Jumat, 26 Juli 2013

You want it? Go for it!

You want it? Go for it.

Sepenggal kata-kata itu udah sering aku dengerin di acara seminar motivasi atau tape-tape dari motivator terkenal punya nyokap. Sempat terbersit beberapa hal yang mungkin terjadi dari semua yang sudah aku dengar mengenai apa yang seharusnya kita kejar untuk meraih mimpi, tapi entah mengapa sampai sekarang aku merasa bahwa semuanya memang benar. Semuanya benar-benar bisa jadi kenyataan.

You can say that everybody has a dream. But you have to admit that not everbody would give up on everything to reach that dreams.

I have a dream, a lot of dreams. Beribu-ribu mimpi itu terus menumpuk di otak dan siap meluncur kapanpun aku mau mewujudkannya. Namun yang ada saat ini hanyalah bahwa aku perlu berusaha keras sebelum mimpi itu bisa menjadi nyata.
Manusia nggak pernah puas, and so do I. Bukankah sikap itu terlalu defensif bila disandangkan dan dikatakan sebagai sesuatu yang ambigu? Aku tau aku tidak pernah puas dengan apa yang sudah kucapai selama ini. Aku masih suka sekali mengeluh dan ingin cepat-cepat mencapai mimpi itu, membuktikan pada mereka semua bahwa aku bisa. Bahwa aku memang bisa melakukannya. Aku bisa melakukan itu semua tanpa cemoohan dan ejekkan mereka yang selalu kuterima. Banyak yang meremehkan apa yang sekarang kupunya, namun aku tau itu semua hanya pacu reguler yang akan menerjangku kapanpun, untuk membuatku jatuh dan akhirnya tidak bisa untuk bangkit lagi.

Aku mau mimpi itu menjadi nyata, dan aku harus berusaha melakukan apapun untuk bisa mewujudkan itu di masa depan. Dan semuanya dimulai dari sekarang.

You want it? Go for it.
Those quote is usual, but it sounds unusual if you keep saying it everyday.  Its a magical when you found yourself wake up in the morning and then you believe that the whole day would be so perfect. Because everyday is the simple tiny step to reach that marvelous big dreams that you've always wanted for all your life :)


Love, Brigita Shela.

Kamis, 11 Juli 2013

THE WAY (Cerbung)

Hi guys! Kembali lagi sama aku. Hahaha. Kali ini bawa cerbung yang sebenarnya udah terbit di majalah sekolah aku. Jadi pemerannya bukan our prince aka Justin Beebur. hahaha. I know sebagian dari kalian pasti belum baca, jadi aku repost deh. Dan as always, copycats is unavailable!!! Think creative for those who want to steal this cerbung. Hahaha. Well--Happy reading ya. :) xx



***

Aku menenggelamkan pikiranku dan memandanginya dari jauh. Mengaguminya dari  jarak pandang yang tak bisa ia raih. Tanpa senyum. Tanpa sapa.”


-------------

                Pindah ke tempat yang jauh dari tempatku berasal bukanlah sesuatu yang menyenangkan.
Sekolah baru. Teman baru. Suasana baru. Kota baru. Semuanya serba baru dan aku sama sekali tak menyukainya. Kau bisa mengatakan bahwa aku bodoh karena menyesal sudah pindah ke kota kecil benama Springfield di Amerika. Karena aku sama sekali tidak menyukai Amerika dan lebih meyukai kampung halamanku di Prancis. Jauh berbeda dengan adikku—Rebecca—yang tampak senang atas kepindahan kami dan aku tak tau apa alasannya.
                Besok adalah hari yang menegangkan karena aku akan masuk ke SMA Saint Michael untuk yang pertama kalinya. Rasanya sulit menerima bahwa aku masuk di tengah semester, bukan di awal semester. Hal itu membuat perutku mendadak ngilu.
                Ya ampun. Bukankah hari pertama di sekolah selalu menyeramkan? Apalagi ini Amerika. Semuanya kelihatan jauh lebih mengerikan dari apapun. Aku lantas mengigit bagian dalam pipi kananku—salah satu kegiatan yang kulakukan jika aku sedang grogi.
                Well. Aku adalah seorang Regina Persie Woodley. Hal apa sih, yang tak bisa kulakukan? Masuk sekolah baru adalah sebuah hal yang gampang. Sebuah hal sepele yang bisa kulakukan.
                Aku lantas berdecak dalam hati. Ah. Aku pasti bisa melakukannya!


------------
                Dari caranya menatapku, aku tau aku tidak akan pernah menggunakan mobil butut warna merah atau mobil sedan hitam yang lumayan bagus untuk pergi ke sekolah. Ayah sudah pergi beberapa jam yang lalu, dan dia meninggalkan sebuah catatan kecil diatas meja yang berkata bahwa ada kejutan buatku di garasi depan. Pada saat aku dan Rebecca sudah siap untuk pergi ke sekolah, kami sempat menilik garasi depan. Kami seketika kaget saat melihat sebuah sepeda motor butut warna hitam yang nangkring disana. Aku ternganga beberapa kali saking kagetnya, apalagi saat kuncinya masih menggantung pada tempatnya.
                “Gina! Kita harus ke sekolah naik ini? Ya ampun, menggelikan.” kata Becca jijik, sama sekali tak mau melihat sepeda motor butut yang saat ini sedang kuraba.
                Aku merekahkan senyum. Sialan, motor butut ini jauh lebih bagus daripada mobil butut merah dan sedan itu.
                “Kau bercanda?! Ini keren!” kataku.
                “Apanya yang keren, sih? Bayangkan jika aku harus kembali mengikat rambut karena rambutku bisa jadi ijuk saat kena angin. Atau rambutku jadi kusut padahal aku sudah pakai kondisioner dobel tadi pagi agar rambutku bisa kelihatan jatuh sempurna saat diikat. Errrr, apa kau mau kulitmu jadi hitam kena sinar matahari langsung?”
                “Berisik!” aku mendengus saat Becca mengatakan perkataannya dengan sangat cepat, “Nikmati saja. Ini keren dan tidak ada salahnya naik motor. Kau belum pernah, kan?”
                Becca menaikkan satu alis sebelum akhirnya merutuk dan menghentakkan kakinya kesal.
                Aku pernah naik motor. Maksudku, Christian—sahabatku di Prancis—pernah mengajariku mengendarai motor sekali. Tapi motor Christian jauh lebih besar daripada motor ini. Motor Christian begitu besar dan tampak seperi harimau, sedangkan motor ini tampak seperti bebek yang hampir tak berbentuk. Aku lumayan bisa mengendarai motor gede Christian, dan aku yakin menaiki motor ini tak akan jauh lebih sulit.
“Naiklah,” kataku saat aku sudah memasang helm pada kepalaku dan memasangkan helm pada kepala Rebecca. Dia merutuk untuk beberapa kali karena takut kuciran ekor kudanya akan kabur. Setelah membujuknya dan sedikit mengancamnya, akhirnya ia berhasil naik walaupun takut-takut.
 Dan akhirnya, kami meluncur menuju sekolah.
                 
