Jumat, 18 Oktober 2013

Summertime Of Our Lives

Hanya  potongan kecil dari sebuah cerita yang saya buat. 
Enjoy :)



****
          Stella berusaha untuk tidak gusar saat pria itu menarik tubuhnya mendekat, memeluknya dan menyelimuti tubuhnya dengan kehangatan yang membuatnya merasa nyaman.
            Stella sudah berada di bandara, bersama Justin, dan juga bersama Rosie. Pesawat mereka akan lepas landas sebentar lagi. Dan Stella tau saat itu juga ia harus berpisah dengan Justin.
            Tak ada yang bisa diingatnya mengenai apa yang terjadi semalam ketika ia menemukan tubuhnya yang terbalut baju sempurna di kamar hotelnya pagi ini. Ia tampak tidak berantakan. Tampak segar. Dan tak ada Justin di sampingnya saat ia terbangun. Yang ada di sebelahnya justru Rosie yang sedang mendengkur hebat. Entah apa yang sudah Justin katakan pada Rosie ketika Rosie berkata bahwa Justin menemukan Stella di depan pub, pingsan dan sama sekali tak bergerak. Justin membawa Stella ke kamar hotelnya, dengan selimut tebal saat ia terbangun.
            “Sampai bertemu di lain waktu, Stella,” kata Justin seusai mendekap tubuh Stella selama beberapa saat. Ia sudah sempat berpamitan pada Rosie lima menit yang lalu. Dan tadi ia sempat meminta Rosie untuk memberikan waktu khusus untuk mereka berdua.
            “Justin aku hanya ingin—“
            “Ssssssh,” Justin tiba-tiba saja menyentuh bibir Stella dengan telunjuknya, “Aku tau kau mungkin bingung. Namun percayalah bahwa semuanya akan baik-baik saja.”
            Stella mengigit bibir bawahnya. Ia mendengar panggilan itu lagi. Panggilan untuk para penumpang yang hendak lepas landas ke Amsterdam.
            “Jaga dirimu baik-baik.” Kata Justin lembut seraya meremas tangan Stella.
            “Justin—“
            “Terimakasih untuk satu hari yang menyenangkan. Terimakasih untuk musim panas yang luar biasa untukku."
            “Justin aku tau aku tidak—“
            “Dan berjanjilah padaku bahwa suatu saat nanti kita akan saling mencintai. Dengan cara yang lain, pada musim panas yang lain…”
            Stella tak berbicara lagi. Bibirnya seolah-olah terkatup rapat. Ia hanya terus menatap wajah Justin ketika pria itu melepaskan remasan tangannya dan memilih untuk mengusap kepala Stella beberapa kali.
            “Sekarang pergilah.”
            “Justin, bolehkah aku bertanya sesuatu padamu?”
            Justin mengangguk. “Anything.”
            “Apakah semua ini nyata? Maksudku—kau dan aku. Satu hari yang menyenangkan. Apakah itu semua benar-benar nyata?”
            Justin menatap Stella selama beberapa detik, menarik ulur napasnya yang tampak tenang, kemudian menjilat bibirnya dan tersenyum pada Stella sambil berkata, “Kau akan menemukan jawabannya suatu hari nanti. Semua ini begitu rumit. Tapi kau harus tau bahwa cepat atau lambat, kau akan mengetahui jawabannya.”
            Tak ada yang bisa Stella lakukan kecuali mendengus kecil dan tersenyum tipis padanya. Jawaban itu mungkin tidak cukup. Namun ada sesuatu yang mendorongnya untuk mempercayai Justin. Mempercayai ucapannya. Dan menganggap bahwa jawaban itu masih menggantung entah dimana.
“Kita akan bertemu di musim panas yang lain, kan?”
            Justin tersenyum, “Kita akan bertemu di musim panas yang lainnya.” Jawabnya.

            Stella mengangguk. Ia masih bingung akan semua yang sudah menimpanya selama satu hari terakhir. Semuanya berjalan begitu cepat dan kilat. Dan semuanya tampak begitu semu. Tampak begitu maya. Semuanya kelihatan tidak nyata….
            Namun Stella  memilih untuk berbalik dan pergi meninggalkan Justin. Ia tidak tau bagaimana caranya Justin bisa berada di Bandara ini pada hari ini, namun ia yakin keberadaannya disini karena ada suatu alasan.

            Dan alasan itu akan membawanya ke suatu dimensi yang lain. Ke sebuah pusaran yang lain. Ke sebuah dunia yang lain.
            Dan ke sebuah musim panas menyenangkan berikutnya yang akan ia jalani bersama Justin.

Jumat, 11 Oktober 2013

Somewhere Only We Know

So why dont we go?
Somewhere only we know?



