Jumat, 27 Desember 2013

Being Ignored

Diabaikan.
Bukankah satu kata diatas adalah salah satu hal yang paling dibenci cewek di seluruh dunia? Semua cewek di dunia; mau itu tua atau muda, kurus atau gendut, cantik atau buruk rupa, semuanya nggak suka diabaikan. Entah itu diabaikan sama orang tua, sama temen, apalagi sama that someone special yang udah ditaksir sejak lama. Rasanya campur aduk kalau udah diabaikan sama seseorang yang ditunggu-tunggu, padahal butuh waktu berjam-jam untuk mengetikkan sesuatu dan mengirimkan satu pesan singkat buat dia. Butuh seikat keberanian yang kuat dan satu muka tebal yang siap nerima apapun yang akan dibalaskan sama that someone special. 
Ditambah lagi, kaum kita adalah kaum yang disebut perempuan. We need extra courage to do the first move, untuk memulai percakapan yang pertama. Semua orang selalu bilang, "guys always make a first move."  tapi kayaknya sekarang udah nggak jaman lagi yang begituan, karena sebenarnya cewek juga bisa. Girls also make the first move! 
Tapi... dengan satu kondisi. Karena cewek kebanyakan sensitif dan pengen banget diperhatiin, dalam hal ini cewek harus berhati baja untuk buat first move dan siap kalo that someone special nggak bales your texts. 
Pait banget ya? Paiiiiiiit banget kalo didiemin gitu. Seolah-olah campur aduk di dalam hati, perasaannya seakan berkecamuk. 
"Dia keganggu kali kalo gue sms." "Dia sibuk kali." "Mungkin ga deliv!" "Dia mungkin baca, nggak ada pulsa kali." "Mungkin sengaja ga dibaca sama dia." "Mungkin udah dibaca, tapi males dibales." "Duh, kayaknya dia nggak suka sama gue." "Duh, kayaknya dia benci banget sama gue." "Dia jijik kali sama gue!" "Njrit, gue yakin banget dia nggak suka sama gue dan nggak pernah mau gue sms dia!"
DUAAAAAAAR!
Meledak deh lo meledak! 
Serba salah sebenernya jadi kaum perempuan. Buat langkah pertama, nggak diladenin. Nggak buat langkah, stuck aja di tempat. 
Serba salah, kan?

Dan satu, being ignored is one of the worst thing in the whooooole world. Solusinya biar nggak diabaikan? Gue juga nggak tau. Masih cari jalan keluar. Sama-sama buntu. Dan gue suntuk banget. Beteeeee banget. 
BYE. 

Jumat, 08 November 2013

Amy's Diary #2

Berbicara dengan Nathan adalah sebuah hal yang mengasyikkan. Poin plus-nya adalah bahwa ia luarbiasa tampan dan punya selera humor yang sama denganku. Sudah 2 jam aku berbicara dengannya, dan dalam dua jam itu pula aku sudah menghabiskan 2 cangkir cokelat panas. Nathan lebih parah karena ia menghabiskan 1 cangkir cokelat panas dan 2 cangkir kopi, ditambah lagi vanilla pop tart yang sekarang sedang ia santap. 
Sejauh ini, kami sudah berbicara tentang banyak hal. Tentang hobi dan rancangan masa depan, misalnya. Dia juga bertanya banyak tentang Indonesia, dan aku menanyainya balik tentang Australia. Aku diam-diam bersyukur karena bisa berbahasa Inggris lancar, mengingat Papa dulu selalu menuntutku untuk berbicara Bahasa Inggris dan Bahasa Jerman supaya bisa mudah berbicara dengannya. 
Aku juga berbicara tentang kuliahku yang mengambil jurusan Komunikasi di salah satu Universitas Swasta di Jakarta, dan juga tentang restoran yang dibangun Papa di 12 kota di Indonesia. Nathan mendengarkan semua ceritaku dengan baik. Aku sudah menobatkan dia sebagai salah satu pendengar terbaik atas semua cerita-ceritaku, karena semua ceritaku sepertinya selalu menarik untuknya.
"Jadi kamu sempat cuti kuliah selama satu tahun karena membantu Papa-mu membangun restoran?"
Aku menyesap cokelat panas, lalu mengangguk. "Yepp. Dan hasilnya nggak sia-sia, karena Papa nggak hanya buka cabang di Jakarta saja, tapi sudah meluas di 12 kota besar di Indonesia. Papa malah berencana membuka cabang juga di Berlin."
Nathan menganga. "12 kota? Geez. Papa kamu sepertinya keren sekali."
"Yes. He totally is." kataku bangga, "Tapi jangan lupa. Saya juga ikut andil dalam pembukaan restoran pertama Papa. Dan berkat itu semua, saya jadi tau bagaimana rasanya struggling untuk mencapai sebuah kesuksesan." 
Nathan tersenyum samar, sedikit menyipitkan matanya dan menatapku dengan sebuah tatapan yang tak bisa kutebak. "Ternyata ke-kerenan Papa mu menurun sama kamu."
Aku terkekeh. "Banyak orang yang bilang begitu. Kamu bukan yang pertama."
"Dasar narsis."
Kini aku tertawa. "Tapi benar, lho. Dibandingkan Tiffany, saya jauh lebih dewasa. Yah, setidaknya begitulah kata beberapa orang."
"Tiffany siapa?"
Ah, aku lupa memberi tahu tentang Tiffany pada Nathan. "Tiffany Summers, kakak saya."
Nathan mengangguk-angguk, lalu menyuapkan sesendok vanilla pop tart ke dalam mulutnya. 
Diam-diam aku melirik kearah jam tangan merk Dior palsu yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Sudah jam setengah sepuluh malam. Itu berarti sudah lebih dari 2 jam aku berbicara pada Nathan. Tapi anehnya, aku tidak merasa bosan sama sekali. Aku justru ingin berbicara padanya setiap waktu. Sampai pagi, kalau aku bisa.
"Jadi, kapan kamu akan lulus kuliah?"
Aku melenguh, topik ini adalah topik pembicaraan yang paling aku benci. Semua orang sepertinya selalu menanyakannya padaku, dan setiap kali mereka menanyakannya, aku selalu menjawab, "Secepatnya."
Nathan mengembuskan napas, sepertinya mengerti kalau aku tidak suka ditanyai tentang kuliahku yang tak kunjung kelar. "Tidak apa-apa. Dulu saya juga telat lulus kuliah, kok."
"Really?!" 

"Yepp. Dulu saya malas, kamu tau. Tapi pada akhirnya, saya berhasil lulus dan dapat nilai diatas rata-rata."
Aku mengangguk-angguk, mungkin aku terlalu banyak berbicara mengenai diriku sendiri sehingga aku lupa menanyakan seluk beluk tentangnya.
"Jadi sekarang kamu bekerja?"
Nathan menipiskan bibirnya. "Tidak juga."
Aku menaikkan alis. "Lantas?"
"Saya seorang pengusaha."
Pengusaha! Gee. Tampan, sopan, pengusaha pula!
"Kamu pemilik sebuah perusahaan?" aku berkata datar, sebisa mungkin menutupi kekagumanku padanya. 
"Bukan sebuah perusahaan, hanya bisnis kecil-kecilan saja."
Aku mengibaskan tanganku. "Yang namanya pengusaha, mau sekecil apapun, tetap saja namanya pengusaha." Aku bersikeras. "Jadi, bisnis apa yang kamu miliki?"
"Sebuah kafe."
"Wah!" aku mendadak sumringah. "Kafe apa?"
"Kafe ini."
Aku hampir tersedak oleh kesumringahanku sendiri ketika Nathan menjilat bibir bawahnya dan tertawa melihat ekspresiku. Aku yakin aku melotot sekarang, karena Nathan makin tertawa. Bagaimana tidak? Aku sedang duduk bersama seorang pemilik kafe! Tambahan; pemilik kafe yang sekarang sedang aku kunjungi!
"Kenapa kamu tidak mengatakannya dari awal?!" aku mendadak protes.
"Kamu saja yang tidak menanyakannya."
Aku menggaruk pelipisku yang tidak gatal. "Mungkin saya terlalu berbicara banyak mengenai diri saya sendiri."
"Tidak, kok." katanya, "Tidak apa-apa. Saya suka mendengarnya."
Mendadak aku merasa wajahku memanas. Dan aku yakin sekali bahwa kedua pipiku yang tembam sudah berubah warna menjadi merah tomat sekarang juga.
"You're blushing." ujar Nathan.
"I'm not."
Nathan terkekeh. "Yes, you are." 
"Sudahlah, change the topic, please?" 
Nathan terkekeh hebat setelahnya. Aku yakin tawanya kali ini akan berlangsung lama, jadi akhirnya aku yang angkat bicara. "Nathan, stop." kataku, melihatnya masih terkekeh hebat. Sebenarnya apa yang lucu dari seorang Amy yang sedang tersipu?
"Okay, I'll stop."
"Good."  balasku.
Butuh waktu beberapa detik sebelum akhirnya aku menemukan pertanyaan ampuh untuk membuka pembicaraan lagi. "Kamu masih muda, dan kamu sudah punya kafe sendiri. Saya yakin kamu belum menginjak usia 30 tahun. Kamu sama kerennya seperti Papa saya. Tapi tetap Papa saya yang paling keren, tentu saja."
Nathan tersenyum manis dan memperlihatkan deretan giginya yang rapi dan putih bersih. "Tidak juga. Kafe ini baru dibuka beberapa bulan yang lalu. Belum keren."
"Tapi kafe ini cozy, cokelat panasnya enak sekali." 
"Well, thanks for that." jawabnya. 
Aku mengangguk, tersenyum melihatnya menyesap kopi lagi. Aku jadi penasaran berapa umurnya. "Jadi, berapa umurmu?"
Nathan mengerutkan keningnya. "Pertanyaannya telak sekali." 
Aku tertawa kali ini. "Belum sampai 30, kan?"
"Coba tebak saja. Saya akan mengangguk kalau kamu benar."
Aku menggigit bibir bawahku. Pembicaraan ini semakin menarik. 
"Dua puluh lima?"
Nathan menggeleng.
"Dua puluh dua?"
Nathan merengut, lalu menggeleng.
"Dua puluh delapan?"
Nathan tersenyum, tapi tetap menggeleng. Aku mengerutkan kening, menatap wajahnya dan terus saja menebak-nebak.
"Dua puluh tujuh!" aku berkata mantap. Kali ini pasti aku benar.
Tapi ternyata, Nathan menggeleng lagi.
"Lima belas." aku berkata ngawur, dan Nathan langsung tertawa. Entah kenapa tawanya terdengar merdu di telingaku.
"Dua puluh enam." ucapnya, menyerah pada akhirnya. 
Aku mengedikkan bahu, well--tebakanku hampir benar. 
"Beda tiga tahun dari saya."
Nathan melebarkan matanya, "Benarkah? Tadinya saya kira kamu masih tujuh belas." katanya, "Tapi tidak mungkin, mengingat kamu telat lulus kuliah." ledeknya, dan aku mencibir kesal.
"Berkatalah semau kamu, Mr. Mills."
Nathan tertawa lagi. Duh, tawanya seperti kerupuk. Renyah sekali, dan menyenangkan saat sampai di telinga. 
"Twenty six and available." Perkataan Nathan yang begitu tiba-tiba membuatku berhenti menyesap cokelat panasku. 
"Jangan bercanda." aku mengibaskan tangan.
"I'm not, Amy."
Aku terkekeh geli. "Come on, Nathan. You are perfect, and I'm sure that you already have a girlfriend. A fiance, even."
"Ah. Thank you for saying that I'm perfect, by the way."
Aku terkesiap. Aku tau aku keceplosan.
"Maksud saya, kamu begitu matang dan pasti banyak cewek yang naksir kamu. Masa kamu tidak punya pacar?"
Nathan mengedikkan bahu, "I guess I'm the picky ones." 
"Let me guess... You looking for the perfect one, do ya?"
"I think so. Not the perfect girl, but the perfect one."
Aku mengangguk. "Kamu belum menemukannya?"
"Sejauh ini belum. But I'm still working on it." jawabnya mantap, "Kalau kamu sendiri bagaimana?"
Aku menunduk, lalu menertawai diriku sendiri dalam hati. "Twenty three and available." ucapku meniru perkataannya. 
"That's great for ya."
"Not as great as I expected, I think." 
Nathan mencondongkan badannya kearahku. "Why not?"
"It's a long story." balasku, masih menunduk. "Guess I'm not gonna talk about that."
Aku menatap Nathan, dan aku menangkapnya dalam bola mataku yang kali ini menyipit. Aku tidak mau membahas tentang masa laluku. Tidak untuk saat ini, tidak di tempat ini, tidak pada Nathan--satu-satunya pria Gold Coast yang paling menarik sejauh aku berada disini.
"I understand. Lets change the topic." 
Aku mengulum senyum. "Yeah, we better change the topic."
Aku menggigit bibir bawahku, kembali menatap Nathan yang kali ini juga sedang menatapku. Kami berdua tersenyum, lalu sama-sama kikuk dan memilih untuk membuang pandangan kami masing-masing.
Oh. Entah apa yang sudah kulakukan.
Aku berbicara pada Jonathan Mills selama 2 jam lebih. I mean, he's a total stranger and I met him in a cafe! What a romantic movie's story, I guess! 
Tapi aku tidak peduli. Aku hanya senang berbicara dengannya, mengingat perbincangan kami yang tidak ada habisnya. Aku belum tau dimana ujung pembicaraan kami. Dan sepertinya, aku tidak ingin tau. Berbicara dengannnya membuatku gembira, membuatku kembali merasakan sengatan aneh dan rasa panas di pipiku. Entah karena sikapnya yang sopan, wajahnya yang tampan, selera humor kami yang sama, atau aku memang tertarik padanya.
Ya ampun.  
Apa yang sudah kau lakukan, Amy Summers?!