-----------------
                Kelas pertamaku adalah kelas Biologi. Aku sudah meminta jadwal pelajaranku ke guru BP untuk sembilan bulan kedepan. Guru BP itu lantas menunjukkan dimana kelas Biologi berada, dan aku berterimakasih karena kelas masih agak kosong dan sepi. Paling tidak, hanya ada sedikit orang yang menyadari bahwa aku adalah anak baru. Aku sedikit tersenyum ketika mereka menatapku dengan tatapan ragu. Aku tak banyak berpikir hingga akhirnya aku memutuskan untuk duduk di kursi paling belakang. Di pojok belakang sayap kanan. Disana hanya ada seseorang yang tampak asik dengan ponselnya.
                “Apakah tempat ini kosong?”
                Dia mendongak. Dia jelas seorang pria, dan matanya yang sayu tampak menatapku dengan tatapan siaga sebelum akhirnya ia berkata, “Ya.”
                Aku sedikit mengangkat senyum, lalu terduduk disana. Oh. Apa yang harus kulakukan? Membaca buku? Mengeluarkan ponselku? Atau tiduran saja dan menyelonjorkan kakiku ke meja?
                “Kau pasti anak baru itu.”
                Aku mendongak, itu suara cowok bermata kehijauan tadi. “Bagaimana kau bisa tau?”
                “Karena kau jadi gossip heboh di sekolah.”
                Aku mengernyit. “Apa?”
                Dia malah terkekeh, “Kau harus tau bahwa semua orang menggosipkan tentang anak baru dari Prancis sejak seminggu yang lalu.”
                “Oh—“ aku mendesah kikuk. Entah aku harus bersyukur karena aku digossipkan atau aku harus menelan pil pahit karena semua orang tau aku orang Prancis.
                “Siapa namamu, ya? Kalau tidak salah—“
                “Regina.” Kataku sebelum dia menyelesaikan perkataannya.
                “Oh—yeah, Regina. Aku Daniel, senang berkenalan denganmu.”
                Kami kemudian berjabat tangan, dan kami berdua sama-sama tersenyum. Diam-diam aku bersyukur dalam hati, karena paling tidak aku sudah menemukan satu teman yang lumayan baik walaupun tampak berantakan dan ngantuk berat.
                “Bagaimana kau menyadari bahwa aku adalah anak baru dari Prancis itu?” kataku ingin tahu, dan Daniel justru tertawa.
                “Aku tidak pernah melihatmu di kelas ini sebelumnya. Dan karena aksen Prancis-mu masih sangat kental.”
                Aku tersentak. “Benarkah?”
                “Ya,” katanya, “Aksenmu aneh, kau tau? Aksen Prancis yang menyatu dengan aksen Amerika. Unik. Dan jangan mengubah aksen itu karena itu baik untukmu.”
                Aku yakin wajahku memerah sekarang, “Thanks.” kataku singkat.
Aku dan Daniel lalu berbicara tentang obyek ringan, dan dia berjanji bahwa dia akan menemaniku pergi ke kantin pada jam makan siang nanti. Atau aku bisa bolos bersamanya pada jam sosiologi—kebetulan aku satu kelas dengannya. Namun dari semua itu, aku merasa bahwa semuanya akan baik-baik saja. 
                Ya. Semoga saja.


-------------------
                Daniel tidak mengingkari janjinya karena dia memang menemaniku ke kantin saat makan siang. Kami sudah mengambil jatah makan siang kami, dan kami terduduk di salah satu kursi tertutup di pojok kantin. Daniel tampaknya bukan anak populer, dan aku bersyukur karena aku tidak ingin bergaul dengan siswa populer.
                “Makan siang kali ini payah,” ujar Daniel, lalu menyedot jus jambu dari gelasnya.
                 “Tidak juga. Paling tidak saladnya enak.” Kami berdua lantas terkekeh hebat.
Aku mendesah, lalu memutuskan untuk menyelesaikan makanku. Aku tidak lapar, dan untuk itu aku melayangkan pandanganku kearah lain. Kearah segerombolan anak yang tampak berkumpul di meja tengah kantin sambil tertawa lepas. Ada beberapa perempuan dengan pakaian cheers, dan beberapa lelaki yang badannya sekekar pemain futbol.
Mereka pasti anak populer.
Sementara Daniel melanjutkan makan saladnya, aku duduk terpaku dan pandanganku melayang-layang di sekitar kantin yang cukup luas ini. Kantin ini bersih, dan makan siangnya lumayan enak walaupun keju kambing yang disiapkan agak sedikit lembek. Tapi untung saja salad wortelnya enak, dan jus jambu itu juga lumayan manis.
Dan ketika pandanganku tertuju pada salah satu meja kantin yang terletak di dekat pastry, aku hampir sesak nafas. Dia adalah cowok tampan yang kutemui di depan sekolah tadi pagi. Tapi sedihnya, dia tidak sendirian. Dia bersama dengan beberapa wanita dan beberapa pria yang juga sama-sama tertawa seperti anak populer tadi.
“Daniel, kalau mereka…maksudku yang itu. Mereka itu siapa?” aku menunjuk tempat duduk mereka dan Daniel langsung mendesah.
“Mereka golongan jenius.”
Aku sedikit tersentak. “Benarkah?”
“Ya. Mereka termasuk golongan populer sebenarnya. Namun mereka juga masuk golongan jenius karena kebanyakan dari mereka adalah anggota organisasi sekolah.”
Aku mengangguk, lalu meneguk ludahku sendiri. Aku akan menanyai Daniel tentang cowok itu. Aku bisa mati penasaran jika tidak tau siapa namanya.
“Kalau pria yang itu—“ aku menunjuknya dengan jari telunjukku, “Yang sedang tertawa itu. Itu siapa?”
“Oh—“ Daniel mengerutkan keningnya, “Yang rambut hitam itu? Dia Troy. Troy McCartney.”
Aku bersorak dalam hati. Namanya Troy. Troy! Nama itu cocok buatnya dengan segala ketampanan dan kemahaseksian bibirnya yang penuh dan yang tampak lembut itu.
“Oh, Troy..” aku berdesis, sukses membuat Daniel menyenggol lenganku dan mengerling jahil kearahku.
“Kau menyukainya, ya? Duh, Regina. Aku sarankan jangan. Kau bisa kalah telak. Troy adalah Ketua OSIS di sekolah ini.”
Aku terperangah seketika. “Ketua OSIS?”
“Ya, sejak dua tahun yang lalu. Dia itu kesayangan guru-guru, kau tau? Dan kabarnya, adiknya yang masih di kelas junior juga dicalonkan jadi Ketua OSIS selepas Troy lulus nanti.”
Aku meneguk ludahku yang terasa pahit dan terasa janggal saat mencapai kerongkongan. Sialan. Ketua OSIS?! Oh. yang benar saja.
Aku memutuskan untuk mengangguk dan tidak menanyai Daniel lagi, takut kalau Daniel akan menginterogasiku dan berprasangka bahwa aku menyukai Troy. Daniel mengambil jatah keju kambingku, dan dia melahapnya dalam balutan roti kering yang dia bawa dari rumah. Aku masih memandangi Troy diam-diam. Dan untungnya dia tidak menyadari bahwa sedari tadi ada seseorang yang sedang memperhatikannya.
Dia tampak manis saat menyuapkan sesendok salad ke mulutnya. Dan ia tampak seksi saat bibirnya mengerucut untuk menyedot sedotan. Dia juga tampak bahagia dengan kehadiran cewek-cewek cantik walaupun kutau mereka bukan anak-anak cheers seperti anak-anak populer.
Aku mengerjap, lalu menyedot jus jambuku dan menatapnya lagi sambil diam-diam tersipu malu. Aku melakukannya beberapa kali, selalu begitu dan seterusnya. Aku menenggelamkan pikiranku dan memandanginya dari jauh. Mengaguminya dari  jarak pandang yang tak bisa ia raih. Tanpa senyum. Tanpa sapa.
Dan kurasa, hanya boleh aku saja yang mengetahuinya.


----------------
Saat alarmku meraung pada pukul enam, aku tergoda untuk melemparkannya ke dinding. Aku kena pusing akut kalau dilihat dari otot-otot tubuhku yang mulai melemah dan juga kepalaku yang pening berat. Sepertinya otakku beku, rasanya seperti ditusuki oleh peniti. Sambil melirik kearah alarm sialan itu, aku menarik selimut putih sampai keatas kepalaku, berusaha meredam suara alarm yang memekakan telinga.
Otakku sudah terjaga. Kalau sudah bangun, aku susah untuk tidur lagi. Untuk itu, aku punya dua pilihan saat ini.
Yang pertama, aku bisa mematikan alarm itu dan kembali meringkuk di balik selimut, berusaha untuk tidur lagi walaupun aku tau itu sulit.
Yang kedua, aku bisa saja mematikan alarm itu dan merangkak keluar dari selimut selembut beludru ini, lalu keluar untuk menghirup udara segar. 
Aku mengigit bagian dalam bibir bawahku, kemudian mematikan alarm sialan itu dengan tangan mengepal. Aku memilih pilihan yang kedua. Untuk itu, aku merangkak keluar dari selimut dan segera membasuh wajahku dengan air keran yang terasa dingin saat menyentuh pergelangan tanganku.
Aku kemudian menyambar celana training dan kaus warna oranye dari lemari, kemudian mengenakannya secepat kilat. Tak lupa sepatu kets yang tampak kotor untuk melengkapi acara jalan-jalan pagiku hari ini. Setelah semuanya siap, aku langsung keluar tanpa mempedulikan Becca dan Ayah yang mungkin masih meringkuk di balik selimut saat ini.

