Rabu, 29 Maret 2017

Yogyakarta dan Kamu

Aku menemukan tulisan ini di jurnal yang kutulis pada tanggal 9 Mei 2016.
I remember I was so in love AND desperate back then. I remember it so clearly.
Oh love, what did you do to me? 


----------

Senin, 9 Mei 2016
23:34 

Dan lagi, Yogyakarta, untuk yang kesekian kali.
Aku kembali lagi ke kota ini dengan senyum yang kalau bisa diukur mungkin hanya setengah jari, serta harapan-harapan tak pasti yang belum terpenuhi.
Sudah hampir satu tahun aku berada disini.
Hampir satu tahun aku menyebut kota ini sebagai rumah.
Tapi, kota ini bukan rumah.
Bagaimana mungkin Yogyakarta bisa dikatakan rumah tanpa kamu di dalamnya?
Rumah, bagiku, bukanlah rumah, tanpa kamu.
Setiap kali aku menginjakkan kaki di kota ini, aku seperti berkelana. Aku seperti penjelajah yang keluar dari rumah.
Jauh darimu sudah menjadi makanan sehari-hari. Berada pada jarak ratusan, bahkan ribuan kilometer darimu sudah kuanggap hal yang biasa kujalani.
Bertemu denganmu hanya sebulan sekali, atau parahnya tiga bulan sekali hanya untuk bersua, telah menjadi sesuatu yang melulu menyakiti.
Mereka bilang rindu itu indah.
Tapi ini tidak indah.
Rindu sama sekali tidak indah.
Rindu itu menyiksa.
Tidak satu hari pun kulewati tanpa merindukan kamu.
Tidak satu hari pun semenjak kita setuju untuk menjalani hubungan ini, aku tidak mengharapkan kamu ada disini.
Aku tahu, hubungan ini, entah apapun namanya... ini kacau.
Kita hanya terus berputar. Berkeliling, mengitari orbit yang sama, makin lama makin kacau. Makin lama makin menyakitkan.
Tapi aku bertahan. Kamu juga bertahan.
Mungkin kita berdua hanyalah dua manusia yang sama-sama takut kesepian.
Aku menginginkan kamu.
Kurasa kamupun juga begitu,
Tapi, apakah adil bagi kita untuk menyalahkan semesta? Apakah adil menyalahkan keadaan yang mempertemukan kita di waktu yang salah?
Aku kadang malu. Aku kadang ngilu.
Tapi, kamu adalah bahagiaku.
Jadi untuk sementara, biarlah seperti ini dulu.
Aku untuk kamu.
Kamu untuk aku.
Aku menyayangi kamu. Kamu menyayangi aku; tidak lebih, juga tidak kurang.
Dan untuk sementara waktu, biarlah aku puas berputar dulu diantara Yogyakarta dan kamu.

Arti Rumah

So...
I was looking through my journal, and I found this writing of mine on February 25, 2016. At that time, I was still 18, and I was still in a relationship with a guy. 
When I read this, all I could ever think of was... the fact that a year could change things a lot. 
Oh dear, a year changes you a lot.


---------

Kamis, 25 Februari 2016

And here I am.
Duduk sendiri dengan telinga tersumbat earphone yang mengumandangkan Arthur Theme's-nya Christoper Cross. Mataku nggak bisa berhenti memandangi Jalan Jenderal Sudirman yang sore ini kelihatan padat.
Dari tempat duduk ini, Tugu Jogja nggak keliatan jelas, tapi samping kanannya masih kelihatan sedikit. Nyaris.
Pesananku sudah habis bersih, menyisakan perutku yang lumayan kenyang karena belum makan dari pagi.
Aku sudah menobatkan kursi ini sebagai kursi favoritku. Lokasinya pas. Pemandangan yang disuguhkan juga bebas; kota Jogja yang menggema luas.
Ah, Jogja.
Tempat rantauanku.
Tempatku mengemban ilmu.
Walaupun jauh dari Ibu, aku masih berusaha menjadikan kota ini rumah keduaku.

Katanya, Jogja itu romantis. Benar atau enggaknya, aku masih ambigu. Pendapatku masih rancu. Aku belum mendapatkan sebercak jejak keromantisan di kota ini.
Mungkin belum.
Tapi, sejauh ini, aku menyukai Jogja. Membelah kota ini setiap hari selama enam bulan terakhir membuatku mulai menyebutnya rumah.

Tapi bagiku, rumah bukan sebuah tempat atau bangunan yang bertujuan melindungi kita dari hujan atau panas.
Bagiku, rumah lebih dari sekedar tempat berlindung.
Rumah adalah suasana.
Rumah adalah keadaan.
Rumah adalah perasaan nyaman.
Rumah adalah rasa aman.
Rumah adalah alasan untuk selalu tinggal.
Dan lucunya, aku merasakan semua hal itu padamu.
Kamu adalah rasa nyamanku. Kamu adalah rasa aman yang selama ini belum pernah kurasakan dimanapun.
Kamu adalah setiap alasanku untuk tetap dan selalu tinggal.
Kamu... adalah rumah.
Lucunya lagi, perasaan ini adalah perasaan baru buatku. Perasaan ini belum pernah kutemu. Dan betapa aku ingin perasaan ini tetap tinggal dan tidak berlalu.
Aku menyukai perasaan ini, entah apa namanya.
Dan setengah mati, aku berharap kamu juga merasakan yang sama

Kamu adalah rumah.
Aku ingin selamanya berada di rumah.