, aku tidak merasa bosan sama sekali. Aku justru ingin berbicara padanya setiap waktu. Sampai pagi, kalau aku bisa.
"Jadi, kapan kamu akan lulus kuliah?"
Aku melenguh, topik ini adalah topik pembicaraan yang paling aku benci. Semua orang sepertinya selalu menanyakannya padaku, dan setiap kali mereka menanyakannya, aku selalu menjawab, "Secepatnya."
Nathan mengembuskan napas, sepertinya mengerti kalau aku tidak suka ditanyai tentang kuliahku yang tak kunjung kelar. "Tidak apa-apa. Dulu saya juga telat lulus kuliah, kok."
"Really?!" 

"Yepp. Dulu saya malas, kamu tau. Tapi pada akhirnya, saya berhasil lulus dan dapat nilai diatas rata-rata."
Aku mengangguk-angguk, mungkin aku terlalu banyak berbicara mengenai diriku sendiri sehingga aku lupa menanyakan seluk beluk tentangnya.
"Jadi sekarang kamu bekerja?"
Nathan menipiskan bibirnya. "Tidak juga."
Aku menaikkan alis. "Lantas?"
"Saya seorang pengusaha."
Pengusaha! Gee. Tampan, sopan, pengusaha pula!
"Kamu pemilik sebuah perusahaan?" aku berkata datar, sebisa mungkin menutupi kekagumanku padanya. 
"Bukan sebuah perusahaan, hanya bisnis kecil-kecilan saja."
Aku mengibaskan tanganku. "Yang namanya pengusaha, mau sekecil apapun, tetap saja namanya pengusaha." Aku bersikeras. "Jadi, bisnis apa yang kamu miliki?"
"Sebuah kafe."
"Wah!" aku mendadak sumringah. "Kafe apa?"
"Kafe ini."
Aku hampir tersedak oleh kesumringahanku sendiri ketika Nathan menjilat bibir bawahnya dan tertawa melihat ekspresiku. Aku yakin aku melotot sekarang, karena Nathan makin tertawa. Bagaimana tidak? Aku sedang duduk bersama seorang pemilik kafe! Tambahan; pemilik kafe yang sekarang sedang aku kunjungi!
"Kenapa kamu tidak mengatakannya dari awal?!" aku mendadak protes.
"Kamu saja yang tidak menanyakannya."
Aku menggaruk pelipisku yang tidak gatal. "Mungkin saya terlalu berbicara banyak mengenai diri saya sendiri."
"Tidak, kok." katanya, "Tidak apa-apa. Saya suka mendengarnya."
Mendadak aku merasa wajahku memanas. Dan aku yakin sekali bahwa kedua pipiku yang tembam sudah berubah warna menjadi merah tomat sekarang juga.
"You're blushing." ujar Nathan.
"I'm not."
Nathan terkekeh. "Yes, you are." 
"Sudahlah, change the topic, please?" 
Nathan terkekeh hebat setelahnya. Aku yakin tawanya kali ini akan berlangsung lama, jadi akhirnya aku yang angkat bicara. "Nathan, stop." kataku, melihatnya masih terkekeh hebat. Sebenarnya apa yang lucu dari seorang Amy yang sedang tersipu?
"Okay, I'll stop."
"Good."  balasku.
Butuh waktu beberapa detik sebelum akhirnya aku menemukan pertanyaan ampuh untuk membuka pembicaraan lagi. "Kamu masih muda, dan kamu sudah punya kafe sendiri. Saya yakin kamu belum menginjak usia 30 tahun. Kamu sama kerennya seperti Papa saya. Tapi tetap Papa saya yang paling keren, tentu saja."
Nathan tersenyum manis dan memperlihatkan deretan giginya yang rapi dan putih bersih. "Tidak juga. Kafe ini baru dibuka beberapa bulan yang lalu. Belum keren."
"Tapi kafe ini cozy, cokelat panasnya enak sekali." 
"Well, thanks for that." jawabnya. 
Aku mengangguk, tersenyum melihatnya menyesap kopi lagi. Aku jadi penasaran berapa umurnya. "Jadi, berapa umurmu?"
Nathan mengerutkan keningnya. "Pertanyaannya telak sekali." 
Aku tertawa kali ini. "Belum sampai 30, kan?"
"Coba tebak saja. Saya akan mengangguk kalau kamu benar."