Saat sampai di luar, udara benar-benar terasa menusuk. Masih ada kabut. Masih ada embun yang tersisa di dedaunan atau ilalang di pekarangan rumahku. Aku tidak bisa berdiam diri terus dan berjalan-jalan biasa di udara sedingin ini. Aku bisa mati kedinginan.
Aku berusaha untuk lari. Dan aku melakukannya. Aku berlari pelan-pelan di awal, dan makin mempercepat langkah kakiku saat aku merasakan bahwa tubuhku terasa hangat. Aku berlari makin kencang lagi. Lagi, lagi dan lagi. Aku tau aku bukan atlet lari lintas alam. Tapi melakukan hal seperti ini di tengah kabut yang dinginnya setengah mati bisa membuat adrenalinku naik.

Sampai akhirnya aku berhenti ketika aku merasakan sekujur tubuhku benar-benar lengket oleh keringat. Ditambah lagi dengan nafas memburu dan jantung yang berdetak tidak karuan. Aku lantas menengok kesamping kanan dan kiri. Kabut sudah tidak ada lagi, entah sudah berapa lama aku berlari. Setengah jam kah?
Saat menengok ke samping kanan dan kiri, aku baru sadar bahwa aku sama sekali tidak mengenali daerah ini. Oh sial.
Aku lupa bahwa aku baru ada di Springfield selama satu minggu—satu minggu yang sudah kulewati bersama sekolah dan kawan-kawan baru. Bagaimana aku bisa tau daerah-daerahnya?
Ya ampun. Aku tersesat.

Seperti kehilangan arah, aku mendengar suara derap langkah kaki di belakangku, membuatku seketika menoleh ke belakang dan menemukan seorang cowok yang tengah berlari kearahku. Demi Neptunus. Aku bisa bertanya pada lelaki itu tentang arah jalan pulang ke rumah.
“Hai.” Katanya, suaranya cukup rendah dan lembut untuk membuat tulangku bergetar.
“Hai.” Balasku. Dan saat itu pula lah aku bisa melihatnya lebih dekat.
Ya ampun. Apakah aku sedang berhalusinasi? Apakah aku sedang ada dalam dunia fantasi? Kalau iya, tolong jangan bangunkan aku dari dunia itu! Holly cowl! Pria yang ada dihadapanku kali ini adalah Troy. Ya. Troy McCartney! Ketua OSIS ganteng yang kutaksir sejak hari pertama masuk sekolah. Sungguh, aku tak pernah membayangkan jika aku akan bertemu dengannya pagi ini.
Geez. Aku menahan nafasku saat ia memiringkan senyumnya. Tidak biasanya aku seperti ini.
“Kau darimana?” katanya.
“Aku tidak tau—“ aku mengigit bibir bawahku, “—Ah, rumah Mr. Woodley!”
“Kau kenal dengan Mr. Woodley?”
Ya ampun. Ternyata dia kenal Ayah.
“Aku anaknya.”
Dia manggut-manggut, sukses membuatnya tampak menggemaskan karena setitik keringat jatuh di pelipisnya. Dia seksi dengan rambut hitamnya, harus kuakui itu.
“Kau berlari?”
Aku menahan nafasku sekali lagi karena dia tersenyum lagi padaku. “Ya. Tapi aku tidak tau jalan pulang.”
Setelah itu dia tertawa. Ya ampun. Dia saja terlihat begitu keren saat tertawa. Jenis tertawa yang membuatmu juga ingin tertawa tanpa ada suatu alasan yang jelas.
“Maafkan aku karena aku tertawa.” Katanya, “Tapi aku bisa menunjukkan jalan pulang buatmu.”
Aku bersorak dalam hati. Cowok tampan ini akan mengantarku pulang? Geez. Rasanya aku ingin berteriak!
                “Mari kuantar.” Katanya, dan aku langsung berjalan di sebelahnya tanpa aba-aba lagi. Aroma tubuhnya yang beraroma gummy secara otomatis membuat hidungku terangsang. Dan hal itu makin terasa maskulin saat bercampur dengan aroma keringatnya yang entah kenapa terasa nyaman. Oh, aku sudah gila.
                “Jadi, kau anak Mr. Woodley?” aku bersyukur karena dia yang memulai percakapan.
                “Ya,” kataku, “Kau mengenalnya?”
                “Tentu saja aku kenal. Kau tak mengenaliku? Aku adalah tetangga sebelah rumahmu.”
                Aku terlonjak seketika. Apa katanya tadi? Tetangga?! Seorang Troy McCartney adalah tetangga sebelah rumahku dan aku tak mengetahuinya?!
                “Oh—well…” aku berkata canggung, “Aku jarang keluar. Dan aku sama sekali tidak tau bahwa kau adalah tetanggaku.”
                “Hahahaha. Tidak apa-apa. Lagipula aku sudah sempat melihatmu di hari pertamamu sekolah. Dan kita bertemu di kelas Fisika dan Ekonomi beberapa kali.”
                Aku yakin wajahku sudah semerah tomat sekarang. Gila. Troy menyadari keberadaanku saat masuk sekolah seminggu yang lalu. Oh, ya Tuhan.
                “Ya, dan kau adalah ketua OSIS itu.”
                “Bagaimana kau bisa mengetahuinya?”
                “Aku tau dari seseorang,” kataku sok misterius, “Lagipula siapa sih, yang tidak tau seorag Troy McCartney?”
                Aku yakin aku sudah membuatnya geli karena akhirnya dia terkekeh, “Kau pasti tau dari Daniel. Ah, sudahlah. Jangan bahas tentang jabatanku itu.”
                Aku mengedikkan bahu dan terus berjalan sementara Troy berada di sebelahku. Jujur saja, aku tidak pandai memilih topik pembicaraan hingga akhirnya aku terdiam, menunggunya untuk angkat bicara lagi.
                “Ah, aku sangat tidak sopan. Kita belum berkenalan secara resmi,” katanya, lalu berhenti dan berbalik untuk menatapku, “Aku Troy Nicolas McCartney. Siapa namamu?”
                Entah kenapa aku ingin tertawa saat dia menyodorkan tangannya yang kekar padaku. Aku balas menjabat tangannya yang terasa basah oleh keringat sebelum akhirnya berkata, “Regina Persie Woodley. Senang berkenalan denganmu, Troy.”
                Dia mengangguk dan tersenyum, lalu jabatan tangan kami lepas. Kami melanjutkan perjalanan hingga akhirnya Troy kembali membuka pembicaraan.
                “Omong-omong, aku suka aksen Prancismu.”
                Aku yakin wajahku sudah merah padam saat ini, “Terimakasih.”
                “Jadi kau benar-benar dari Prancis? Maksudku, kau memang asli sana?”
                Aku menggeleng, “Ayah masih punya darah Amerika sedangkan Ibu orang Prancis.”
                “Ah, itu masuk akal,” katanya, “Tapi kau benar-benar berbicara seperti orang Prancis.”
                “Karena aku sudah menghabiskan separuh hidupku disana. Tapi aku terpaksa pergi setelah Ayah dan Ibuku bercerai, dan harus pindah ke Amerika karena hak asuh ku jatuh ke tangan Ayah.”
                Troy menatapku iba, “Oh, maafkan aku.”
                “Tidak apa-apa,” kataku.
                Dan setelah itu keadaan berubah hening. Sampai pada akhirnya Troy menjulurkan tangannya dan menyerahkan sebotol minuman mineral padaku. Aku menerima botol yang isinya hanya tinggal setengah itu dan menegaknya hingga hampir tandas.
                “Habiskan saja jika kau haus,” katanya, sontak membuatku malu setengah mati.
                “Ah, maafkan aku.”
                Dia terkekeh lagi dan dia tiba-tiba mendekat kearahku, sehingga kulit kami bersentuhan. Oh, ya Tuhan. Tolong hentikan ini semua. Entah sudah berapa lama kejadian itu berlangsung hingga akhirnya dia menjauh, dan akhirnya dia berkata, “Kita sudah sampai.”
                Aku terhenyak, lalu menengok ke samping kanan. Benar saja. Ini rumahku. Ah. Kenapa perjalanan kami terasa begitu cepat?
                “Terimakasih sudah mengantarku,”
                Troy mengedipkan satu matanya, cukup untuk membuat lutuku lemas, “Anytime, Regina.
                Aku tersenyum mendengarnya, “Well, I’ll see you soon then?”
                “Yea,” dia mengangguk, “I’ll see you soon then.”
                Aku langsung berbalik dan berusaha menyembunyikan wajah merahku ketika dia berkata seperti itu. Aku baru saja melangkah ke dalam rumah ketika akhirnya Troy memekikan namaku, membuatku berbalik dan menatapnya dengan seribu tanda tanya yang menggantung di atas kepalaku.
                “Regina!”
                “Ya?”
                “Erm—,” katanya sambil mendesis, “Besok Senin, maukah kau berangkat sekolah bersamaku?”
                Holly cowl. Seorang Troy McCartney mengajakku pergi ke sekolah bersama? Apakah ini mimpi? Apa aku baru saja terlelap dan masuk dalam dunia mimpi?
                “Well, itu ide yang bagus. Sepertinya akan menyenangkan,” perkataan itu keluar dari bibirku tanpa kendali. Perkataan itu keluar darisana tanpa bisa kucegah.
                “Baiklah. Aku siap kapanpun kau siap.” Katanya, dan ia tersenyum manis ke arahku.
                “Cool,” kataku, “Sampai jumpa besok pagi.”
                “Sampai jumpa besok pagi.”
                Dan kemudian aku berbalik dan berjalan masuk ke dalam rumah. Dia tidak memanggilku lagi hingga akhirnya aku berhasil masuk ke dalam rumah. Apa yang baru saja terjadi? Aku berjalan bersama Troy McCartney dan dia mengjakku berangkat sekolah bersama? Ya ampun, aku tak bisa menahan senyumku yang tiba-tiba saja tersemat dan merekah di bibirku.
                Pertemuan pertama itu telah menyeretku untuk masuk ke dalam sebuah pusaran yang tak bisa kukendalikan…



