Rabu, 26 Februari 2014

If it's meant to be, it will be.

Pagi ini, tepatnya pukul 00.00, aku dibangunkan oleh bunyi alarm yang bergema nyaring dan menyuarakan lagu Hurricane punya Bridgit Mendler. Aku lantas menjulurkan tangan ke meja di sebelah ranjang, menatap ponsel, dan langsung teringat bahwa tanggal ini adalah tanggal khusus yang sudah kutandai agar aku tidak lupa. Aku segera siap siaga, membuka berbagai macam sosial media dan mengecek segalanya, tapi aku tidak mengucapkan apa-apa, tidak menulis apa-apa. Aku hanya terjaga selama 20 menit dan berlutut sebentar untuk berdoa. Setelahnya aku bangun dan berangkat ke sekolah seperti biasa.
Ada satu hal yang mendukungku untuk tetap diam pada saat alarm itu berbunyi, bahkan ketika aku menatap layar ponsel dan mengetahui hari ini hari apa. Aku tetap diam, atau lebih tepatnya memilih untuk diam dan tidak melakukan apa-apa.
Aku sudah capek dengan semua hal yang tak berujung ini; menyukai tanpa disukai; peduli tanpa dipedulikan; mencintai tanpa dicintai. Aku sudah terbiasa dengan semua ini, sehingga rasanya aku sudah capek menggantungkan harapanku yang terlalu besar untuk seseorang yang sama sekali nggak bisa kuraih. Aku seperti kehilangan arah, merasa selalu mencintai seseorang yang salah. Cinta yang bertepuk sebelah tangan sepertinya sudah menempel dan melekat erat dalam diriku layaknya label harga di toko-toko kelontong. Bahkan lagu Pupus milik Dewa 19 sepertinya sudah seperti ceritaku sendiri, karena aku mengalaminya berulang kali.
Aku sudah sering mengalami kisah sendu tak berujung ini dengan beberapa laki-laki lain.  Dan bahkan saat memulai semua ini aku pun sudah tau bagaimana semua ini akan berakhir; ini semua tidak akan pernah ada ujungnya. Mengambang teratur, lalu tiba-tiba hilang dengan aku yang mulai melupakannya walaupun butuh waktu yang cukup lama.

It suck, you know?
Knowing that someone you want the most doesn't want you back. Or knowing that someone you care the most is the person who hurt you the most. 
Well... if you feel the same way, you are not alone then. Because I've been through this  so many times. 

Aku tidak takut jatuh cinta, aku siap menjatuhkan cintaku pada siapapun yang kumau, tapi rasa-rasanya aku selalu menjatuhkannya kepada seseorang yang salah. Seseorang yang nggak tau bahwa aku disini, menatapnya diam-diam, mengecek seluruh sosial media miliknya dan kadang-kadang mengunduh fotonya sebagai sesuatu yang bisa dipandang saat perasaan itu meluap jika nggak ketemu sama dia dengan jangka waktu lama. 
Aku sudah merahasiakan perasaan ini dari sahabat-sahabatku selama 5 bulan penuh, padahal semua orang tau bahwa aku benar-benar nggak bisa menyimpan rahasiaku sendiri. Tapi dengan laki-laki satu ini, aku membuat pengecualian. Aku membuat pengecualian dan  menjaga perasaan ini sendiri. Hanya aku dan Tuhan yang tau selama 5 bulan itu. 
Tapi akhirnya mereka mengetahuinya, dan ekspresi mereka saat mendengarnya hampir semua sama. Seolah-olah wajah mereka mengatakan, "lo nggak mungkin jadi sama dia, dia terlalu tinggi buat lo, nggak usah banyak berharap karena toh dia nggak mungkin lirik elo." 
Tapi semua itu memang benar. Aku dan dia memang jauh berbeda. Dia pendiam, aku koar koar. Dia pintar, aku standar. Dia begitu tampan, aku buruk rupa. Dia punya ekspektasi cewek yang tinggi, sedangkan aku disini hanya seuntai kain yang nggak berarti buat dia.
Dari awal aku memang tau bahwa aku dan dia mustahil untuk menjadi satu, tapi bodohnya aku tetap mencoba. Mencoba untuk memulai percakapan di sosial media yang membutuhkan waktu 2 jam untuk mengirimnya. Mencoba untuk melakukan first move walaupun akhirnya gagal. Aku ingat persis tanganku bergetar hebat waktu itu, sampai akhirnya aku nekat meng-klik kata send dari layar ponsel. Tiga puluh menit kemudian, dia membalasnya. Lumayan panjang, lumayan membuatku lega karena aku pikir dia nggak merasa annoyed of my behave. Namun, percakapan itu berlangsung hanya dua hari, diawali dengan ucapan natal dan barisan pertanyaan basa-basi yang dia dan aku tanyakan. Lalu setelah itu, semuanya berhenti. Berhenti begitu saja tanpa alasan yang jelas. 
Aku sudah mengeceknya berulang kali, namun hasilnya tetap kosong; dia membiarkan pesan terakhirku tak terbalas dan digantungkan begitu saja.
Aku ingat betul bahwa hari itu hariku rasanya kelabu.  Aku diabaikan, dan aku yakin bahwa dia memang tidak menyukaiku seperti aku menyukainya.
Namun aku memang bodoh karena aku masih mengharapkannya setelah semua kejadian itu. Aku tetap memeriksa akunnya setiap hari, mengambil napas lega karena nyatanya dia baik-baik saja. Dan dua bulan setelah percakapan itu, tepatnya hari ini, aku mulai ragu. Aku bukan meragukan perasaanku terhadapnya, namun aku meragukan kekukuhan hatiku yang masih terus mengharapkannya setiap hari. Rasanya sosok itu hanya sebuah imajinasi yang kutemui setiap seminggu sekali jika beruntung. Rasanya sosok itu hanya sebuah ilusi semu dan angan-angan yang nggak akan pernah bisa kucapai seberapa besar pun aku mencoba. Aku sudah mengalami ini berulang kali, dan aku tau bahwa semua ini nggak akan berakhir; tetap menggantung disana, nggak berbunga apalagi berbuah.

Dan hari ini, tepatnya tanggal 26 Februari 2014, aku sudah membulatkan tekad dan memilih untuk mundur. Aku memilih mundur dan berniat melupakannya, seolah-olah perasaan ini nggak pernah ada, sama seperti perasaannya yang nggak pernah ada buatku. Aku tau persis skenario cerita tak berujung ini, dan aku nggak mau melihat endingnya. Aku akan menuntaskannya dan mengakhirinya dengan kemunduranku sendiri, sebelum aku tersakiti oleh diri sendiri dan mempunyai ekspektasi yang bisa membuatku gila. 
Kita mungkin nggak pernah berbicara, mungkin hanya berjabat tangan dua kali. Tapi aku tau, aku harus melanjutkan hidupku dan kamu dengan hidupmu.
Aku akan berusaha melupakanmu walaupun itu sulit, dan kamu akan tetap menganggapku tidak ada. Selesai. Tidak ada yang dirugikan dalam skenario ini, bukan?
Aku memutuskan untuk mundur. Toh kalau kita memang seharusnya bersatu, sekuat apapun aku menjauh, kamu akan selalu ada disampingku, menjadi seseorang yang bisa menjagaku.

If its meant to be, it will be. 


Dan oh, ya. Satu lagi, kalau kamu kebetulan membacanya.
Selamat ulang tahun yang ke-19. :)