Aku menggigit bibir bawahku. Pembicaraan ini semakin menarik. 
"Dua puluh lima?"
Nathan menggeleng.
"Dua puluh dua?"
Nathan merengut, lalu menggeleng.
"Dua puluh delapan?"
Nathan tersenyum, tapi tetap menggeleng. Aku mengerutkan kening, menatap wajahnya dan terus saja menebak-nebak.
"Dua puluh tujuh!" aku berkata mantap. Kali ini pasti aku benar.
Tapi ternyata, Nathan menggeleng lagi.
"Lima belas." aku berkata ngawur, dan Nathan langsung tertawa. Entah kenapa tawanya terdengar merdu di telingaku.
"Dua puluh enam." ucapnya, menyerah pada akhirnya. 
Aku mengedikkan bahu, well--tebakanku hampir benar. 
"Beda tiga tahun dari saya."
Nathan melebarkan matanya, "Benarkah? Tadinya saya kira kamu masih tujuh belas." katanya, "Tapi tidak mungkin, mengingat kamu telat lulus kuliah." ledeknya, dan aku mencibir kesal.
"Berkatalah semau kamu, Mr. Mills."
Nathan tertawa lagi. Duh, tawanya seperti kerupuk. Renyah sekali, dan menyenangkan saat sampai di telinga. 
"Twenty six and available." Perkataan Nathan yang begitu tiba-tiba membuatku berhenti menyesap cokelat panasku. 
"Jangan bercanda." aku mengibaskan tangan.
"I'm not, Amy."
Aku terkekeh geli. "Come on, Nathan. You are perfect, and I'm sure that you already have a girlfriend. A fiance, even."
"Ah. Thank you for saying that I'm perfect, by the way."
Aku terkesiap. Aku tau aku keceplosan.
"Maksud saya, kamu begitu matang dan pasti banyak cewek yang naksir kamu. Masa kamu tidak punya pacar?"
Nathan mengedikkan bahu, "I guess I'm the picky ones." 
"Let me guess... You looking for the perfect one, do ya?"
"I think so. Not the perfect girl, but the perfect one."
Aku mengangguk. "Kamu belum menemukannya?"
"Sejauh ini belum. But I'm still working on it." jawabnya mantap, "Kalau kamu sendiri bagaimana?"
Aku menunduk, lalu menertawai diriku sendiri dalam hati. "Twenty three and available." ucapku meniru perkataannya. 
"That's great for ya."
"Not as great as I expected, I think." 
Nathan mencondongkan badannya kearahku. "Why not?"
"It's a long story." balasku, masih menunduk. "Guess I'm not gonna talk about that."
Aku menatap Nathan, dan aku menangkapnya dalam bola mataku yang kali ini menyipit. Aku tidak mau membahas tentang masa laluku. Tidak untuk saat ini, tidak di tempat ini, tidak pada Nathan--satu-satunya pria Gold Coast yang paling menarik sejauh aku berada disini.
"I understand. Lets change the topic." 
Aku mengulum senyum. "Yeah, we better change the topic."
Aku menggigit bibir bawahku, kembali menatap Nathan yang kali ini juga sedang menatapku. Kami berdua tersenyum, lalu sama-sama kikuk dan memilih untuk membuang pandangan kami masing-masing.
Oh. Entah apa yang sudah kulakukan.
Aku berbicara pada Jonathan Mills selama 2 jam lebih. I mean, he's a total stranger and I met him in a cafe! What a romantic movie's story, I guess! 
Tapi aku tidak peduli. Aku hanya senang berbicara dengannya, mengingat perbincangan kami yang tidak ada habisnya. Aku belum tau dimana ujung pembicaraan kami. Dan sepertinya, aku tidak ingin tau. Berbicara dengannnya membuatku gembira, membuatku kembali merasakan sengatan aneh dan rasa panas di pipiku. Entah karena sikapnya yang sopan, wajahnya yang tampan, selera humor kami yang sama, atau aku memang tertarik padanya.
Ya ampun.  
Apa yang sudah kau lakukan, Amy Summers?!