To be continued….
Love, BS! :) xx

YOU (ONESHOOT)

Hi guys!  This oneshoot was made for like a year ago and now I was just gonna repost it. I hope you like it even it kinda mature. This oneshoot is belong to me. And yes--do not copast any scene without a permission. 
And well, happy jolly reading! xx



---------
Temaram sinar bulan yang begitu menentramkan hati seakan memancarkan sinarnya dengan sempurna saat ini. Bintang yang bertaburan tampak berkilau dan berkedap-kedip dengan anggunnya, seolah-olah mengajakku bermain dan selalu bersamanya hingga pagi menjelang. Malam ini mungkin begitu gelap bagi sebagian orang, namun bagiku, malam ini adalah malam terindah dan terdramatis yang pernah kurasakan seumur hidupku.

 Pria yang sedang duduk disebelahku sedang memandangiku dengan tatapan yang tidak bisa dengan jelas kuartikan. Dengan pakaian formalnya, ia melipat kedua kakinya dan duduk persis di sebelahku. Dasinya yang berwarna merah marron tampak dilonggarkan. Kemeja birunya yang begitu maskulin tampak sedikit tertekuk sehingga menimbulkan efek kusut akibat perkerjaan yang menumpuk di perusahaan periklanannya. Tapi justru inilah yang kusukai dari pria ini. Pria ini dilahirkan apa adanya. Ia tidak menjaga imej didepan siapapun. Ia bisa dengan santainya tertawa lepas dihadapan semua orang tanpa memperdulikan bagaimana raut wajahnya saat ia tertawa. Ia bisa dengan eloknya bercerita tentang pekerjaannya dan perusahaannya yang begitu sukses pada klien-nya tanpa mempedulikan puluhan pasang mata yang menatap sirik kearahnya. 

 Pria ini adalah pria yang kucintai seumur hidupku. Sampai aku mati pun, aku akan tetap mencintai pria ini. Dia adalah pria yang sudah menemani hari-hariku selama 4 tahun terakhir. Dia yang selalu aku repotkan jika pekerjaanku menumpuk dan aku harus lembur hingga dinihari. Dia yang selalu meminjamkan bahunya jika aku menangis dan sedang sedih tak menentu. Dia yang mendekapku saat aku benar-benar jatuh di dasar lubang gelap yang paling dalam. Dia yang menopangku disaat aku benar-benar terpukul. Dia yang selalu ada disampingku jika aku sedang menjalani ujian mata kuliah pascasarjana ku. Dia yang selalu mendukungku dan selalu berada di sisiku jika aku berada dalam pilihan yang sulit. Dan dia... dia adalah segalanya bagiku. Dia adalah hidupku. Aku tidak bisa membayangkan jika hidupku berjalan tanpa kehadirannya.

“Aku mencintaimu, Clara.” Desah suaranya yang begitu lembut langsung menerpa tengkukku dengan gemulainya. Sontak seluruh bulu kudukku berdiri dan aku langsung merasakan sebuah sensasi yang tidak bisa kujelaskan dengan kata-kata saat ini. Rasanya.. benar-benar indah.

 Aku menggeliat geli, kemudian menengok kearahnya dan menatap mata coklatnya dalam-dalam, sedalam yang bisa kuraih.

“Aku lebih mencintaimu, Justin.” balasku lembut sambil berbisik di pipinya. Dan dengan gerakan kilat, aku mengecup pipi tirusnya dan tersipu malu dihadapannya. Sudah empat tahun aku berpacaran dengannya, namun aku tetap saja tersipu jika ia melontarkan kata cinta yang membuatku melayang dan enggan turun lagi.

 “Kau cantik sekali hari ini.” Ucapnya lagi sambil mendekatkan wajahnya ke wajahku. Ia tersenyum, kemudian mengecup ujung hidungku dengan lembut. 


Aku perlahan-lahan menutup kedua bola mataku, lalu mulai menikmati setiap detik yang kulewati bersamanya. Dahi kami bertemu, hidung kami bersentuhan, dan nafas kami saling bersinggungan. Bisa kurasakan dengan jelas bau nafasnya yang selalu kusukai. Bisa kurasakan harum gel rambutnya yang selalu kubelikan padanya tiap bulan di minimarket dekat apartmenku. Bisa kurasakan bau cologne nya yang tetap saja harum dan eksis dari pagi hingga malam hari. Bisa kurasakan dengan sangat jelas suara desahan nafasnya yang berat dan begitu menentramkan hatiku. Nafasnya yang hangat dengan anggunnya menerpa kulitku sehingga aku bisa merasakan keindahan luar biasa yang kurasakan malam hari ini.


 Aku jadi ingat kejadian beberapa jam lalu yang membuatku merasa menjadi wanita paling bahagia di dunia. 2 jam lalu, Justin membawaku pergi ke sebuah danau yang begitu sepi. Kami makan malam bersama pada sebuah kapal kecil yang Justin dayung sendiri dari tepi. Tapi aku sontak kaget, ketika ia mengeluarkan gitar klasiknya, dan menyanyikan sebuah lagu cinta untukku. Suaranya begitu merdu layaknya alunan suara malaikat yang menyejukkan hati. Suara baritone-nya dan desahan nafasnya yang begitu kusukai juga menghiasi lagu nya saat itu. Dia memang penyanyi sekaligus pebisnis yang hebat.

 Saat Justin menyelesaikan lagunya, aku langsung bertepuk tangan dan menatapnya dengan tatapan kagum yang jarang kuperlihatkan pada orang lain. Justin juga tersenyum, kemudian mendekatkan letak duduknya kearahku.
 “Kau mau tau alasan ku membawamu ke tempat ini, Clara?” tanyanya dengan manis dua jam yang lalu.
 Aku tersenyum kecil, kemudian mengedikkan bahuku kearahnya. “Memangnya kenapa?” aku malah balik bertanya.

 Justin tidak menjawab, ia hanya tersenyum kecil dan mengeluarkan sesuatu dari kantong jas hitam necis-nya. Dan jantungku langsung berdebar-debar, saat sebuah kotak berwarna ungu keluar dari kantong jasnya.

 Justin menatapku dengan tatapan mautnya yang selalu saja membuatku tak berkutik dan membeku di tempat. Dan dengan perlahan-lahan, Justin mulai membuka kotak itu dihadapanku. Jantungku berdebar lebih kencang dan lebih kencang lagi. Tapi, aku merasa jantungku berhenti berdetak, saat sebuah cincin bermahkotakan berlian warna biru yang begitu anggun terlihat di hadapanku.

“Will you marry me, Clara Anderson?” tanya Justin sambil menyodorkan kotak cincinnya di hadapanku. Ia bersimpuh layaknya seorang pangeran yang menunggu jawaban dari sang puteri. Dan ia juga menunduk kebawah, seolah-olah takut untuk menatapku, atau lebih tepatnya takut dengan jawaban yang akan aku berikan padanya.