Kamis, 07 November 2013

Amy's Diary #1

Hari itu adalah hari Sabtu di awal bulan Agustus. Aku sedang terduduk di pojok sebuah kafe sambil melihat-lihat isi laptop dan mendengarkan lagu melalui earphone murahan yang kubeli di toko elektronik China di ujung blok. Tak banyak yang bisa kulakukan di tempat ini, walaupun pada awalnya aku ingin sekali mengunjungi tempat ini sekali seumur hidup. Aku masih punya 3 minggu lebih di kota yang penuh dengan pantai ini sebelum liburan musim panasku berakhir. Entah aku harus senang atau sedih karena aku masih mempunyai setidaknya 20 hari untuk tinggal di Gold Coast, sebuah kota kecil di bagian negara Queensland, Australia. 
Aku mengaduk coklat panas kedua yang kupesan dari kafe ini. Rasa coklat panasnya enak sekali, padahal kafe ini tidak terlalu besar dan pengunjungnya hanya beberapa. Tapi kafe ini nyaman dengan interior klasik dan juga aroma kopi yang menyeruak manis di setiap ujung ruangan. 
Aku mematikan laptop, menutupnya dan kemudian memasukkannya ke dalam ransel. Aku merasa ada sepasang mata yang mengawasiku, dan saat aku mendongak, aku baru tau bahwa ada seorang pemuda yang sedang menatapku sambil menyesap kopinya. 
Aku menatapnya balik, membuatnya melepaskan pandangannya dariku dan berpura-pura tidak melihatku, padahal aku tau persis bahwa dia tadi melihatku. Aku mengacuhkannya, lalu menyesap coklat panasku lagi dan aku merasa bahwa matanya mengawasiku lagi. Aku secepat kilat mendongak, dan secepat kilat itu pula pemuda itu mengalihkan pandangannya dariku.
Aku mengernyit. Dasar aneh. 
Lalu tiba-tiba, aku merasa bahwa pemuda itu berjalan ke mejaku. Dari sudut mataku, aku yakin sekali bahwa pemuda itu kini sudah berdiri tepat di sebelah mejaku. 
"Hallo."
Dia menyapa, membuatku mau tak mau mendongak dan menatapnya juga.
"Ha-llo?" jawabku canggung, ia membalasnya dengan senyuman tipis.
"Maaf ya, tadi saya melirik kearah kamu dua kali." katanya, tersenyum lagi. "Maaf saya sudah bersikap tidak sopan. Sebenarnya saya hanya penasaran saja. Kamu sepertinya bukan berasal dari daerah ini, ya?"
Aku meneguk ludahku, pemuda ini jelas berbicara terlalu sopan. "Tidak apa-apa. Dan, ya. Saya memang bukan berasal dari sini. Saya berasal dari Indonesia."
Pemuda itu mengangguk-angguk, menilai fakta bahwa gadis sepertiku berasal dari Indonesia sepertinya membuatnya tertarik. 
"Kamu seperti bukan orang Indonesia." Aku sudah menyangka bahwa ia akan mengatakannya. Pemuda itu lantas mengedikkan bahu, menarik kursi yang ada di depanku. "Boleh saya duduk disini?"
"Silahkan." jawabku buru-buru. 
"Terimakasih." katanya, "Kamu bukan orang asli Indonesia, ya? Wajah kamu seperti orang western, berbeda sekali dengan wajah salah satu teman saya yang asli Indonesia."
Aku tersenyum kecil. "Wajah saya ikut wajah Papa yang kebetulan asli Jerman, tapi saya lahir di Indonesia dan besar di Indonesia." 
"Saya sudah tebak." Pemuda itu mengedikkan jarinya, lalu tersenyum lebar padaku. Senyumannya bagus dan giginya putih bersih. "Ada acara apa di Gold Coast? Liburan? Atau mengunjungi pacar?"
Aku mendengus. "Hanya liburan musim panas, kok. Saya kembali ke Indonesia bulan September  mendatang."
"Biar saya tebak... Kamu pasti datang sendirian saja ke Gold Coast?" mata pemuda itu mendelik, membuatku bisa melihat matanya yang ternyata berwarna biru keabuan.
"Sedihnya, ya. Tapi saya tinggal bersama sepupu saya yang kebetulan kuliah disini."
Pemuda itu mengangguk lagi, seperti tanda bahwa ia mengerti. Sementara ia mengangguk-angguk seperti burung pelatuk, aku diam-diam mengamati wajahnya. Wajahnya lonjong dengan garis muka tegas dan juga dagu yang sedikit runcing. Bentuk mukanya nyaris sempurna layaknya pahatan, alisnya tebal berwarna cokelat, lalu bibirnya berwarna merah muda yang sepertinya nikmat sekali jika dicium. Rambutnya coklat gelap, dan warna matanya biru keabuan. Walaupun mempunyai garis muka yang tegas, pemuda ini punya cara bicara yang membuatku kagum karena kesopanannya. Duh, dia adalah pemuda pertama yang nyaris sempurna yang kutemui di Gold Coast selama 5 hari disini. 
"Ya ampun. Saya begitu tidak sopan. Saya lupa memperkenalkan diri saya pada kamu."
Perkataannya membuyarkan lamunanku yang melambung jauh. Aku mengerjapkan mata beberapa kali. Duh, apa yang baru saja aku pikirkan?
"Nama saya Jonathan Mills. Kamu cukup panggil saya Nathan." Nathan mengulurkan tangan dan aku membalasnya. Tangannya terasa besar dan kekar saat menjabat tanganku.
"Amy Summers." kataku, tersenyum padanya.
"Senang berkenalan denganmu, Amy." kata Nathan dengan senyuman mautnya.
"Senang berkenalan denganmu juga, Nathan." jawabku, dan jabatan tangan kami terlepas setelahnya.
"Coklat panas kamu sudah hampir habis. Pesan lagi saja, ya? Saya yang traktir."
Aku menggeleng. "Saya bisa beli sendiri kok..."
"Jangan menolak. Anggap saja hadiah dari pemuda aneh bernama Nathan yang sok pintar ini."
Mau tak mau aku tertawa kecil. Dia lucu juga. Aku sebenarnya bisa saja menolaknya, tapi aku tau aku tidak bisa. Satu cangkir cokelat bisa memuat satu jam pembicaraan dengan seseorang. Dan entah mengapa, saat Nathan mengangkat tangannya dan memesan satu cokelat panas untukku dan untuknya, aku tersenyum diam-diam.
Sepertinya aku akan suka berbicara dengannya. Dan sepertinya, aku akan menikmati sisa liburan ini jika begini caranya.
Aku tau semua ini terdengar aneh. 
Tapi siapa peduli?