Kamis, 07 November 2013

Amy's Diary #1

Hari itu adalah hari Sabtu di awal bulan Agustus. Aku sedang terduduk di pojok sebuah kafe sambil melihat-lihat isi laptop dan mendengarkan lagu melalui earphone murahan yang kubeli di toko elektronik China di ujung blok. Tak banyak yang bisa kulakukan di tempat ini, walaupun pada awalnya aku ingin sekali mengunjungi tempat ini sekali seumur hidup. Aku masih punya 3 minggu lebih di kota yang penuh dengan pantai ini sebelum liburan musim panasku berakhir. Entah aku harus senang atau sedih karena aku masih mempunyai setidaknya 20 hari untuk tinggal di Gold Coast, sebuah kota kecil di bagian negara Queensland, Australia. 
Aku mengaduk coklat panas kedua yang kupesan dari kafe ini. Rasa coklat panasnya enak sekali, padahal kafe ini tidak terlalu besar dan pengunjungnya hanya beberapa. Tapi kafe ini nyaman dengan interior klasik dan juga aroma kopi yang menyeruak manis di setiap ujung ruangan. 
Aku mematikan laptop, menutupnya dan kemudian memasukkannya ke dalam ransel. Aku merasa ada sepasang mata yang mengawasiku, dan saat aku mendongak, aku baru tau bahwa ada seorang pemuda yang sedang menatapku sambil menyesap kopinya. 
Aku menatapnya balik, membuatnya melepaskan pandangannya dariku dan berpura-pura tidak melihatku, padahal aku tau persis bahwa dia tadi melihatku. Aku mengacuhkannya, lalu menyesap coklat panasku lagi dan aku merasa bahwa matanya mengawasiku lagi. Aku secepat kilat mendongak, dan secepat kilat itu pula pemuda itu mengalihkan pandangannya dariku.
Aku mengernyit. Dasar aneh. 
Lalu tiba-tiba, aku merasa bahwa pemuda itu berjalan ke mejaku. Dari sudut mataku, aku yakin sekali bahwa pemuda itu kini sudah berdiri tepat di sebelah mejaku. 
"Hallo."
Dia menyapa, membuatku mau tak mau mendongak dan menatapnya juga.
"Ha-llo?" jawabku canggung, ia membalasnya dengan senyuman tipis.
"Maaf ya, tadi saya melirik kearah kamu dua kali." katanya, tersenyum lagi. "Maaf saya sudah bersikap tidak sopan. Sebenarnya saya hanya penasaran saja. Kamu sepertinya bukan berasal dari daerah ini, ya?"
Aku meneguk ludahku, pemuda ini jelas berbicara terlalu sopan. "Tidak apa-apa. Dan, ya. Saya memang bukan berasal dari sini. Saya berasal dari Indonesia."
Pemuda itu mengangguk-angguk, menilai fakta bahwa gadis sepertiku berasal dari Indonesia sepertinya membuatnya tertarik. 
"Kamu seperti bukan orang Indonesia." Aku sudah menyangka bahwa ia akan mengatakannya. Pemuda itu lantas mengedikkan bahu, menarik kursi yang ada di depanku. "Boleh saya duduk disini?"
"Silahkan." jawabku buru-buru. 
"Terimakasih." katanya, "Kamu bukan orang asli Indonesia, ya? Wajah kamu seperti orang western, berbeda sekali dengan wajah salah satu teman saya yang asli Indonesia."