 “Justin..” ucapku lirih sambil mengatupkan bibirku rapat-rapat. Dan entah mengapa, tiba-tiba tangisku pecah dan aku menutup mulutku dengan kedua tanganku. Aku benar-benar tidak bisa mendekripsikan perasaanku saat itu. Hatiku seakan ingin meledak saking senangnya. Hatiku seolah-olah diguyur oleh ratusan bunga yang begitu indah. Rasanya.. seperti melayang keatas dan diayunkan oleh dayungan cinta. Ah, rasanya begitu bahagia!

 “Will you marry me, Clara Anderson?” tanya Justin lagi saat itu, tapi kali ini ia menatap kedua bola mataku dalam-dalam. Aku tau, ia ingin pertanyaannya segera terjawabkan. Aku tau, ia begitu mencintaiku dan berharap aku akan menikah dengannya suatu hari nanti.

 Dan aku sendiri… aku juga benar-benar mencintainya. Aku mencintainya dengan segenap hatiku, segenap ragaku dan segenap batinku. Aku benar-benar mencintainya sampai-sampai potongan kata tidak akan pernah bisa mendeskripsikannya.


“Yes Justin. Yes. Aku mau menikah denganmu.” Jawabku mantap sambil kembali menitikkan sebulir cairan hangat yang membasahi pipiku.


Bisa dengan jelas kulihat raut muka Justin yang nerveous mendadak girang bukan main saat mendengar jawabanku. Aku tau ia senang sekali sekarang.
 Justin dengan tangan gemetar langsung memasangkan cincin berlian itu di jemari manisku. Sungguh, aku terharu sekali saat momen itu berlangsung. Aku tidak henti-hentinya menitikkan air mata bahagia. Ini adalah malam terspesial yang pernah kurasakan seumur hidupku. Ini adalah malam terindah, terdramatis, terromantis dan terhebat dalam hidupku. Sungguh, aku bahagia! Aku bahagia!



Dan sekarang, aku dan Justin sedang berada di padang rumput di pinggiran kota yang memang menjadi tempat favoritku bersama Justin. Kami berdua biasa berlama-lama disini. Malah pernah, aku dan Justin hanya berdua di padang rumput ini sampai pagi hari. Dan dari malam sampai pagi hari kami tidak henti-hentinya bercerita tentang banyak hal. Dan biasanya kami akan berpelukan dari malam hingga pagi menjelang. 


“Clara..” sapa Justin lembut sambil meraih tanganku dan meremasnya dengan lembut.
 Aku menoleh, lalu tersenyum kearahnya. “Ya, Justin?” balasku.
 Justin tampak mendesah sebentar, lalu mulai memeluk pinggangku dan mengecup puncak kepalaku.
 “Kau tau mengapa aku melamarmu malam ini?” 


Aku menggeleng pelan, lalu membenamkan wajahku di dadanya yang bidang.
“Karena kau mencintaiku. Benar, bukan?” godaku manja.
 Justin terkekeh beberapa saat, lalu ia mempererat pelukannya. “Aku memang mencintaimu. Bahkan sangat sangat mencintaimu. Tapi aku juga punya alasan khusus untuk melamarmu malam ini.” ucap Justin lembut yang langsung menuai banyak pertanyaan di benakku.
 Aku mendongak, lalu menatap lurus-lurus kearahnya. “Alasan apa?” 

 Justin balas memandangku sambil tersenyum manis. Ia lalu mulai memilah-milah dan membelai rambut brunette ku dengan lembut.
“Aku takut.. aku takut jika aku tidak bisa melamarmu selain hari ini. Aku takut jika aku tidak bisa mengutarakan apa yang ingin kukatakan sejak dulu di lain hari selain hari ini. Dan aku takut.. aku takut jika aku tidak bisa melamarmu sama sekali..” ucap Justin lirih, bahkan hampir tidak terdengar. Ia lalu melayangkan pandangannya keatas, seolah menerawang jauh ke awang-awang sampai menembus ke angkasa. 


“Kenapa kau berkata seperti itu, Just? Ini memang hari yang tepat. Dan aku yakin, ini adalah saat yang benar-benar cocok bagimu untuk melamarku.” Ucapku lemah sambil membelai pipinya. Jujur, aku agak ngeri dengan apa yang Justin baru saja katakan. Justin tidak pernah berkata seperti ini sebelumnya. Dan kali ini, aku bisa dengan jelas melihat kepiluan yang mendalam di raut wajah Justin. Aku tidak pernah melihat wajah Justin yang seperti ini. Dan sebagai seorang pendamping dan kekasihnya selama 4 tahun ini, aku tau persis Justin tidak pernah bersedih sebelumnya. Ia selalu ceria dan bersemangat dalam menjalani semuanya. Bahkan dialah pemberi semangatku saat aku benar-benar berada di titik paling bawah.


“Justin.. jangan berkata seperti itu lagi ya..” ujarku lemah, sambil menahan buliran air mata yang siap lepas landas dari mata coklatku saat ini. Entah mengapa, aku rasanya ingin menangis saat melihat ekspresi muka Justin dan nada bicara Justin yang sangat memilukan saat ini. Rasanya seperti aku juga mengalami kepedihan yang Justin alami. Walaupun aku tidak tau apa sebenarnya kepedihan yang Justin alami saat ini.

 Justin dengan manis membelai pipiku dengan lembut. Dan saat air mata benar-benar meluncur di pipiku, Justin dengan sigap menghapusnya dari pipiku. Ia lalu tersenyum manis kearahku. Entah ini perasaanku atau tidak, tapi senyumannnya kali ini adalah senyum termanis yang pernah Justin berikan padaku.


“Jangan pernah menangisiku, Clara. Jangan pernah menangisiku..” ucap Justin lembut sambil menghujani kecupan di sekitar pelipisku dan pipiku.

 Tapi bukannya berhenti menangis, aku malah tidak henti-hentinya meneteskan air mata dan menangis lagi. Aku terus saja menangis, sampai aku merasakan sesak luar biasa yang berada di dasar hatiku saat ini. 
 “Berjanjilah kau akan baik-baik saja, Justin..” Ujarku lemah dan sedikit tersendat-sendat.


Justin menatapku lagi dan menerawang mataku dalam-dalam, seakan-akan ia tidak akan pernah melihatnya lagi. Dan dengan perlahan-lahan, Justin mendekatkan wajahnya ke wajahku dan mulai menyelipkan bibirnya di bibirku. Ia lalu melumat bibirku dengan lembut dan dengan sangat hati-hati. Ia menelaah setiap inci dari bibirku dengan sangat perlahan-lahan, seolah-olah ia begitu menikmati ciuman kami. Dan selang beberapa saat, ia melepaskan ciuman kami dan membawaku kedalam dekapannya. Ia mendekapku erat, bahkan sangat erat. Ia lalu mencium rambutku dan menghirup aroma tubuhku. Aku hanya diam tak berkutik. Aku hanya terbenam dalam dekapannya dan merasakan detak-detak jantung Justin yang berdetak begitu stabil.


“Kita pulang, ya.” Kata Justin sambil tersenyum simpul kepadaku.
 Aku menatapnya lamat-lamat dan mulai mengerutkan keningku. Dia belum menjawab pertanyaanku..
 “Kita pulang, ya.” Kata Justin lagi, seolah-olah mengetahui apa yang ada di pikiranku saat ini. Ada apa dengan Justin? Mengapa ia begitu berbeda hari ini?

 Akan tetapi ku tidak kuasa menolaknya. Aku hanya mengangguk dan mulai berdiri. Tapi ada satu pertanyaan dariku untuk Justin yang masih menyita perhatianku saat ini. Dan pertanyaan itu belum terjawab sama sekali..

 Semoga saja tidak akan ada hal buruk yang akan menimpaku. Semoga Justin akan baik-baik saja…







----
Author’s View.


Clara duduk di meja kantornya, lalu ia mulai membuka-buka dokumen keuangan yang masih setia bertengger di hadapannya sekarang. Clara sesekali mendesah sambil berdecak kesal begitu melihat dokumen supertebal yang belum direvisi ini. Ia memang bekerja sebagai administrator di salah satu perusahaan ternama di kota Dallas. Ia sudah bekerja lebih dari 3 tahun di perusahaan ini. Dan sebetulnya, Justin lah yang membuat Clara bisa bekerja di perusahaan papan atas ini. Justin lah yang membuat Clara bisa diterima disini. Relasi Justin memang banyak, mengingat ia adalah pemilik sekaligus direktur utama di sebuah perusahaan periklanan paling besar di Amerika Serikat. Justin sebenarnya juga berprofesi sebagai seorang penyanyi internasional, tapi itu dulu. Dan sekarang ia sudah benar-benar fokus akan karier bisinisnya. 