Jumat, 18 Oktober 2013

Summertime Of Our Lives

Hanya  potongan kecil dari sebuah cerita yang saya buat. 
Enjoy :)



****
          Stella berusaha untuk tidak gusar saat pria itu menarik tubuhnya mendekat, memeluknya dan menyelimuti tubuhnya dengan kehangatan yang membuatnya merasa nyaman.
            Stella sudah berada di bandara, bersama Justin, dan juga bersama Rosie. Pesawat mereka akan lepas landas sebentar lagi. Dan Stella tau saat itu juga ia harus berpisah dengan Justin.
            Tak ada yang bisa diingatnya mengenai apa yang terjadi semalam ketika ia menemukan tubuhnya yang terbalut baju sempurna di kamar hotelnya pagi ini. Ia tampak tidak berantakan. Tampak segar. Dan tak ada Justin di sampingnya saat ia terbangun. Yang ada di sebelahnya justru Rosie yang sedang mendengkur hebat. Entah apa yang sudah Justin katakan pada Rosie ketika Rosie berkata bahwa Justin menemukan Stella di depan pub, pingsan dan sama sekali tak bergerak. Justin membawa Stella ke kamar hotelnya, dengan selimut tebal saat ia terbangun.
            “Sampai bertemu di lain waktu, Stella,” kata Justin seusai mendekap tubuh Stella selama beberapa saat. Ia sudah sempat berpamitan pada Rosie lima menit yang lalu. Dan tadi ia sempat meminta Rosie untuk memberikan waktu khusus untuk mereka berdua.
            “Justin aku hanya ingin—“
            “Ssssssh,” Justin tiba-tiba saja menyentuh bibir Stella dengan telunjuknya, “Aku tau kau mungkin bingung. Namun percayalah bahwa semuanya akan baik-baik saja.”
            Stella mengigit bibir bawahnya. Ia mendengar panggilan itu lagi. Panggilan untuk para penumpang yang hendak lepas landas ke Amsterdam.
            “Jaga dirimu baik-baik.” Kata Justin lembut seraya meremas tangan Stella.
            “Justin—“
            “Terimakasih untuk satu hari yang menyenangkan. Terimakasih untuk musim panas yang luar biasa untukku."
            “Justin aku tau aku tidak—“
            “Dan berjanjilah padaku bahwa suatu saat nanti kita akan saling mencintai. Dengan cara yang lain, pada musim panas yang lain…”
            Stella tak berbicara lagi. Bibirnya seolah-olah terkatup rapat. Ia hanya terus menatap wajah Justin ketika pria itu melepaskan remasan tangannya dan memilih untuk mengusap kepala Stella beberapa kali.
            “Sekarang pergilah.”
            “Justin, bolehkah aku bertanya sesuatu padamu?”
            Justin mengangguk. “Anything.”
            “Apakah semua ini nyata? Maksudku—kau dan aku. Satu hari yang menyenangkan. Apakah itu semua benar-benar nyata?”
            Justin menatap Stella selama beberapa detik, menarik ulur napasnya yang tampak tenang, kemudian menjilat bibirnya dan tersenyum pada Stella sambil berkata, “Kau akan menemukan jawabannya suatu hari nanti. Semua ini begitu rumit. Tapi kau harus tau bahwa cepat atau lambat, kau akan mengetahui jawabannya.”
            Tak ada yang bisa Stella lakukan kecuali mendengus kecil dan tersenyum tipis padanya. Jawaban itu mungkin tidak cukup. Namun ada sesuatu yang mendorongnya untuk mempercayai Justin. Mempercayai ucapannya. Dan menganggap bahwa jawaban itu masih menggantung entah dimana.
“Kita akan bertemu di musim panas yang lain, kan?”
            Justin tersenyum, “Kita akan bertemu di musim panas yang lainnya.” Jawabnya.

            Stella mengangguk. Ia masih bingung akan semua yang sudah menimpanya selama satu hari terakhir. Semuanya berjalan begitu cepat dan kilat. Dan semuanya tampak begitu semu. Tampak begitu maya. Semuanya kelihatan tidak nyata….
            Namun Stella  memilih untuk berbalik dan pergi meninggalkan Justin. Ia tidak tau bagaimana caranya Justin bisa berada di Bandara ini pada hari ini, namun ia yakin keberadaannya disini karena ada suatu alasan.

            Dan alasan itu akan membawanya ke suatu dimensi yang lain. Ke sebuah pusaran yang lain. Ke sebuah dunia yang lain.
            Dan ke sebuah musim panas menyenangkan berikutnya yang akan ia jalani bersama Justin.

Jumat, 11 Oktober 2013

Somewhere Only We Know

So why dont we go?
Somewhere only we know?



Sepenggal lirik lagu dari grup band Keane yang berjudul Somewhere Only We Know mengalun lembut dari radio, membuatku menegakkan kepala dan otomatis menambah volume pada pengeras radio.
Aku tau lagu ini, atau lebih tepatnya mencintai lagu ini. Aku sama sekali tidak tau apa alasan dibalik mencintai lagu yang keluar hampir sepuluh tahun lalu, lagu yang keluar saat aku masih berusia tujuh tahun. Mungkin  karena liriknya yang romantis, atau mungkin karena genre campuran counrty-alternative yang cuma Keane punya. Tapi mungkin juga alasan dibalik semua itu adalah karena lagu ini selalu mengingatkanku pada seseorang. Seseorang yang entah masih mengingatku atau tidak. Seseorang yang sampai sekarang masih menghantui pikiran setiap kali aku melamun.

Sebut aku berlebihan karena selalu membesarkan pertemuan kita yang tergesa-gesa dan begitu singkat. Sebut aku norak karena menganggap kamu adalah orang yang selama ini aku tunggu, walaupun aku sama sekali tidak mengenalmu secara detail. Dan sebut aku bodoh karena mengira diriku sudah menyukaimu terlalu dalam, sampai tidak bisa mengeluarkan kamu dari isi otakku dan akhirnya memutuskan untuk menulisnya disini. Setiap hari pasti aku menerka-nerka; apakah kamu memikirkan aku sebesar aku memikirkan kamu?
Omong-omong soal pertemuan kita yang terlalu singkat, aku juga selalu menerka-nerka apa sebenarnya perasaan yang kusimpan padamu selama ini. 

Cinta?
Bukankah definisi itu terlalu tabu? Bukankah definisi itu terlalu cepat disimpulkan mengingat pertemuan kita yang terlalu singkat? Bukankah aku terlalu saru untuk mengucapkannya dan bukankah kata itu terlalu ambigu? 
Aku terus merenungkannya, mengingat kamu tidak pernah absen dalam daftar pikiran-pikiran melayang yang aku pikirkan setiap hari.
Semua orang pasti akan berkata bahwa aku terlalu bodoh karena sudah menyukai kamu. Mereka pasti akan berkata, bagaikan pungguk merindukan bulan. Tapi ingat ya, kamu bulannya, aku pungguknya. Rasanya terlalu sulit  bagiku untuk meraih kamu. Rasanya mustahil bagiku, dan bagi kamu juga pastinya, bukankah begitu?

Tapi aku tau pertemuan itu sudah mengubah semuanya. Aku dan kamu dipertemukan  bukan tanpa suatu alasan. Biar mereka berkata aku terlalu membesarkannya, tapi aku tau bahwa semua itu bukan kebetulan semata. Rasanya seperti magic, padahal aku hidup di kehidupan nyata, bukan di kehidupannya Alice yang tersesat di Wonderland. Tapi aku memang tau--aku selalu tau, bahwa aku dan kamu dipertemukan karena sebuah alasan. Sebuah alasan yang belum aku ketahui, sebuah alasan yang belum kutemukan karena aku masih berusaha mencarinya.
Dan saat kamu berkata, "kamu berbeda," aku baru menyadari bahwa kamu juga berbeda. Kamu yang seorang pendiam, yang jarang berbincang pada gadis, malam itu mencurahkan cerita-ceritamu padaku. 
Lalu aku bertanya mengapa kamu menceritakan cerita itu padaku, kamu hanya menjawabnya sambil tersenyum dan berkata, "karena aku mempercayaimu." Dan aku merasa bahwa aku adalah seseorang yang paling bahagia, karena berkesempatan dipercayai olehmu. Tapi haruskah aku bangga? Haruskah aku senang karena kamu mempercayai aku karena menceritakan cerita-ceritamu?
Dan saat kamu berkata padaku lagi untuk menjanjikan sesuatu padamu, aku memilih untuk menggeleng dan menolaknya.  Kamu justru memaksa dan berkata, "Berjanjilah saja." Saat itu, aku merasa luluh untuk yang kedua kalinya. Hingga akhirnya aku mengangguk sambil tersipu malu dan berkata dengan mantap, "Ya, aku berjanji."

Lupakan mereka yang menganggapku bermimpi karena sudah berbicara padamu dan berbagi semuanya padamu. Aku tidak peduli seberapa banyak orang yang menganggap aku gila karena mengaku-ngaku pernah dekat denganmu. Yang penting kamu tau yang sebenarnya.
Namun mngkin kamu sudah lupa denganku, tidak ingat siapa namaku, atau lupa tentang apa saja cerita yang sudah kita bagi berdua. Aku toh tidak menaruh banyak harapan. Aku hanya senang bisa berbincang denganmu, dan sialnya aku masih tidak bisa melepaskanmu dari otakku sampai sekarang.
Aku juga tidak tau perasaan apa yang saat ini menggelayuti hatiku buat kamu, dan aku mungkin tidak akan mencari tau. Biar waktu saja yang menjawab.

Dan, satu lagi.
Aku tidak sabar untuk bertemu denganmu lagi. Suatu saat nanti kita pasti akan bertemu lagi, kan?