Aku tersenyum kecil. "Wajah saya ikut wajah Papa yang kebetulan asli Jerman, tapi saya lahir di Indonesia dan besar di Indonesia." 
"Saya sudah tebak." Pemuda itu mengedikkan jarinya, lalu tersenyum lebar padaku. Senyumannya bagus dan giginya putih bersih. "Ada acara apa di Gold Coast? Liburan? Atau mengunjungi pacar?"
Aku mendengus. "Hanya liburan musim panas, kok. Saya kembali ke Indonesia bulan September  mendatang."
"Biar saya tebak... Kamu pasti datang sendirian saja ke Gold Coast?" mata pemuda itu mendelik, membuatku bisa melihat matanya yang ternyata berwarna biru keabuan.
"Sedihnya, ya. Tapi saya tinggal bersama sepupu saya yang kebetulan kuliah disini."
Pemuda itu mengangguk lagi, seperti tanda bahwa ia mengerti. Sementara ia mengangguk-angguk seperti burung pelatuk, aku diam-diam mengamati wajahnya. Wajahnya lonjong dengan garis muka tegas dan juga dagu yang sedikit runcing. Bentuk mukanya nyaris sempurna layaknya pahatan, alisnya tebal berwarna cokelat, lalu bibirnya berwarna merah muda yang sepertinya nikmat sekali jika dicium. Rambutnya coklat gelap, dan warna matanya biru keabuan. Walaupun mempunyai garis muka yang tegas, pemuda ini punya cara bicara yang membuatku kagum karena kesopanannya. Duh, dia adalah pemuda pertama yang nyaris sempurna yang kutemui di Gold Coast selama 5 hari disini. 
"Ya ampun. Saya begitu tidak sopan. Saya lupa memperkenalkan diri saya pada kamu."
Perkataannya membuyarkan lamunanku yang melambung jauh. Aku mengerjapkan mata beberapa kali. Duh, apa yang baru saja aku pikirkan?
"Nama saya Jonathan Mills. Kamu cukup panggil saya Nathan." Nathan mengulurkan tangan dan aku membalasnya. Tangannya terasa besar dan kekar saat menjabat tanganku.
"Amy Summers." kataku, tersenyum padanya.
"Senang berkenalan denganmu, Amy." kata Nathan dengan senyuman mautnya.
"Senang berkenalan denganmu juga, Nathan." jawabku, dan jabatan tangan kami terlepas setelahnya.
"Coklat panas kamu sudah hampir habis. Pesan lagi saja, ya? Saya yang traktir."
Aku menggeleng. "Saya bisa beli sendiri kok..."
"Jangan menolak. Anggap saja hadiah dari pemuda aneh bernama Nathan yang sok pintar ini."
Mau tak mau aku tertawa kecil. Dia lucu juga. Aku sebenarnya bisa saja menolaknya, tapi aku tau aku tidak bisa. Satu cangkir cokelat bisa memuat satu jam pembicaraan dengan seseorang. Dan entah mengapa, saat Nathan mengangkat tangannya dan memesan satu cokelat panas untukku dan untuknya, aku tersenyum diam-diam.
Sepertinya aku akan suka berbicara dengannya. Dan sepertinya, aku akan menikmati sisa liburan ini jika begini caranya.
Aku tau semua ini terdengar aneh. 
Tapi siapa peduli?