Usia Justin 27 tahun, sementara Clara masih 25 tahun. Mereka pertama kali bertemu 5 tahun lalu, saat acara pernikahan teman Clara yang bernama Tiffani. Saat itu, Justin menjadi salah satu bintang tamu di pernikahan Tiffani. Karena saat itu, Justin memang seorang penyanyi internasional yang naik daun. Kalau bisa diibaratkan, mungkin semua orang akan tau persis siapa Justin Bieber sebenarnya. Mereka bertemu di dekat panggung saat itu. Dan mereka jatuh cinta pada pandangan pertama.


 Tiba-tiba saja terdengar suara ringtone dari ponsel milik Clara saat Clara tengah menandatangani salah satu dokumen yang menumpuk di hadapannya. Clara mendesah sebentar, lalu ia mengambil ponselnya yang tidak jauh dari jangkauannya saat ini. Dan saat ia melihat layar ponselnya, rasa kesal dan capeknya seakan-akan hilang begitu saja. Rasa emosinya seakan sirna. Karena yang meneleponnya kali ini adalah calon mertuanya. Ibu Justin, namanya Patricia Mallette.

 “Hallo mom?” sapa Clara girang. Ia sudah terbiasa memanggil ibu Justin dengan sebutan mom. Karena Pattie sendiri yang memintanya.

 “Clara..” jawab Pattie lemah, seakan-akan tidak memiliki gairah hidup lagi.

Clara langsung menajamkan indera pendengarannya. Ia menegakkan punggungnya dan mendekatkan ponselnya pada telinganya lebih dekat lagi.

“Mom kenapa?” tanya Clara cemas. Clara cemas, karena biasanya jika Pattie meneleponnya ia tidak pernah sedih. Pattie selalu ceria, sama persis dengan Justin.

 Dan tak selang beberapa lama, terdengar suara isakan tangis dari telepon diseberang sana. Clara makin gusar. Ia bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi. Mengapa Mom menangis? Mengapa mom terlihat sedih? Pertanyaan-pertanyaan macam ini langsung menghujani benak Clara layaknya hujan deras yang tak kunjung berhenti.

 “Justin…” ucap Pattie sambil tercekat. Dan itu langsung membuat seluruh bulu kuduk Clara berdiri.

 Clara menaikkan kedua alisnya. Ia lalu mengerutkan keningnya, dan tiba-tiba saja dadanya bergetar dan jantungnya berdetak dua kali lebih kencang. Firasat Clara mendadak menjadi tidak enak. Bulu kuduknya berdiri, dan rasa-rasanya kepalanya sungguh pening saat ini. Clara membatin, pasti ada sesuatu yang tidak beres sedang terjadi saat ini.

“Justin kenapa, Mom?!” tanya Clara setengah berteriak. Nadanya benar-benar menggambarkan nada khawatir. Karena ia memang benar-benar khawatir akan Justin saat ini. Perasaannya berkecamuk. Ia benar-benar berdebar dengan apa yang akan Pattie jawab sekarang.

 “Justin… Justin, Clara.. Justin..” isak tangis Pattie makin menjadi-menjadi. Clara makin panic dibuatnya. Ia benar-benar bingung sekaligus takut tentang kabar apa yang akan diterimanya sekarang ini.
 “Iya, Mom. Justin kenapa?! Dia baik-baik saja, kan Mom? Jawab aku, Mom! Jawab aku!” kali ini Clara benar-benar berteriak. Ketakutannya akan Justin benar-benar mencapai titik puncak. Rasa takut, cemas, khawatir, dan panic langsung menyelubungi relung hatinya saat ini. Clara sudah bisa memastikan bahwa ada sesuatu yang terjadi pada Justin saat ini. Dan dia belum siap untuk mendengar jawabannya….


“Jus-tin.. Jus-tin kecelaka-an, Cla-ra.” Jawab Pattie pada akhirnya.

DEG!!!!!
Clara langsung diam tak bergeming. Aliran darahnya seolah-olah berhenti. Degup jantungnya seolah-olah berhenti berdetak. Dan otaknya seakan-akan tidak berfungsi sama sekali saat ini. Dia benar-benar kaget dengan apa yang baru saja Pattie katakan. Ia benar-benar takut setengah mati. Ia benar-benar syok. Ia benar-benar belum tersadar sepenuhnya. Dan Clara rasa-rasanya sudah tak bernyawa lagi sekarang. Ia terlalu kaget. Dan yang pasti, ia belum siap dengan apa yang akan menimpa Justin selanjutnya setelah ini.


“Justin membutuhkanmu, Clara.. Justin keritis. Datang ke rumah sakit dekat rumah Justin sekarang juga. Justin benar-benar membutuhkanmu, Clara..” ujar Pattie lagi sambil terisak dan menangis tersedu-sedu. Bisa dengan jelas ada rasa ketakutan yang mendalam di nada suara Pattie saat Pattie berbicara. Dan itu juga langsung terjadi pada Clara. Clara benar-benar... takut.


Clara yang masih tercengang setengah mati mencoba bangkit dari tempat duduknya. Ia masih belum mempercayai kabar berita ini. Untuk berdiri dan berjalan saja rasa-rasanya sudah terlalu sulit bagi Clara. Tapi ia harus segera pergi ke rumah sakit. Ia harus segera pergi ke sana sebelum semuanya terlambat. Ya, Ia harus cepat-cepat pergi kesana.


Disana, ada seorang pria yang benar-benar membutuhkan kedatangannya. Disana, ada seorang pria yang tergolek lemah dan sedang berjuang melewati masa kritisnya. Disana, ada potongan dari hatinya yang sedang berdiri di ambang maut. Dan disana.. ada seorang pria yang benar-benar ia cintai sedang bertarung melawan maut untuk bertahan hidup atau… mati.








-----
Clara membanting setir dengan kasar dan tidak sabaran. Ia melajukan mobilnya dengan kecepatan super cepat. Ia benar-benar takut. Ia benar-benar dalam keadaan genting saat ini. Hati nya benar-benar remuk. Hatinya sudah hancur berkeping-keping sampai kepingan yang terkecil. Hatinya seakan-akan melebur… hatinya seakan-akan kehilangan sebuah penyangga… hatinya benar-benar rusak…


Deringan telepon dari ponsel Clara langsung menggema lagi di sekeliling mobilnya. Clara makin gusar dan makin panic. Dan saat Clara melihat layar telepon, hatinya langsung berdebar tidak menentu. Kali ini Pattie lagi yang meneleponnya. Clara makin takut. Nyalinya benar-benar ciut untuk mendengar apa yang akan Pattie sampaikan. Tapi ia mencoba mentabahkan hatinya. Apapun yang akan didengarnya dari Pattie harus ia terima. Apapun yang akan Pattie sampaikan harus diterimanya dengan lapang hati.


“Ya, mom?” ucap Clara lirih, seakan benar-benar takut dengan apa yang akan Pattie katakan. Dan Clara berusaha membendung gundukan air mata yang akan mengalir dari mata indahnya saat ini. Dan sungguh, saat ini ketakutan Clara berada di titik paling atas.


Di seberang sana, tidak terdengar jawaban apapun. Yang terdengar hanya suara isakan tangis yang begitu menggema dan begitu keras. Yang ada hanya suara tangis seorang wanita yang tedengar begitu memilukan. Dan suara isakan tangis itu makin jelas terdengar di telinga Clara saat ada seorang pria yang berbicara di seberang sana.

 “Kau tidak perlu cepat-cepat datang kesini Clara. Hati-hati di jalan.” Ucap orang di seberang sana dengan tegas sambil memutuskan sambungan telepon.

Clara diam tak bergeming. Darahnya seakan membeku. Dan rasanya ia sudah mati dan melayang-layang layaknya arwah saat ini. Dada Clara benar-benar sesak. Rasanya oksigen begitu sulit diraih olehnya saat ini.

 Dan sekarang Clara menyadari suatu hal. Clara tau mengapa Pattie menangis begitu keras di telepon tadi. Clara tau mengapa tadi suara pria yang tak lain adalah ayah Justin menyuruhnya untuk tidak usah terburu-buru ke rumah sakit. Ia tau mengapa nada bicara ayah Justin terlihat begitu memilukan. Ia tau.. ia tau semuanya….