Jumat, 09 Agustus 2013

FOREVER OURS - ONESHOOT - CERPEN

Hai! Kembali lagi sama saya, dan kali ini bersama sebuah oneshoot yang bisa dibilang paling normal daripada semuanya. Lol. So here is it. I hope you enjoy this story because yeah—I write it with all my heart. I’d love to receive more reviews and feedbacks, of course :) And yea, as usual, no copy cats without permission or credits ;) Happy jolly reading! xx






Tittle: FOREVER OURS.
Written by: Brigita Yo’ella Beta Shela
Genre: Romance-Hurt, Eternal Friendship.
Suitable for: 14 years and above.
Length: 1 PART – ONESHOOT - 6000++ WORDS.
Inspired by: Reality Show “Friendzone” on MTV, Crush by David Archuleta, and emh—someone out there.
Casts:  Justin Drew Bieber, Tayla Victory Mason, Scarlett Nic Montez, and others.
Caution: All the plots, quotes, and characters are belong to me. Just do not try to steal this oneshoot or my kepongers will slap your mouth. Happy jolly reading! :)




 ***
               

 “Selamanya akan jadi milik kita, bukan?”
               

Wisconsin, Januari 2013.
Justin Bieber menghembuskan napasnya secara tertahan, sedang berusaha untuk menahan sebuah serangan dingin yang menyelimuti kedua tangannya ketika ia mencoba untuk berjalan menyusuri sebuah taman. Ia menggosokkan kedua tangannya, lalu memasukannya ke dalam kedua kantung jaket tebalnya dan terduduk di sebuah kursi yang berada di taman.
                Musim dingin di Wisconsin memang selalu begini, selalu tampak memilukan dan dingin setengah mati. Sehingga rasanya kupluk warna cokelat dan jaket tebal warna hitam yang dikenakannya terasa tak bisa menahan rasa dingin yang hampir meremukkan tulang-tulangnya. Justin Bieber lantas mengambil tindakan dengan merogoh saku jaketnya, mengambil satu puntung rokok dari sebuah kotak dan kemudian menyulutnya dengan api. Ia selalu merasa bahwa rokok bisa menyembuhkan apa saja. Bisa mengusirnya dari rasa gusar, menghalau kepanikan yang menjadi-jadi, dan yang pastinya membuat tubuhnya terasa jauh lebih hangat.

                Jangan merokok. Aku benci melihatmu merokok.

                Justin Bieber mengangkat kepalanya, langsung terkesiap kaget begitu suara itu bergema di seluruh isi otaknya. Ia menghisap rokoknya sekali lagi, lantas menyelipkannya di antara jari telunjuk dan jari tengahnya ketika suara itu menggema dan jatuh bertubi-tubi dalam pikirannya.

                Aku benci melihatmu merokok, Justin. Jangan lakukan itu lagi.

                Justin Bieber mendesis, memejamkan kedua matanya dan berharap suara itu akan segera menghilang secara magical dalam sebuah lubang kecil di otaknya. Namun suara itu nyatanya masih berada disana, memaksanya untuk berhenti menghisap puntung rokok itu dan menjatuhkannya ke tanah. Justin Bieber menggigit bibir bawahnya saat ia melihat sebuah siluet abstrak dalam pikirannya. Lantas dengan secepat kilat ia membuka matanya dan akhirnya membuang puntung rokok itu ke tanah yang berlapiskan es. Dan seperti sebuah sihir, suara itu akhirnya tak terdengar lagi.
                Justin tau persis siapa pemilik suara itu. Dan ia paling tau pemilik suara itu begitu benci saat ia ketahuan menyulut puntung rokok dan menghisapnya berulang kali. Ia paling tau bahwa pemilik suara itu hanya berusaha untuk melindunginya, berusaha mengingatkannya bahwa kebiasaan buruk itu memang sudah seharusnya dimusnahkan. Dan ia juga tau bahwa pemilik suara itu benar-benar mencintainya, meskipun ia tau bahwa sudah terlambat baginya untuk menyadari.
                Justin mendesah, lalu mengedarkan pandangannya keseluruh penjuru taman yang sudah hampir tak terurus ini. Hawa dingin masih terus mengusiknya ketika ia berusaha untuk mengingat seluruh kejadian yang sering ia lewati di taman ini dulu.

Selamanya akan jadi milik kita, bukan? batinnya.

Justin melenguh dan secara tiba-tiba, otaknya menyalurkan sebuah perintah untuk mengingat semua kenangan itu… Sebuah permainan mengasyikkan yang selalu membuatnya geli. Tangis pertama karena patah hati. Pelukan hangat yang tak pernah dilewati. Janji-janji persahabatan yang tak pernah diingkari. Harapan-harapan baru yang selalu muncul setiap hari. Dan sebuah cinta yang yang muncul tanpa disadari.

                Ia paham betul bahwa tempat ini sudah jauh berubah sejak beberapa tahun lalu. Semenjak ia meninggalkan Wisconsin dan pindah ke sebuah kota pewujud mimpi bernama New York. Ia dalam hati meringis, menyadari betul bahwa seluruh kenangan itu masih tersimpan rapi dalam memorinya.
                Dan kemudian janji-janji itu. Janji persahabatan yang akan selalu diingatnya. Janji bahwa mereka akan selalu bersama selamanya. Janji bahwa mereka akan menaklukkan dunia. Janji bahwa mereka akan saling menjaga apapun kondisinya. Dan juga janji bahwa mereka tak akan pernah jatuh cinta pada akhirnya.
                Namun pada kenyataannya, janji itu memang diingkari, sehingga salah satu diantara mereka merasa dikhianati. Lantas kalau sudah begini Justin bisa apa? Mengulangi kembali seluruh kejadian yang tak akan pernah bisa diulang? Tentu saja jawabannya tidak.

                Karena seperti apapun keadannya, janji memang hanyalah sebuah janji. Dan selamanya pun, janji itu akan selalu diingkari….




--------
Wisconsin, September 2006.
“Kepakkan tanganmu, Tay!” ucap Justin setengah berteriak, “Gerakkan kakimu! Terus kayuh dan tetap tahan napasmu di dalam air!”
                Justin mengigit bibir bawahnya, sementara matanya tertuju lurus pada seseorang yang masih berada di kolam renang, sedang berenang menyeberangi kolam dengan perlahan namun pasti. Justin mulai tersenyum saat seseorang itu sudah hampir mencapai ujung kolam, namun ia mulai menyipitkan matanya ketika seseorang itu  mengangkat tangan dan kepalanya. Lalu menyerukan namanya berulang kali dengan suara yang luar biasa tersengal.
                “JUS-HTIN!” ucap seseorang itu, sukses membuat Justin berlari menuju kolam dan langsung menceburkan dirinya pada air kolam yang terasa dingin. Sempat terbersit rasa cemas dan khawatir saat Justin menyaksikannya hampir tenggelam dan hampir kehabisan napas. Namun Justin dengan professional mengepakkan tangannya di dalam air, lalu meraih seseorang itu dan menariknya sampai ujung kolam.
                “Tayla! Are you okay?” ucap Justin ketika mereka berdua sudah terangkat dari air. Justin yang cemas luar biasa lantas mendudukkannya di pinggiran kolam renang, menyaksikannya hampir kehabisan napas dengan wajah yang merah bukan main.
                “Tayla jawab aku!” ketus Justin, “Apa kau baik-baik saja?”
                Tayla yang masih berada di pangkuan Justin lantas terbatuk, mengeluarkan sedikit air dan mulai memegangi pundak Justin kuat-kuat. Dadanya terasa ngilu dan hidungnya seakan-akan sudah meledak.
                “Tayla!” kata Justin lagi dengan suara sarat kekhawatiran, “Bicaralah!”
                Tayla memegangi pundak Justin sekali lagi, lalu menatapnya. “Dasar sinting!”
                “Ah—syukurlah!” desah Justin, lega karena akhirnya Tayla mampu angkat bicara. “
Kukira kau akan mati!”
                Tayla terbatuk sekali lagi, lalu berusaha menatap Justin dengan tatapannya yang tajam ketika Justin beringsut memeluknya dan menyematkan sebuah senyuman untuknya. “Sahabat macam apa kau sehingga berharap aku mati?!”
                Justin mengerutkan keningnya. “Aku tidak berharap kau mati.” Katanya, “Aku hanya mengira kau akan mati.”
                “Itu sama saja, bodoh!” tandas Tayla, lalu berusaha untuk duduk sambil terus memegangi dadanya yang masih terasa ngilu. “Lagipula harus kubilang berapa kali padamu bahwa aku tidak bisa berenang? Kau tau minggu lalu aku juga tenggelam di tempat yang sama. Kau memang sinting karena kau menyuruhku untuk melakukannya sekali lagi dan akupun hampir mati!”
                Justin tersenyum, lalu mengacak rambut Tayla yang setengah basah asal-asalan. “Terserah saja apa katamu. Yang penting kau selamat!” kata Justin, lalu mencubit kedua pipinya dan menariknya sesuka hati. Tayla mendengus, lalu berusaha melepaskan kedua tangan Justin di pipinya ketika Justin menuntunnya untuk berdiri dan berjalan ke sebuah tempat duduk yang ada di pinggir kolam renang.
               
                Tayla dan Justin memang selalu begini. Mereka selalu bertengkar oleh masalah-masalah kecil,  selalu adu mulut dan saling mengejek, namun pada akhirnya mereka akan kembali dan menyadari bahwa mereka tidak bisa hidup tanpa satu sama lain.
                Mereka memang bersahabat. Persahabatan yang penuh warna itu mereka awali sejak empat belas tahun yang lalu, saat usia mereka masih sama-sama empat tahun di pre-school. Waktu itu Tayla sedang kebingungan di sekolahnya, mencari pasangan untuk diajak bergandengan tangan untuk menyusuri lapangan sekolah karena memang begitulah peraturannya; mereka harus mencari pasangan untuk bergandengan tangan dan tak diperbolehkan pulang jika tidak melakukannya. Dan tanpa diundang, Justin akhirnya datang, dengan giginya yang ompong dan rambut yang berwarna kuning terang. Dengan lugunya Justin mengambil tangan Tayla dan menariknya untuk berjalan menyusuri lapangan sekolah sebelum akhirnya diperbolehkan untuk pulang.    
                Dan semenjak kejadian itu, Tayla selalu menghampiri Justin dan mengajaknya bermain bersama. Mereka mempunyai satu kebiasaan untuk mengunjungi sebuah taman yang ada di dekat sekolah jika kedua orang tua mereka terlambat menjemput. Dan rutinitas itu masih mereka lakukan sampai sekarang, sampai mereka sama-sama berusia delapan  belas tahun dan mulai mengakhiri masa SMA mereka yang menyenangkan.
               