Jumat, 18 Oktober 2013

Summertime Of Our Lives

Hanya  potongan kecil dari sebuah cerita yang saya buat. 
Enjoy :)



****
          Stella berusaha untuk tidak gusar saat pria itu menarik tubuhnya mendekat, memeluknya dan menyelimuti tubuhnya dengan kehangatan yang membuatnya merasa nyaman.
            Stella sudah berada di bandara, bersama Justin, dan juga bersama Rosie. Pesawat mereka akan lepas landas sebentar lagi. Dan Stella tau saat itu juga ia harus berpisah dengan Justin.
            Tak ada yang bisa diingatnya mengenai apa yang terjadi semalam ketika ia menemukan tubuhnya yang terbalut baju sempurna di kamar hotelnya pagi ini. Ia tampak tidak berantakan. Tampak segar. Dan tak ada Justin di sampingnya saat ia terbangun. Yang ada di sebelahnya justru Rosie yang sedang mendengkur hebat. Entah apa yang sudah Justin katakan pada Rosie ketika Rosie berkata bahwa Justin menemukan Stella di depan pub, pingsan dan sama sekali tak bergerak. Justin membawa Stella ke kamar hotelnya, dengan selimut tebal saat ia terbangun.
            “Sampai bertemu di lain waktu, Stella,” kata Justin seusai mendekap tubuh Stella selama beberapa saat. Ia sudah sempat berpamitan pada Rosie lima menit yang lalu. Dan tadi ia sempat meminta Rosie untuk memberikan waktu khusus untuk mereka berdua.
            “Justin aku hanya ingin—“
            “Ssssssh,” Justin tiba-tiba saja menyentuh bibir Stella dengan telunjuknya, “Aku tau kau mungkin bingung. Namun percayalah bahwa semuanya akan baik-baik saja.”
            Stella mengigit bibir bawahnya. Ia mendengar panggilan itu lagi. Panggilan untuk para penumpang yang hendak lepas landas ke Amsterdam.
            “Jaga dirimu baik-baik.” Kata Justin lembut seraya meremas tangan Stella.
            “Justin—“
            “Terimakasih untuk satu hari yang menyenangkan. Terimakasih untuk musim panas yang luar biasa untukku."
            “Justin aku tau aku tidak—“
            “Dan berjanjilah padaku bahwa suatu saat nanti kita akan saling mencintai. Dengan cara yang lain, pada musim panas yang lain…”
            Stella tak berbicara lagi. Bibirnya seolah-olah terkatup rapat. Ia hanya terus menatap wajah Justin ketika pria itu melepaskan remasan tangannya dan memilih untuk mengusap kepala Stella beberapa kali.
            “Sekarang pergilah.”
            “Justin, bolehkah aku bertanya sesuatu padamu?”
            Justin mengangguk. “Anything.”
            “Apakah semua ini nyata? Maksudku—kau dan aku. Satu hari yang menyenangkan. Apakah itu semua benar-benar nyata?”
            Justin menatap Stella selama beberapa detik, menarik ulur napasnya yang tampak tenang, kemudian menjilat bibirnya dan tersenyum pada Stella sambil berkata, “Kau akan menemukan jawabannya suatu hari nanti. Semua ini begitu rumit. Tapi kau harus tau bahwa cepat atau lambat, kau akan mengetahui jawabannya.”
            Tak ada yang bisa Stella lakukan kecuali mendengus kecil dan tersenyum tipis padanya. Jawaban itu mungkin tidak cukup. Namun ada sesuatu yang mendorongnya untuk mempercayai Justin. Mempercayai ucapannya. Dan menganggap bahwa jawaban itu masih menggantung entah dimana.
“Kita akan bertemu di musim panas yang lain, kan?”
            Justin tersenyum, “Kita akan bertemu di musim panas yang lainnya.” Jawabnya.

            Stella mengangguk. Ia masih bingung akan semua yang sudah menimpanya selama satu hari terakhir. Semuanya berjalan begitu cepat dan kilat. Dan semuanya tampak begitu semu. Tampak begitu maya. Semuanya kelihatan tidak nyata….
            Namun Stella  memilih untuk berbalik dan pergi meninggalkan Justin. Ia tidak tau bagaimana caranya Justin bisa berada di Bandara ini pada hari ini, namun ia yakin keberadaannya disini karena ada suatu alasan.

            Dan alasan itu akan membawanya ke suatu dimensi yang lain. Ke sebuah pusaran yang lain. Ke sebuah dunia yang lain.
            Dan ke sebuah musim panas menyenangkan berikutnya yang akan ia jalani bersama Justin.

Jumat, 11 Oktober 2013

Somewhere Only We Know

So why dont we go?
Somewhere only we know?



Sepenggal lirik lagu dari grup band Keane yang berjudul Somewhere Only We Know mengalun lembut dari radio, membuatku menegakkan kepala dan otomatis menambah volume pada pengeras radio.
Aku tau lagu ini, atau lebih tepatnya mencintai lagu ini. Aku sama sekali tidak tau apa alasan dibalik mencintai lagu yang keluar hampir sepuluh tahun lalu, lagu yang keluar saat aku masih berusia tujuh tahun. Mungkin  karena liriknya yang romantis, atau mungkin karena genre campuran counrty-alternative yang cuma Keane punya. Tapi mungkin juga alasan dibalik semua itu adalah karena lagu ini selalu mengingatkanku pada seseorang. Seseorang yang entah masih mengingatku atau tidak. Seseorang yang sampai sekarang masih menghantui pikiran setiap kali aku melamun.