Dan saat ia benar-benar sadar, ia langsung bisa merasakan rasa sesak yang begitu mendalam saat ini. Ia langsung bisa merasakan luka perih yang mengganjali hatinya sekarang. Rasanya benar-benar perih dan sakit.. Dan seketika bahunya berguncang tidak karuan. Tangisnya pecah. Dadanya benar-benar sakit luar biasa. Dan pikirannya langsung melayang pada satu orang sekarang.


Justin, kekasih hatinya dan calon suaminya, sudah tidak berada di dunia ini lagi. Separuh hati Clara sudah hilang. Hilang bagaikan kapas dihembus angin..








-----
Clara mengusap air mata yang kembali mengalir di pipinya dengan kasar. Kacamata hitam besarnya sudah tidak bisa menutupi seberapa banyak Clara menangis selama ini. Bahkan air mukanya sudah tidak bisa menutupi seberapa besar kepedihan hatinya saat ini. Hatinya benar-benar hancur. Hatinya benar-benar sakit sampai tidak bisa dituangkan dalam kata-kata. Yang jelas, ia masih sulit menerima kenyataan tentang apa yang baru terjadi padanya saat ini.

 Pemakaman Justin baru saja selesai dilaksanakan. Suasana haru dan tangis yang tak kunjung berhenti juga menghiasi pemakan Justin beberapa jam lalu. Clara sudah pasti tidak kunjung berhenti menangisi kepergian Justin. Ia masih belum bisa menerima semuanya. Ia masih belum bisa menerima jika kekasihnya, yang tak lain adalah calon suaminya, meninggal dalam kecelakaan tragis dalam perjalanannya ke Texas. Justin memang dijadwalkan mengisi meeting di Texas kemarin siang. Tapi, dalam perjalanannya ke Texas, ia malah harus kehilangan nyawanya dan pergi meninggalkan Clara disini sendirian. Dan untuk selama-lamanya.


“Clara..” sebuah suara yang sudah Clara hafal diluar kepala langsung membuyarkan Clara dari lamunan dan tangisannnya.
 Clara mendongak, lalu menatap siapa yang sedang menyapanya.
“Mom..” jawab Clara lirih, lalu menunduk lagi. Dan saat menunduk, ia kembali menitikkan airmatanya yang sudah terbuang begitu banyak hari ini.

 Pattie beringsut memeluk Clara dan menenangkan Clara dari tangisnya. Pattie memeluk Clara dan mengusap punggungnya layaknya seorang ibu kandung yang sedang meredakan tangisan putri kesayangannya. Dan saat Pattie memeluk Clara lebih erat lagi, Clara langsung menangis tersedu-sedu. Ia menangis sepuasnya di bahu Pattie. Segala kerisauan, kesedihan, kesesakan, dan ketakutan Clara seolah-olah ditumpahkan di bahu Pattie sekarang. Dan Pattie tau persis, bahwa Clara berada dalam posisi sulit saat ini.


“Aku tau bagaimana perasaanmu, Clara. Aku tau..” ucap Pattie lembut berusaha menenangkan Clara sambil ikut menangis. Pattie pun masih belum bisa menerima jika anak kesayangannya mati sia-sia hari ini. Ia masih belum bisa menerima jika Justin, putranya yang selalu ia banggakan sudah pergi untuk selama-lamanya. Pattie merasa sangat terpukul dan merasa jatuh di lubang yang paling dalam, begitu pula dengan Clara. 

 Pattie melonggarkan pelukannya dan menatap Clara dalam-dalam. Ia lalu membelai rambut Clara dan mengecup dahinya dengan lembut.


“Kau tetap anakku Clara.. Kau tetap anakku.” Ujar Pattie lembut.
Clara mengangguk lemah, lalu setitik air mata mulai membasahi pipinya lagi. 
 Pattie tampak mengeluarkan sebuah amplop dan kotak berwarna perak dari tasnya dan memberikannya pada Clara. Pattie tersenyum, lalu membelai rambut Clara lagi dan berkata, “Ini kutemukan di tas kerja Justin sebelum dia kecelakaan. Ini untukmu,” ujarnya lembut.


Clara melihat apa yang ada di tangan Pattie dengan ragu-ragu, namun ia tetap menerima amplop dan bingkisan itu. Setelah itu, ia menatap Pattie dan menitikkan setitik air mata lagi.


“Aku begitu mencintai Justin, Mom..” kata Clara dengan suara serak. Ia lalu menunduk dan kembali menangis. Tidak terhitung lagi berapa banyak airmata yang sudah ia keluarkan hari ini.
 Pattie hanya mengangguk, kemudian ia mengusap lengan Clara dengan sayang.
“Justin juga mencintaimu, Clara. Dia sangat mencintaimu. Bahkan cintanya padamu lebih besar dari pada cintamu padanya. Mom tau persis akan hal itu. Mom tau persis..” jawab Pattie berusaha menghibur Clara. Clara hanya menatap Pattie dengan tatapan nanar. Tapi kemudian ia mengangguk lemah kearah Pattie. Ia berusaha mengerti semuanya. Walaupun sebenarnya ia masih belum bisa mengerti dengan cobaan yang sedang ia alami saat ini.


“Mom harus pergi. Jaga dirimu baik-baik, sayang. Jika kau ada keperluan apapun, segera telepon mom. Ingat, aku adalah ibumu. Dan kau.. kau masih menjadi anakku sampai kapanpun.” Ujar Pattie lembut, sambil menatap mata Clara dalam-dalam, sedalam yang bisa ia capai.


Clara hanya mengangguk lemah, lalu ia membiarkan Pattie pergi dari hadapannya.


Clara memandangi amplop surat dan sebuah kotak perak yang ada ditangannya saat ini. Ia rasanya ingin menangis saat melihat tulisan tangan Justin yang terlihat begitu rapih di bagian depan amplop ini. Dan dengan gerakan halus, Clara mulai meraba tulisan Justin dan mulai membuka amplop itu dengan hati-hati. Dan saat surat sudah benar-benar terbuka, rasanya hatinya benar-benar meleleh. Hatinya benar-benar melebur. Hatinya bertambah hancur lagi. Dan kesesakan luar biasa langsung menjalar di seluruh tubuhnya saat ini. Lalu, Clara mulai membaca satu-persatu katayang Justin rangkai di surat itu.





Dear my angel, Clara Anderson.


Hai, Clara. Bagaimana keadaanmu, sayang? For sure, kau pasti dalam keadaan luar biasa baik saat ini. Kau mau tau perasaanku saat ini? Hahaha, asal kau tau saja, rasanya masih sangat sulit bagiku untuk mempercayai bahwa aku akan menikah denganmu sebentar lagi. Rasanya sangat sulit mempercayai bahwa hubungan kita sudah berjalan selama lebih dari 4 tahun. Dan sampai sekarang, aku masih sulit mempercayai bahwa kau mau menerima lamaranku tadi malam. 


Kau masih ingat waktu pertama kali kita bertemu di pesta pernikahan Tiffani? Kau terlihat begitu mempesona disana, sampai-sampai kau membuatku merasa sebagai pria paling beruntung di dunia karena bisa melihat kecantikanmu yang luar biasa. Dan, aku memang pria paling beruntung di dunia. Aku bisa mengenalmu, aku bisa mengetahui seluk belukmu yang terdalam, aku bisa menjadi pendampingmu, menjadi sandaranmu, dan bahkan bisa menjadi penyangga untukmu. Aku adalah pria paling beruntung saat kau mau menerimaku menjadi pacarmu 4 tahun yang lalu. Aku beruntung karena bisa menciummu dan memperkenalkanmu sebagai kekasihku. Aku beruntung bisa membawamu ke Roma dan Paris pada saat liburan musim semi kita 3 tahun lalu. Aku beruntung bisa tidur disebelahmu, dan memelukmu hingga pagi menjelang. Aku beruntung karena pernah menjadi sesuatu yang berharga untukmu selama 4 tahun ini. Sungguh, aku adalah pria yang paling beruntung di dunia ini.


Dan sekarang, aku yakin, kau sedang menangis. Aku tau itu, Clara. Aku bisa merasakannya. Bahkan jauh sebelum aku benar-benar meninggalkanmu. Aku tau, aku harus meninggalkanmu tidak lama lagi. Aku tau, aku tidak akan pernah bisa memilikimu seutuhnya dan sampai selama-lamanya. Aku tau, aku pasti akan pergi meninggalkanmu, walau aku tidak tau kapan aku akan benar-benar meninggalkanmu. Untuk itu, aku melamarmu tadi malam. Aku senang sekali saat kau mau menerima lamaranku. Rasanya sangat bahagia, asal kau tau saja. Tapi, aku juga merasa takut.. Aku takut kalau aku harus benar-benar meninggalkanmu kelak. Dan sekarang, semuanya sudah benar-benar terjawabkan. Semua ketakutanku telah menjadi kenyataan..