                Tayla terbatuk sekali lagi, lalu mulai mengambil handuk yang berada di sebuah kursi sebelum akhirnya mengusapkannya pada rambutnya yang basah. Ia mengambil sebotol air minum, lalu meneguknya hingga tak bersisa dan kemudian menghampiri Justin.
                “Apa kabar Harvard?” kata Tayla sambil menyipitkan matanya, kemudian duduk di sebelah Justin.
                “Baik-baik saja. Mereka sepertinya sudah tak sabar untuk menyambutku sebagai mahasiswa baru.” Jawab Justin seraya mengedikkan bahu, “Apa kabar Notre Dame?”
                Tayla terkekeh, kemudian melemparkan pandangannya ke kolam renang pribadi milik keluarga Justin sembari memikirkan sesuatu. Sebenarnya saat-saat ini bukanlah saat yang tepat untuk membahas tempat kuliah apa yang akan mereka naungi nanti. Saat ini adalah saat-saat yang tepat bagi mereka untuk menghabiskan waktu sebagai sepasang sahabat—sebelum akhirnya mereka harus berpisah karena Harvard terletak di New York sementara Notre Dame terletak di Indiana.
                “Kau tau bahwa aku membenci perbincangan ini, Justin.” Kata Tayla, lalu mendesah.
                “Kau hanya tidak mau menerima kenyataan bahwa kau harus berpisah denganku,” kata Justin sambil menyengir kuda, “Itu kenyataannya.”
                Tayla memelototinya dengan tatapan sarkastik, lalu menoyor kepala Justin sebelum akhirnya berkata, “Kau juga tidak akan bisa hidup tanpa aku.” Tandasnya, “Aku tak bisa membayangkan hidupmu yang begitu hampa tanpa kehadiran sahabatmu yang paling cantik ini. Selama empat tahun kedepan, tidak akan ada yang bisa membuatmu tertawa lepas. Tidak ada yang akan datang kerumahmu jam tiga pagi hanya untuk sebuah panekuk cokelat. Yaampun—pasti hidupmu luarbiasa hampa tanpa kehadiranku.”
                Justin tergelak seketika, lalu menggelengkan kepalanya saat ia berjalan menuju sisi kolam renang dan mengambil sekotak rokok yang terletak disana.
                “Kau tau aku menyayangimu, Tay,” ucap Justin, lalu menyelipkan sepuntung rokok di bibirnya. “Namun bisakah kau berhenti mengatakan bahwa aku memang tidak bisa hidup tanpamu?”
 “Sudah berapa kali kubilang untuk tidak merokok? Apa gunanya merokok, sih?”
                Justin menyipitkan kedua matanya, lalu berusaha untuk menyalakan pemantik api. “Kenapa kita jadi merubah arah pembicaraan?”
                “Kau yang membuat arah pembicaraan jadi melenceng drastis.” Katanya, “Jangan merokok, aku benci melihatmu merokok.”
                Justin mengangkat kedua alisnya, lalu bersiap untuk membuka mulut ketika ia mendengar ponselnya berdering nyaring. Justin  lantas berjalan menuju sebuah meja yang ada di pinggir kolam, kemudian mengusap ponselnya setelah sebelumnya sempat mengangkat telunjuknya—memberikan tanda untuk Tayla bahwa ia harus diam sejenak.

                “Hallo?” kata Justin, lalu tiga detik kemudian senyumannya merekah. “Scarlett? Oh—hai!”
                Tayla diam-diam memutarkan kedua matanya, langsung mendengus hebat saat Justin tiba-tiba berjalan menjauhinya untuk berbicara dengan Scarlett Montez—mantan flyer dan kapten cheerleader sekolah yang memiliki dada serta bokong yang besar. Justin sudah lama menyukai Scarlett Montez, namun entah mengapa menjelang kelulusan ini mereka baru bisa dekat. Tayla hanya bisa memiringkan senyumnya ketika suatu kali Scarlett diboyong Justin ke markas mereka, dan menghabiskan waktu di markas yang tak lain dan tak bukan adalah taman kesayangan mereka dengan bermanja-manjaan bersama Justin.
                Kalau boleh jujur, dari dalam hatinya yang paling dalam, Tayla sama sekali tidak menyukai Scarlett. Bukan karena dia seorang flyer, dan bukan juga karena bokong dan dadanya yang seksi.
                Tapi karena Scarlett sudah berhasil merebut hati Justin sementara ia masih disini, di tempat yang sama dan sama sekali tak bergerak untuk bisa meraih hati Justin yang tak akan pernah terbuka untuknya.

                “Scarlett bilang apa?” tanya Tayla kemudian mendongak sesudah Justin muncul di hadapannya dengan senyuman dan binaran lain di wajahnya.
                “Dia menerimanya, Tayla!”
                Tayla menegang seketika. “Menerima—apa?”
                “Menerima ajakanku untuk pergi ke prom!” kata Justin setengah berteriak, kemudian ia menjerit histeris dan langsung memeluk tubuh Tayla. Rokok itu sudah hilang entah kemana ketika akhirnya ia berteriak, “Akhirnya mimpiku terwujud juga untuk pergi ke prom bersamanya!”
                Tayla merasakan sesuatu yang menohok ulu jantungnya saat Justin merengkuhnya dan mengguncang-guncangkan tubuhnya. Perasaan ini bukan perasaan pertama yang ia rasakan saat ia harus mendengar nama Scarlett terucap dari bibir Justin. Mungkin ini adalah rasa sesak yang ke seribu karena ia harus memendam perasaan itu. Perasaan cinta, yang entah bagaimana caranya bisa menelusup dan hadir diantara persahabatan mereka.
                “Dan sekarang ia mengajakku untuk pergi ke bioskop. Aku akan bersiap-siap sekarang, karena aku berjanji untuk menjemputnya satu jam lagi.” Sambung Justin ketika ia melepaskan pelukan Tayla.
                Tayla memiringkan senyumnya, lalu mengangguk satu kali. “You better be ready.”
                “I know,” kata Justin, “Kau tidak apa-apa jika harus pulang sendiri ke rumah?”
                “I’ll be fine.” sahut Tayla dengan suara tertahan, “Aku bisa jalan kaki.”
                Justin menarik bibirnya, lalu mengacak rambut Tayla asal-asalan sebelum akhirnya berdiri dan beranjak meninggalkan Tayla.
                “Dan oh—Tayla, kita ke markas, ya, nanti malam? Hitung-hitung untuk  bercerita tentang sesi menontonku dengan Scarlett. Boleh, kan?”
                Tayla mengangguk dua kali, lalu tersenyum mantap. “Of course.”
                “Perfect!” katanya, “I’ll be there at 7! See you, then!”
                Tayla mengangguk sekali lagi, lalu mulai memandangi punggung Justin yang makin lama makin menjauh sebelum akhirnya menghilang di tikungan sebuah pilar. Tayla mendesah, lalu mulai merasakan rasa itu menyebar lagi di dadanya. Perasaan berkecamuk—orang-orang menyebutnya rasa cemburu, yang selalu saja hadir jika ia melihat senyuman itu tersemat di bibir Justin.
                Dan rasanya ia sama sekali tidak bisa menerima bahwa Justin lebih menomorsatukan Scarlett daripada dirinya, yang jelas-jelas sudah berada disini sejak awal. Yang jelas-jelas selalu berada di sisinya dalam semua keadaan yang ditempuh Justin.
Dan yang jelas-jelas mencintainya walaupun Justin sama sekali tak menyadarinya…

                Ia bahagia jika Justin bahagia, namun ia akan lebih bahagia jika dirinyalah alasan dibalik senyuman indah milik Justin. Tapi… melihat Justin bahagia dan tersenyum karena Scarlett kadang-kadang membuatnya pesimis dan memilih untuk mundur. Bukankah semua orang ingin melihat orang yang dicintainya tersenyum karena dirinya sendiri?

-----------
               


Tayla sedang terduduk di kursi taman, sedang asik memilah-milah dan membuka ranselnya yang hampir penuh oleh barang-barang sembari menunggu kedatangan Justin. Ransel itu berisi macam-macam barang penting yang sudah dibawa Tayla kemana-mana. Termasuk salah satu kaset yang berisikan sebuah penuturan dan pengakuan bahwa Tayla mencintai Justin.
                Kaset itu berisikan video amatir yang Tayla rekam sekitar tiga tahun lalu, saat mereka akan menginjakkan kaki di SMA. Video itu hanya berdurasi tiga menit. Menampilkan wajah Tayla yang pias dan berkeringat setelah sebelumnya berlatih ratusan kali di depan cermin. Dan akhirnya dengan segala ketakutan dan sebuah tekad yang bulat, Tayla bisa mengatakan perasaannya pada Justin melalui video itu.
               
                “Hi Justin. It’s Tayla. Yeah—I know its weird, but I have to tell you about this before its too late. Before its really too late.” Ada jeda beberapa detik sebelum akhirnya Tayla menunduk dan menarik nafasnya, lalu mengangkat kepalanya dan menatap lurus kearah kamera.
                “I love you. Kau mungkin akan berkata bahwa aku benar-benar bodoh karena sudah mengatakan ini padamu. Namun aku  juga benar-benar tau bahwa aku memang sudah seharusnya mengatakan ini. Aku tau semua ini terasa salah, dan aku tidak tau sejak kapan perasaan itu mulai muncul dan hadir di tengah-tengah persahabatan kita. Tapi aku yakin bahwa perasaanku ini nyata. Bukan khayalan semata atau sebuah ilusi yang membuatku mendadak buta. Pada kenyataannya aku memang mencintaimu, dan jangan tanyakan apa alasannya karena aku juga tidak tau mengapa.”
                Dan video itu diakhiri dengan sebuah desahan dan senyuman tipis sebelum akhirnya Tayla berkata lagi, “I do really love you.”
               