Sebut aku berlebihan karena selalu membesarkan pertemuan kita yang tergesa-gesa dan begitu singkat. Sebut aku norak karena menganggap kamu adalah orang yang selama ini aku tunggu, walaupun aku sama sekali tidak mengenalmu secara detail. Dan sebut aku bodoh karena mengira diriku sudah menyukaimu terlalu dalam, sampai tidak bisa mengeluarkan kamu dari isi otakku dan akhirnya memutuskan untuk menulisnya disini. Setiap hari pasti aku menerka-nerka; apakah kamu memikirkan aku sebesar aku memikirkan kamu?
Omong-omong soal pertemuan kita yang terlalu singkat, aku juga selalu menerka-nerka apa sebenarnya perasaan yang kusimpan padamu selama ini. 

Cinta?
Bukankah definisi itu terlalu tabu? Bukankah definisi itu terlalu cepat disimpulkan mengingat pertemuan kita yang terlalu singkat? Bukankah aku terlalu saru untuk mengucapkannya dan bukankah kata itu terlalu ambigu? 
Aku terus merenungkannya, mengingat kamu tidak pernah absen dalam daftar pikiran-pikiran melayang yang aku pikirkan setiap hari.
Semua orang pasti akan berkata bahwa aku terlalu bodoh karena sudah menyukai kamu. Mereka pasti akan berkata, bagaikan pungguk merindukan bulan. Tapi ingat ya, kamu bulannya, aku pungguknya. Rasanya terlalu sulit  bagiku untuk meraih kamu. Rasanya mustahil bagiku, dan bagi kamu juga pastinya, bukankah begitu?

Tapi aku tau pertemuan itu sudah mengubah semuanya. Aku dan kamu dipertemukan  bukan tanpa suatu alasan. Biar mereka berkata aku terlalu membesarkannya, tapi aku tau bahwa semua itu bukan kebetulan semata. Rasanya seperti magic, padahal aku hidup di kehidupan nyata, bukan di kehidupannya Alice yang tersesat di Wonderland. Tapi aku memang tau--aku selalu tau, bahwa aku dan kamu dipertemukan karena sebuah alasan. Sebuah alasan yang belum aku ketahui, sebuah alasan yang belum kutemukan karena aku masih berusaha mencarinya.
Dan saat kamu berkata, "kamu berbeda," aku baru menyadari bahwa kamu juga berbeda. Kamu yang seorang pendiam, yang jarang berbincang pada gadis, malam itu mencurahkan cerita-ceritamu padaku. 
Lalu aku bertanya mengapa kamu menceritakan cerita itu padaku, kamu hanya menjawabnya sambil tersenyum dan berkata, "karena aku mempercayaimu." Dan aku merasa bahwa aku adalah seseorang yang paling bahagia, karena berkesempatan dipercayai olehmu. Tapi haruskah aku bangga? Haruskah aku senang karena kamu mempercayai aku karena menceritakan cerita-ceritamu?
Dan saat kamu berkata padaku lagi untuk menjanjikan sesuatu padamu, aku memilih untuk menggeleng dan menolaknya.  Kamu justru memaksa dan berkata, "Berjanjilah saja." Saat itu, aku merasa luluh untuk yang kedua kalinya. Hingga akhirnya aku mengangguk sambil tersipu malu dan berkata dengan mantap, "Ya, aku berjanji."

Lupakan mereka yang menganggapku bermimpi karena sudah berbicara padamu dan berbagi semuanya padamu. Aku tidak peduli seberapa banyak orang yang menganggap aku gila karena mengaku-ngaku pernah dekat denganmu. Yang penting kamu tau yang sebenarnya.
Namun mngkin kamu sudah lupa denganku, tidak ingat siapa namaku, atau lupa tentang apa saja cerita yang sudah kita bagi berdua. Aku toh tidak menaruh banyak harapan. Aku hanya senang bisa berbincang denganmu, dan sialnya aku masih tidak bisa melepaskanmu dari otakku sampai sekarang.
Aku juga tidak tau perasaan apa yang saat ini menggelayuti hatiku buat kamu, dan aku mungkin tidak akan mencari tau. Biar waktu saja yang menjawab.

Dan, satu lagi.
Aku tidak sabar untuk bertemu denganmu lagi. Suatu saat nanti kita pasti akan bertemu lagi, kan?