Sepenggal lirik lagu dari grup band Keane yang berjudul Somewhere Only We Know mengalun lembut dari radio, membuatku menegakkan kepala dan otomatis menambah volume pada pengeras radio.
Aku tau lagu ini, atau lebih tepatnya mencintai lagu ini. Aku sama sekali tidak tau apa alasan dibalik mencintai lagu yang keluar hampir sepuluh tahun lalu, lagu yang keluar saat aku masih berusia tujuh tahun. Mungkin  karena liriknya yang romantis, atau mungkin karena genre campuran counrty-alternative yang cuma Keane punya. Tapi mungkin juga alasan dibalik semua itu adalah karena lagu ini selalu mengingatkanku pada seseorang. Seseorang yang entah masih mengingatku atau tidak. Seseorang yang sampai sekarang masih menghantui pikiran setiap kali aku melamun.

Sebut aku berlebihan karena selalu membesarkan pertemuan kita yang tergesa-gesa dan begitu singkat. Sebut aku norak karena menganggap kamu adalah orang yang selama ini aku tunggu, walaupun aku sama sekali tidak mengenalmu secara detail. Dan sebut aku bodoh karena mengira diriku sudah menyukaimu terlalu dalam, sampai tidak bisa mengeluarkan kamu dari isi otakku dan akhirnya memutuskan untuk menulisnya disini. Setiap hari pasti aku menerka-nerka; apakah kamu memikirkan aku sebesar aku memikirkan kamu?
Omong-omong soal pertemuan kita yang terlalu singkat, aku juga selalu menerka-nerka apa sebenarnya perasaan yang kusimpan padamu selama ini. 

Cinta?
Bukankah definisi itu terlalu tabu? Bukankah definisi itu terlalu cepat disimpulkan mengingat pertemuan kita yang terlalu singkat? Bukankah aku terlalu saru untuk mengucapkannya dan bukankah kata itu terlalu ambigu? 
Aku terus merenungkannya, mengingat kamu tidak pernah absen dalam daftar pikiran-pikiran melayang yang aku pikirkan setiap hari.
Semua orang pasti akan berkata bahwa aku terlalu bodoh karena sudah menyukai kamu. Mereka pasti akan berkata, bagaikan pungguk merindukan bulan. Tapi ingat ya, kamu bulannya, aku pungguknya. Rasanya terlalu sulit  bagiku untuk meraih kamu. Rasanya mustahil bagiku, dan bagi kamu juga pastinya, bukankah begitu?

Tapi aku tau pertemuan itu sudah mengubah semuanya. Aku dan kamu dipertemukan  bukan tanpa suatu alasan. Biar mereka berkata aku terlalu membesarkannya, tapi aku tau bahwa semua itu bukan kebetulan semata. Rasanya seperti magic, padahal aku hidup di kehidupan nyata, bukan di kehidupannya Alice yang tersesat di Wonderland. Tapi aku memang tau--aku selalu tau, bahwa aku dan kamu dipertemukan karena sebuah alasan. Sebuah alasan yang belum aku ketahui, sebuah alasan yang belum kutemukan karena aku masih berusaha mencarinya.
Dan saat kamu berkata, "kamu berbeda," aku baru menyadari bahwa kamu juga berbeda. Kamu yang seorang pendiam, yang jarang berbincang pada gadis, malam itu mencurahkan cerita-ceritamu padaku. 
Lalu aku bertanya mengapa kamu menceritakan cerita itu padaku, kamu hanya menjawabnya sambil tersenyum dan berkata, "karena aku mempercayaimu." Dan aku merasa bahwa aku adalah seseorang yang paling bahagia, karena berkesempatan dipercayai olehmu. Tapi haruskah aku bangga? Haruskah aku senang karena kamu mempercayai aku karena menceritakan cerita-ceritamu?
Dan saat kamu berkata padaku lagi untuk menjanjikan sesuatu padamu, aku memilih untuk menggeleng dan menolaknya.  Kamu justru memaksa dan berkata, "Berjanjilah saja." Saat itu, aku merasa luluh untuk yang kedua kalinya. Hingga akhirnya aku mengangguk sambil tersipu malu dan berkata dengan mantap, "Ya, aku berjanji."

Lupakan mereka yang menganggapku bermimpi karena sudah berbicara padamu dan berbagi semuanya padamu. Aku tidak peduli seberapa banyak orang yang menganggap aku gila karena mengaku-ngaku pernah dekat denganmu. Yang penting kamu tau yang sebenarnya.
Namun mngkin kamu sudah lupa denganku, tidak ingat siapa namaku, atau lupa tentang apa saja cerita yang sudah kita bagi berdua. Aku toh tidak menaruh banyak harapan. Aku hanya senang bisa berbincang denganmu, dan sialnya aku masih tidak bisa melepaskanmu dari otakku sampai sekarang.
Aku juga tidak tau perasaan apa yang saat ini menggelayuti hatiku buat kamu, dan aku mungkin tidak akan mencari tau. Biar waktu saja yang menjawab.

Dan, satu lagi.
Aku tidak sabar untuk bertemu denganmu lagi. Suatu saat nanti kita pasti akan bertemu lagi, kan?