                Tayla menarik napas panjang, berusaha mengatur napasnya yang mendadak terasa tak karuan begitu memorinya berputar dan jatuh pada video itu. Video yang seharusnya sudah ia berikan pada Justin sejak tiga tahun yang lalu, namun masih tetap membeku di dalam sela ranselnya yang ia sembunyikan rapat-rapat. Tayla sudah berusaha keras untuk memberikan video itu pada Justin pada waktu-waktu yang tepat, namun Tayla selalu gagal dan tak pernah mau mengumpulkan keberanian untuk memberikannya pada Justin.

                Tayla tau semua ini salah. Tayla tau bahwa semua ini seharusnya tak pernah terjadi. Dan ia paham betul bahwa mencintai Justin bukanlah sebuah pilihan yang tepat jika mengingat Justin adalah sahabat terbaiknya. Sahabat yang sudah menemaninya selama empat belas tahun terakhir, seorang sahabat yang tak akan pernah menjadi kekasihnya…
               
                “Hi Tayla!”
                Tayla hampir meloncat dan melemparkan kaset yang ada di tangannya ketika suara itu menyeruak di sebelahnya, menampilkan Justin yang tampak terengah-engah dan langsung duduk di sebelahnya. Tayla menarik napas dalam-dalam, lalu segera memasukkan video itu ke dalam ranselnya—satu-satunya benda yang bisa ia raih dalam jengkalan jari.
                “Are you okay, Tay?
                Tayla meneguk ludah. “I’m absolutely fine.”
                Justin mengangguk, lalu tanpa menyimpan rasa curiga secuilpun, Justin langsung tersenyum lebar pada Tayla. “I kissed her.”
                Tayla mendadak membelalakkan matanya, hampir tersedak oleh air liurnya sendiri. “You—what?!”
                “Yeah—aku menciumnya. Tepat di depan halaman sebelum dia memasuki rumah. Dan itu… French kiss. Geez, Tayla! Dia benar-benar pencium yang handal!”
                Tayla mengerjapkan mata, merasakan sesuatu telah berdiri hebat di sekitar tengkuknya, bereaksi seperti sengatan listrik ketika jantungnya seakan-akan memacu darah dua kali lebih cepat daripada biasanya. Dadanya seakan-akan menyempit, bergelenyar dan membuatnya kesulitan bernapas, namun bibirnya tetap berusaha untuk menyunggingkan senyuman tipis untuk Justin.
                “Congratulation,” kata Tayla, suaranya benar-benar terjepit sehingga terdengar seperti bisikan lirih. “Kau memang pantas mendapatkan ciuman itu.”
                “Haha! I know.” Kata Justin, lalu berdalih dan memandangi langit di luar sana yang tampak gelap dan ditaburi bintang-bintang. “Ini bukan ciuman pertamaku. Tapi entah mengapa aku merasa bahwa dia benar-benar mencintaiku, Tay.”
                Tayla menggigit bibir bawahnya, berusaha mati-matian menahan setitik air mata yang bermuara di sudut matanya. “Dia pasti menciummu dengan panas.” 
                “Emh—dia memang panas.” Katanya, lalu tertawa kecil. “Sekali-kali kau harus mencium seorang pria, Tay. Kau pasti akan merasa bahwa duniamu jungkir balik tidak karuan. Ciumlah Freddie atau Chris, aku yakin mereka ingin menciummu juga.”
                Tayla berusaha untuk tertawa saat Justin memandangnya dengan tatapan jenaka. Namun yang bisa dilakukannya hanya tersenyum masam, lalu mati-matian menyembunyikan matanya yang berair untuk tidak menetes. Ia memang belum pernah mencium pria sebelumnya, karena satu-satunya pria yang ingin diciumnya hanyalah Justin. Hanya Justin seorang.
                “Omong-omong soal Scarlett, aku juga ingin bilang padamu bahwa aku sudah menyewa limosin untuk pergi ke prom,” kata Justin, lalu beranjak dari kursinya dan duduk di rerumputan taman—yang dilanjutkan dengan tiduran seenaknya disana.
                Tayla mengikuti kegiatannya, berbaring persis di sebelah Justin. “Kedengarannya menyenangkan.” Katanya, sedikit bersyukur karena sejumput air mata yang ada di sudut matanya sudah menyusut.
                “Kedengarannya lebih dari menyenangkan,” kata Justin, lalu mengambil sepuntung rokok dari saku kemejanya dan menyalakannya dengan pemantik api. Tayla memutarkan kedua bola matanya keatas, lalu mengambil puntung rokok itu dan mematikannya di rumput yang segar.
                “Hey, apa-apaan?!” kata Justin protes.
                “Aku benci melihatmu merokok.”
                “Oh—come on, Tay!”
                “Apa? Aku sudah bilang padamu untuk berhenti merokok, kan? Merokok itu sama sekali tidak berguna. Aku benci melihatmu merokok.”
                Justin mengernyit, lalu mendesah ringan. “Kau daridulu selalu seperti ini. Kau lebih terdengar seperti ibuku, kau tau? Padahal ibuku juga tidak terlalu mempermasalahkannya.”
                Kali ini Tayla tersenyum. “Aku hanya ingin yang terbaik untukmu.”
                “Oh. Whatever.”

                Dan kemudian hening. Yang terdengar hanyalah suara deru mobil yang ada di kejauhan, lalu suara jangkrik yang mengikik bersautan. Kedua sahabat itu memandang keatas, ke sebuah langit malam yang bertaburan bintang dengan bibir yang saling mengatup rapat. Mereka daridulu memang sering melakukan hal ini—memandangi langit malam di markas kesayangan. Dan entah mengapa, walaupun mereka memang sering bertengkar untuk hal-hal yang kecil, mereka akan selalu berbaikan dalam waktu yang bisa dibilang berdekatan.
                “Justin?”
                “Mm.”
                “Kau masih ingat janji persahabatan kita beberapa tahun yang lalu disini?”
                Perkataan Tayla membuat Justin menoleh, lalu segera menatapnya yang saat ini masih memfokuskan pandangan ke langit yang gelap. “Janji bahwa kita akan selalu bersama selamanya? Janji bahwa kita akan menaklukkan dunia dan saling menjaga apapun kondisinya? Juga janji bahwa kita tak akan pernah jatuh cinta pada akhirnya?”
                Tayla ikut-ikutan menoleh, lalu mengangguk samar. “Kupikir kau sudah melupakannya.”
                “Aku tidak mungkin melupakan janji persahabatan kita.”
                Tayla tersenyum, lalu meletakkan kepalanya di pundak Justin sementara matanya menerawang jauh ke langit yang tak berujung. “Selamanya akan jadi milik kita, bukan?”
                Tayla bisa mendengarnya terkekeh kecil, dan tanpa melihatpun, ia juga tau bahwa saat ini Justin sedang menyematkan sebuah senyuman. “Ya. Selamanya akan jadi milik kita.” Katanya.
                Tayla tersenyum, lalu merasakan bahwa ada sesuatu yang saat ini sedang menyelimuti tangannya. Itu tangan Justin. Tangan Justin sedang menggenggam tangannya, dan meremasnya dengan lembut. Kalau Tayla bisa, rasanya ia ingin suasana ini membeku begitu saja—membiarkan kepalanya terkulai bebas di pundak Justin, membiarkan tangannya di genggam secara gamblang olehnya…
 Tayla tersenyum kecil, lantas menutup kedua matanya, mengubur hidungnya di pundak Justin, membuatnya bisa mencium aromanya yang lembut.

 Kau tidak tau bahwa aku sudah mengingkari janji itu, Justin. Ya, karena pada akhirnya aku jatuh cinta padamu.
               
                Tayla tau betul bahwa selamanya ia tidak bisa memiliki Justin. Namun dengan cara seperti ini… ia yakin bahwa semuanya akan berjalan dengan baik-baik saja. Dan ia juga yakin—yakin seratus persen, bahwa selamanya Justin akan tetap menjadi miliknya.



---------
                Pesta dansa SMA Saint Regina tahun ini memang benar-benar megah dan meriah.
                Mengusung tema red carpet, semua siswa tampak tampil dengan anggun dan menawan. Hampir semua siswa menggandeng pasangan mereka masing-masing, dan juga menyewa sebuah limosin untuk acara yang hanya bisa dirasakan sekali seumur hidup itu. Tayla datang bersama Adam Wiskosnov—salah satu temannya yang berdarah Rusia karena kebetulan Adam  juga tidak bisa menemukan teman kencannya. Sementara Justin datang bersama Scarlett, menggunakan limosin, dan  mereka berdua benar-benar terlihat seperti selebriti sungguhan saat menjejakkan kaki di red carpet.
                Tayla hanya mengenakan blus gaya vintage warna biru muda yang dibungkus dengan cardigan warna biru tua, juga tatanan rambut yang diikat sederhana. Sedangkan Scarlett—ia tampil dengan sepatu hak tinggi keluaran baru dari Louis Vuitton, yang dipadupadankan dengan gaun mewah rancangan Sherri Hill. Ia memang benar-benar seorang selebriti—paling tidak, untuk malam ini saja. Tayla jadi ingat pertemuan memalukannya beberapa hari lalu dengan Scarlett di salah satu mall di pusat kota Wisconsin. Tayla yang saat itu sedang membuka-buka isi ranselnya tiba-tiba saja harus menabrak seseorang karena tidak melihat ke depan—dan orang itu adalah Scarlett. Tadinya ia memang sedang mengaduk habis isi tasnya karena tidak bisa menemukan ponselnya yang kala itu berbunyi nyaring. Namun sesaat setelah ia menabrak Scarlett, jadilah seluruh barangnya tercecer di lantai.
                “Maaf,” kata Tayla waktu itu, tangannya dengan cekatan mengambil beberapa barang yang tercecer.
                “It’s okay.”  Scarlett menjawab, lalu berusaha membantu Tayla memunguti barang-barangnya.
                Mereka tidak banyak berbicara kala itu, karena Tayla tau bahwa sebenarnya Scarlett tidak terlalu suka padanya—hanya karena ia adalah sahabat Justin. Namun setelah selesai memasukkan barang-barang Tayla ke dalam ransel, Scarlett sempat mengangguk kecil dan Tayla membalasnya dengan ucapan terimakasih yang bertubi-tubi. 