Aku tau Clara sayang, ini tidak adil untukmu. Tapi percayalah, ini yang terbaik untuk kita berdua. Terimakasih Clara, kau sudah mau menemaniku selama 4 tahun ini. Terimakasih untuk segala sesuatu yang telah kau perbuat padaku. Terimakasih sudah menjadi seseorang yang paling kucintai di dunia ini. Terimakasih atas segala kebaikan yang telah kau lakukan kepadaku. Terimakasih sudah menerimaku apa adanya. Terimakasih Clara sayang.. Terimakasih..


Dan aku minta maaf akan segala perbuatanku selama ini padamu. Maaf karena aku telah meninggalkanmu. Maaf untuk segala kesalahan yang sudah kuperbuat padamu selama ini. Maafkan segala kesalahanku yang tidak akan pernah bisa kujelaskan satu-persatu. Maafkan aku, Clara. Maafkan aku..


Dan aku mohon, jangan pernah tangisi aku. Airmatamu terlalu berharga untuk menangisiku. Ingatlah segala kenangan baik yang sudah kita lalui bersama. Ingatlah segala kenangan terindah yang sudah kita lewati berdua. Dan aku yakin, dengan mengingat itu semua, kau akan lebih mudah melupakanku..


Dan pada akhirnya, Clara.. Ingatlah dan ketahuilah, walaupun aku sudah tidak ada, aku akan selalu ada di hatimu, di sisimu, dan dimanapun engkau berada. Aku akan terus mendampingimu walau aku tidak terlihat.


Dan ketahuilah.. aku benar-benar mencintaimu. Aku sangat mencintaimu sampai-sampai aku tidak sanggup berkata-kata untuk mengatakannya dan menjelaskannya. Tapi yang jelas, aku sangat mencintaimu. Sangat sangat sangat mencintaimu!


Dan akhirnya.. Sampai bertemu lagi, Clara. Terimakasih atas segala pengorbanan dan cintamu untukku. Aku mencintaimu lebih dari apapun.


Love,
Justin Bieber, your invisible husband.





Setitik air mata langsung membasahi surat itu. Clara mulai merasakan bulir air mata berderai deras di pipinya. Makin lama makin deras makin deras lagi..


Clara mulai terisak, dadanya terasa nyeri. Dadanya sungguh-sungguh terasa sakit. Tubuhnya berguncang tidak karuan. Mulutnya mengatup dan terbuka untuk mencari secercah oksigen yang tiba-tiba terasa sangat susah diraihnya. Susah payah Clara mengambil nafas. Susah payah ia tidak terisak dan menangis tersedu-sedu. Tapi itu tidak berhasil. Clara mengigit bibir bawahnya keras-keras lalu meremas surat itu dengan perasaan perih luar biasa. Clara tidak mampu bersuara, Clara tidak mampu berkata, semuanya terlalu sulit, semuanya begitu sakit.

 Dan dengan gerakan lamban, tangan Clara mulai menjelajahi sebuah kotak perak yang juga ada di tangannya saat ini. Dan masih sambil menangis, ia membuka kotak itu dengan perlahan-lahan dan menemukan satu album foto cantik disana.

 Clara menangis makin deras sambil mencoba membuka satu persatu lembaran dari album foto itu. Dan tangisnya makin menjadi-jadi, saat melihat berbagai pose dan gayanya bersama Justin tertempel dengan anggun di album foto itu.


Disana ada foto-foto mereka saat mereka berada di Roma. Disana juga ada foto-foto mereka saat mereka ada di Verona dan Paris. Ada juga foto mereka saat mereka berciuman diantara burung-burung yang berterbangan. Ada juga foto mereka yang sedang berenang. Ada foto mereka yang sedang berciuman di dalam air. Ada foto mereka yang sedang bermain gitar bersama di tengah jalan yang sepi. Ada juga foto mereka bersama seekor kucing angora yang mereka beli bersama di petshop dekat apartment Clara. Semuanya ada disana. Semuanya terasa begitu nyata. Semuanya begitu kompleks. Semua kenangan seakan-akan terbuka kembali dan menyisakan lubang yang dalam di hati Clara. Dan di akhir album foto itu, tertuliskan sebuah kalimat yang begitu besar. 

 Tulisannya berbunyi: "JANGAN MENANGISIKU, CLARA. TATAP TERUS MASA DEPANMU. AKU ADA DISINI, DI HATIMU. AKU MENCINTAIMU. SAMPAI BERTEMU DI SURGA."

 Clara menangis lagi, lalu sekelebat kejadian-kejadiannya bersama Justin selama 4 tahun ini kembali terputar layaknya video yang terus berputar. Semuanya berputar dengan jelas. Dari awal mereka bertemu, sampai pada saat tragis ini. Semunya begitu menyakitkan, memang. Tapi Clara tidak akan pernah bisa melawan apapun. Ia tidak mungkin bisa melawan takdir.


Clara mendongak, lalu ia mengusap airmata yang mengalir di pipinya dengan kasar. Justin menyuruhnya untuk tidak menangis. Dan Clara tidak boleh menangis! Ya, Clara tidak boleh menangis!


Dan pada saat ia melayangkan pandangannya, tatapannya langsung tertuju pada suatu titik di ujung sana. Dan sontak Clara langsung tercengang setengah mati saat mendapati siapa yang berdiri di ujung sana. Dadanya membuncah, dan seakan-akan harapannya yang telah sirna menjadi cerah kembali.


Disana.. ia melihat Justin yang tengah tersenyum dengan pakaian serba putihnya.


“Justin…,” lirih Clara pelan sambil mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Ia benar-benar melihat Justin sekarang. Ia benar-benar melihat Justin! Ia melihat Justin!!


Justin hanya tersenyum manis padanya saat ini. Dan dengan gerakan bibirnya yang tidak terdengar, Justin mengatakan sesuatu pada Clara.
 “Jangan menangis.” Ucapnya dengan mimik bibir dan mukanya.

 Clara hanya tersenyum haru, kemudian mengangguk pasti kearah Justin. Ia bisa melihat bagaimana Justin dengan tenangnya tersenyum manis padanya saat ini. Rasa-rasanya ia ingin memeluknya saat ini juga, tapi Clara sadar ia tidak akan pernah bisa memeluk Justin lagi sampai kapanpun. Ia hanya dapat merasakan kehadiran Justin saja.


Justin lalu berkata sesuatu lagi kepada Clara melalui gerakan bibirnya. Dan kali ini, ia tampak tersenyum lebih lebar.
 “Aku mencintaimu,” katanya.


Clara langsung mengangguk cepat dan membalas ucapan Justin. “Aku juga mencintaimu, Justin.” ucapnya.


Justin tampak lega dengan ucapan Clara. Dan Clara pun juga tampak lega karena bisa melihat Justin lagi untuk terakhir kalinya, walaupun Justin hanya seorang arwah sekarang. Dan selama beberapa detik, mereka berpandangan. Mereka berpandangan dalam-dalam seakan melepaskan segala rindu dan kegundahan mereka. Mereka menyimpan memori wajah satu sama lain, seakan-akan menjadi memori tersendiri untuk hidup mereka masing-masing dialam yang berbeda.


Dan dengan gerakan anggun, Justin tiba-tiba saja melayang keatas dan melambaikan tangannya kearah Clara. Justin seolah-olah mengatakan kata perpisahan untuk mereka berdua. Clara mencoba untuk tidak menangis lagi. Dan ia dengan rela melambaikan tangannya kearah Justin yang lambat laun mulai menghilang dari pandangan matanya.


Dan saat tubuh Justin benar-benar hilang dari tatapan matanya, Clara tidak menangis. Ia mencoba untuk tegar, seperti yang Justin inginkan. Clara tidak akan menangis. Clara akan kuat. Clara akan menjalani hidup ini dengan lapang dada, walau tanpa Justin.


Dan Justin, ia akan selalu hidup di hati Clara. Dia tidak akan pernah mati. Api nya tidak akan pernah padam. 
Dan mereka.. mereka akan selalu mencintai, walaupun mereka berada di suatu alam yang berbeda sekalipun. 



END