                Dan sekarang, Tayla bisa melihat jelas bahwa Scarlett tengah berada di lantai dansa bersama Justin. Mereka berdansa sambil tertawa lepas—dengan kedua tangan Justin yang dilingkarkan di pinggangnya dan terkadang turun nakal sampai bokongnya. Tayla mendengus, lalu menoleh dan menatap kearah Adam yang saat ini tengah membaca salah satu novel karya John C. Maxwell. Tayla tau persis bahwa Adam tidak akan pernah mau memboyongnya ke lantai dansa dan mengajaknya menari disana. Tayla sudah cukup beruntung karena Adam mau menyewa mobil Volvo keluaran tahun 1979 hanya untuk menjemputnya malam ini.  Dan ia juga cukup beruntung bahwa akhirnya ada satu pria yang bisa diajaknya ke prom, walaupun orang itu adalah kutu buku yang jelek layaknya Adam Wiskosnov sekalipun.

                “SAATNYA PENGUMUMAN UNTUK RAJA DAN RATU PROM!”
                Tiba-tiba saja musik berhenti mengalun, digantikan oleh suara Agatha Gerald—salah satu siswa junior yang menjadi pembawa acara pada malam hari ini. Tayla melayangkan pandangannya lagi pada Justin dan Scarlett yang secara tiba-tiba melepaskan kaitan tubuh mereka, dan langsung menghadap kearah panggung yang ditata sedemikian gemerlap. Tanpa harus melihat kearah Adam yang masih membaca bukupun, Tayla sudah berdiri dan memboyong dirinya sendiri untuk ikut-ikutan maju dan menjadi saksi resmi atas siapa raja dan ratu prom tahun ini. Dalam hati, ia berseru sebegitu nyaring serta yakin seratus persen bahwa Raja Prom tahun ini adalah sahabatnya—Justin Drew Bieber, yang selama tiga tahun berturut-turut menjabat sebagai kapten basket sekolah dan digandrungi gadis-gadis. Tayla yakin semua gadis telah menuliskan nama Justin untuk dinobatkan sebagai Raja Prom malam ini. Namun Tayla masih ambigu akan siapa yang akan dinobatkan sebagai Ratu Prom. Ia sama sekali tidak bisa memilih siapa yang akan menjadi pasangan Justin karena ia selalu berharap bahwa dialah yang akan mendampinginya. Namun semua itu mustahil, mengingat bahwa Tayla bukanlah siswa populer dan bukan kapten cheerleader yang berdada montok dan berbokong seksi. Ia hanya bersahabat dengan pria tampan yang menjadi sorotan seantero sekolah, hingga namanya pun kerap kali terangkat bila hal itu mengungkit nama Justin.

                “Kalian semua sudah menuliskan dan memilih siapa yang pantas menjadi Raja dan Ratu Prom malam ini. Dan setelah menghitung banyaknya suara, kami telah memutuskan siapa yang berhak menjadi Raja dan Ratu Prom!” kata Agatha penuh semangat, dan semua siswa sedetik kemudian bersorak, tak sabar menunggu siapa yang akan menjadi Raja dan Ratu Prom.
                “AND THE KING OF TONIGHT’S PROM IS…..” Agatha sengaja menggantungkan perkataannya ketika semua orang mengatupkan bibirnya. “THE ONE AND ONLY, JUSTIN BIEBER!”
                Semua orang bersorak dan memekikkan nama Justin, tak urung Tayla yang ikut-ikutan menyerukan namanya. Justin yang tampak begitu sempurna dalam balutan tuksedo lantas maju keatas panggung, dan tersenyum bagi siapa saja yang dilihatnya—termasuk Tayla, Justin sempat mengedipkan satu mata kearahnya.
                “Kira-kira, siapa ya yang akan mendampingi Justin?” Agatha angkat bicara lagi, sukses membuat kerumunan mendadak diam. “The queen of tonight’s prom is…,” Agatha membuka amplop, lalu senyuman lebarnya merekah begitu saja. “SCARLETT NIC MONTEZ!”
                Tayla melenguh.
Benar-benar pasangan yang cocok, batinnya sengit. Tayla agak sedikit menyunggingkan senyum kecut ketika Scarlett naik keatas panggung, dan ia langsung memeluk Justin saat sudah benar-benar berada diatasnya.
 Kapten basket dan kapten cheerleader, dengus Tayla, lalu memutarkan kedua bola matanya dan kembali melanjutkan, seperti tidak ada wanita yang lebih dari Scarlett saja.
                “Dan marilah kita berikan waktu bagi mereka untuk berdansa bersama di lantai dansa! Ingat, ya! Hanya boleh mereka yang berdansa!”
                Tayla segera berjalan menjauh ketika kerumunan membelah, menyisakan Scarlett dan Justin yang sudah dimahkotai oleh mahkota plastik di lantai dansa. Ia agak sedikit menjinjit saat beberapa orang yang kelewat bongsor menutupi pandangannya. Dan ketika musik pelan nun romantis tengah mengalun, Tayla merasa bahwa saat itu juga hatinya berdenyut ngilu. Disana ia melihat Scarlett dan Justin, berdansa dengan penuh kemesraan dan keintiman yang nyata di lantai dansa. Justin memegangi pinggul Scarlett, lalu menggeranyangi punggungnya ketika Scarlett meletakkan kepalanya di bahu Justin. Tayla merasa hatinya mencelos, seakan-akan hatinya kebas dalam sekali libas.

Ia ingin berada di lantai dansa itu, bersama Justin yang mencintainya.

Tayla berusaha mengatur napasnya yang naik turun tidak karuan, seakan-akan pundi-pundi parunya menyempit dan tidak dapat menghirup oksigen lagi. Saat musik yang mengiringi Justin dan Scarlett hampir berhenti mengalun, Tayla bisa merasakan bahwa ia memegangi dadanya sendiri karena pada saat itu juga Justin mencium Scarlett, tepat di bibir, tepat di depan khalayak banyak. Semua orang bersorak, bahagia karena melihat dua anak populer yang mereka pilih sebagai Raja dan Ratu Prom sedang berciuman layaknya pecinta yang dimabuk asmara.
                Tayla menggigit bibirnya, lalu segera saja pergi darisana sebelum kesakitannya bertambah banyak dan makin menjadi-jadi. Ia sudah tidak sanggup melihat Justin dan Scarlett. Ia tidak sanggup merelakan Justin jatuh ke tangan Scarlett. Ia tidak sanggup jika sahabatnya yang dicintai akan meninggalkannya untuk gadis lain...
                Ia tidak bisa merelakan Justin…

                “Attention, senior!” suara Agatha Gerald kembali terdengar saat Tayla sudah ada di sebelah Adam yang masih asyik membaca, lalu menegak minuman soda berwarna kuning kemerahan yang disediakan. Ia berusaha mabuk dan lupa akan kejadian di lantai dansa sepuluh menit yang lalu, padahal minuman itu sama sekali tidak beralkohol. Suara gemuruh siswa-siswa akibat ciuman panas Justin dan Scarlett terpaksa berhenti ketika Agatha mengambil mikrofon dan kembali mengambil alih.
                “Kita punya tayangan menarik dari sang Ratu Prom. Ternyata Scarlett sudah repot-repot mau membuat sebuah video perpisahan untuk kita semua!”
                Kening Tayla berkerut seiring dengan alis semua siswa yang melengkung naik. Mereka semua tau betul bahwa Scarlett sama sekali tidak bisa mengoperasikan komputer dengan baik, apalagi sampai bisa membuat sebuah video yang layak dipertontonkan. Video perpisahan yang lumayan susah dibuat tentunya patut dipertanyakan.
                “Silakan menyaksikaaaaan!” kata Agatha ceria, lalu semua mata tertuju pada layar proyeksi yang ada di sebelah panggung, termasuk mata Justin, Tayla, dan tentunya mata kehijauan milik Scarlett.

                Sempat ada jeda beberapa detik sebelum video itu berjalan dan seseorang dengan wajah yang pias dan luarbiasa pucat mengisi layar proyeksi yang lebar.
                Tayla membulatkan kedua matanya lebar-lebar. Ya Tuhan. Ia… ia tau persis dimana video ini pernah diambil… Ia… tau persis siapa yang akhirnya berbicara dalam video amatir tersebut. Dan video itu jelas-jelas bukan sebuah video perpisahan yang dibuat oleh Scarlett.

                “Hi Justin. It’s Tayla. Yeah—I know its weird, but I have to tell you about this before its too late. Before its really too late.”    
Tayla merasa bahwa saat itu juga setetes keringat tengah mengaliri leher hingga ke punggungnya, hingga semuanya terasa bagai sengatan listrik saat semua orang berbisik dan tak sedikit pula yang melongo saat melihatnya. Video itu… adalah video amatir yang selalu tersimpan di dalam ranselnya… Video itu adalah video yang menyatakan perasaannya tentang Justin…

“I love you. Kau mungkin akan berkata bahwa aku benar-benar bodoh karena sudah mengatakan ini padamu. Namun aku  juga benar-benar tau bahwa aku memang sudah seharusnya mengatakan ini. Aku tau semua ini terasa salah, dan aku tidak tau sejak kapan perasaan itu mulai muncul dan hadir di tengah-tengah persahabatan kita. Tapi aku yakin bahwa perasaanku ini nyata. Bukan khayalan semata atau sebuah ilusi yang membuatku mendadak buta. Pada kenyataannya aku memang mencintaimu, dan jangan tanyakan apa alasannya karena aku juga tidak tau mengapa.”
               
Semua orang terperangah, tak terkecuali Justin yang saat ini masih bergandengan dengan erat bersama Scarlett di lantai dansa. Tayla yakin saat ini semua orang tengah memandangnya, membisikkan sesuatu yang buruk dengan lawan bicara yang lain. Tayla merasa bahwa tiba-tiba matanya panas, dan sudut matanya sudah bermuara dan sudah bersiap untuk mengeluarkan setitik air mata ketika video itu akhirnya diakhiri dengan perkataan, “I do really love you.”
Dan kemudian semuanya gelap.

Setelah itu, suara benar-benar hampir tidak terdengar kecuali bunyi bisikkan superlirih dari berbagai sumber. Mereka semua sedang membahas dan membicarakan satu hal sesudah selesai menyaksikan video itu; Tayla Victory Mason, jatuh cinta pada sahabatnya sendiri.
               
                Tayla menggigit bibir bawahnya, sama sekali tidak bisa berbohong bahwa hatinya kali ini benar-benar terasa perih. Bagaimana video itu bisa ada disana? Bagaimana video itu bisa ada di acara prom ini? Dan bagaimana caranya video itu bisa keluar dari dalam ranselnya yang selalu ia tutup rapat-rapat? Pertanyaan itu memburunya bertubi-tubi, hingga akhirnya kerumunan membelah dan menciptakan sebuah ruang bagi Justin sehingga ia bisa melihat Tayla yang saat ini tengah terisak. Tayla menatap Justin yang menatapnya dengan tatapan luarbiasa tidak percaya, lalu pandangannya jatuh pada Scarlett dengan senyuman licik yang tersemat disana. Dan pada saat itu pulalah Tayla menemukan jawabannya. Dan pada saat itu pulalah Tayla sadar bahwa selama ini dirinya dijebak… Dijebak oleh seorang Scarlett Montez yang mencuri kasetnya saat mereka bertabrakan di mall tempo hari.
                Tayla merasa hatinya kebas. Rahasianya sudah terbongkar… Ia sudah mengingkari janjinya bersama Justin…

                Justin yang ada di lantai dansa lantas menatap Tayla dengan sebuah siratan yang selama ini tak pernah ditunjukkannya. Tayla tengah menangis… pundaknya naik turun, dan hal itu sukses membuat Justin ingin memeluknya saat itu juga. Tapi ia tidak melakukannya.
 Ia hanya berdiam diri disana, memandangi Tayla dengan tatapan yang sama seperti orang banyak. Ia hanya berdiam diri disana, menyaksikan sahabatnya sedang mengalami sebuah kejadian yang membuatnya hancur, hanya karena ia jatuh cinta padanya.

                Justin tidak pernah menyangka bahwa persahabatan yang sudah dibinanya bersama Tayla selama lebih dari sepuluh tahun harus diakhiri dengan Tayla yang pada akhirnya jatuh cinta padanya. Ia sama sekali tidak tau bahwa Tayla mencintainya… Bahwa Tayla sudah menyimpan perasaan itu selama bertahun-tahun… Bahwa Tayla mengingkari janjinya, karena pada akhirnya ia jatuh cinta pada Justin.

                Justin masih memandangi Tayla, tak bergerak dan tak bergeming ketika gadis itu menatapnya dan menggeleng kearahnya. Ia tampak hancur… Justin menggigit bibir bawahnya, lalu merasa bahwa jantungnya berdenyut tiga kali lebih cepat dari biasanya, dan ada sebuah rasa sakit yang bergelenyar aneh di dadanya.
Lalu kembali, Justin mengingatkan dirinya sendiri dalam hati,
 Tayla mencintaiku….

                Justin mendadak terkesiap kaget saat gadis itu tiba-tiba saja menghapus air mata yang jatuh di kedua celah pipinya, tak mempedulikan ratusan pasang mata yang memandangnya dan membicarakannya mati-matian. Tayla akhirnya menyerah dan memutuskan untuk mundur, memutuskan untuk berbalik, dan kemudian berlari keluar dari ruangan yang langsung sunyi setelah Tayla menghilang dari pandangan semua orang.
                Justin menggigit bibir bawahnya sekali lagi, sama sekali tidak berusaha untuk mengejar dan memanggil nama Tayla. Ia justru membiarkannya pergi.

                Dan saat itu pulalah Justin sadar, bahwa detik itu juga ia telah kehilangan separuh hidupnya. Bahwa detik itu juga ia telah kehilangan seorang sahabat yang paling disayanginya. Bahwa detik itu juga ia telah kehilangan Tayla..., sahabatnya yang selalu ada untuknya.
                Justin menunduk, lalu merasakan bahwa hatinya ngilu saat kejadian beberapa minggu lalu kembali terekam ulang di benaknya. Saat ia dan Tayla berada di taman, memandangi langit yang tampak gelap dan tertidur hingga pagi menjelang. Suara Tayla bergema dalam otaknya, selalu jatuh bertubi-tubi dalam otaknya ketika ia melepaskan genggaman Scarlett dan memutuskan untuk meninggalkan pesta.  Suara Tayla masih ada dan akan terus ada dalam benak Justin ketika ia sudah keluar dari ruangan, merasakan bahwa ia menangis untuk dirinya sendiri….

                “Selamanya akan jadi milik kita, bukan?                                                 “
                “Ya. Selamanya akan jadi milik kita.”
               


------
Wisconsin, Januari 2013
                Justin merasa ngilu saat memorinya berhenti berputar pada malam pesta dansa tujuh tahun lalu, saat ia tau bahwa sahabatnya sendiri justru mencintainya. Ia ingat betul bahwa saat itu dirinya menangis, merasakan kesakitan yang luarbiasa karena ia harus menyakiti orang yang dicintainya. Bahwa ia harus menyakiti Tayla, yang sampai sekarang sama sekali tidak ada kabarnya.
                Sesudah malam pesta dansa, Tayla tidak pernah terlihat lagi. Justin sudah berusaha menghubunginya dan datang ke rumahnya, namun Tayla tidak pernah ada sampai hari kelulusan mereka dari SMA Saint Regina diadakan. Tayla melewatkan hari kelulusannya, dan ia juga baru mendengar kabar bahwa Tayla melewatkan kesempatannya untuk bersekolah di Notre Dame, lebih memilih untuk pindah ke Roma dan menjadi sukarelawan disana.
                Justin merasa dunianya hancur saat itu, karena ia telah kehilangan orang yang paling berharga dari hidupnya. Justin bahkan sempat berpikir bahwa Tayla sekarang membencinya, sehingga tak mau lagi melihat wajahnya barang satu kali. Hidupnya terasa hampa tanpa Tayla, tanpa lelucon dan celetukannya yang menggelitik, tanpa nasihatnya yang galak untuk berhenti merokok, dan untuk kecupan-kecupan kecil di pipinya ketika ia sedang merajuk…

                Justin memejamkan mata, lalu membayangkan sosok itu dalam bayangan imajiner di otaknya. Rupanya sudah tujuh tahun semenjak gadis itu pergi dari kehidupannya. Rupanya sudah tujuh tahun ia merasa dunianya kosong dan hampa. Rupanya sudah tujuh tahun ia kehilangan separuh hatinya. Dan rupanya butuh beberapa tahun baginya untuk menyadari bahwa dirinya sendiri justru lebih mencintai Tayla.
                Justin tidak tau kapan tepatnya ketika ia menyadari bahwa sebenarnya ia tidak bisa melanjutkan hidup tanpa Tayla. Berada di tengah hiruk pikuk kota New York justru membuatnya yakin bahwa sedari dulu ia memang mencintai Tayla, bahwa yang selalu ada di hatinya hanya Tayla. Dan sekarang, ia kembali lagi ke kota ini. Ia kembali lagi ke kota yang menyimpan seluruh kenangannya bersama Tayla. Ia kembali lagi dan duduk di markasnya, merasakan bahwa kursi sempit di taman ini sudah usang dengan cat yang hampir mengelupas ngeri.

                Ya Tuhan. Betapa berharapnya Justin untuk bisa melihat Tayla walaupun hanya sekali…


                “Kau membuang puntung rokokmu.”
                Suara itu berhasil membuat Justin mendongak, menemukan seorang wanita yang sedang berdiri didekatnya, tengah menyematkan sebuah senyuman manis untuknya.
                “Excuse me?”
                “Kau membuang puntung rokokmu. Berhasil berhenti jadi perokok, huh?”
                Justin mengerjapkan matanya. Apakah ia mengenal orang ini?  Wanita ini tampak asing dengan rambut sebahu dan rambut berwarna cokelat terang, dan juga setelan musim dingin yang terlalu gelap. Justin berusaha menatap mata wanita itu ketika wanita itu menyunggingkan senyum. Dan detik itu juga, Justin menegang, merasakan bahwa seluruh tubuhnya benar-benar mati rasa ketika sadar bahwa ia berhasil menemukan wanita itu lagi. Wanita dengan bola mata hijau dan senyuman paling indah dan yang paling dirindukannya.
                “Tayla.” Kata Justin, lebih tepat untuk dirinya sendiri.
                Tayla mengangguk, lalu duduk di sebelah Justin dan kemudian menatapnya. “Jangan merokok lagi. Aku benci melihatmu merokok.”
                Napas Justin naik turun tidak karuan. Gadis itu… ada disini, bagaimana caranya? Banyak yang ingin disampaikannya pada Tayla, banyak yang ingin dikatakannya untuk Tayla karena sudah tujuh tahun tidak bertemu. Tapi mulut Justin seakan terkunci, menutup rapat-rapat ketika menyadari bahwa gadis itu memang benar-benar gadisnya. Bagaimana ia bisa berada disini?
                “Rupanya sudah tujuh tahun, ya?” kata Tayla, lalu kembali menatap Justin, “Kau banyak berubah.”
                Justin akhirnya tersenyum. “Dan kau juga.”  Katanya, lalu ikut memandangi Tayla yang terlihat lebih dewasa dengan tatanan rambut sebahu dan wajah yang luarbiasa cantik.
                “Aku tidak pernah menyangka jika aku harus melewatkan masa mudaku tanpamu, Mr. Bieber. Aku jadi tidak sempat melihatmu yang berusaha mati-matian menumbuhkan kumis.”
                Justin membuka mulutnya, lalu bibirnya menyungging sempurna. Hatinya merasa lega sekaligus bahagia yang tiada tara. Ia bahagia bisa melihat Tayla berada di sampingnya, lagi.
                “Tayla, soal tujuh tahun lalu di malam pesta dansa—aku benar benar minta ma—“
                “Sssssh.” Tiba-tiba Tayla memotong, meletakkan telunjuknya di bibir Justin. “Lupakan saja, ya?”
                Justin merasa tubuhnya beku saat tiba-tiba saja Tayla menyentuhnya, menghentikan perkataannya sekaligus menghentikan detak jantungnya.

                “Kau tidak perlu berkata apa-apa,” kata Tayla, lalu mendekat kearah Justin. “Aku masih sahabatmu.”

                Justin tersenyum kecil ketika Tayla melepaskan telunjuknya di bibir Justin, lalu tangannya berpindah ke tangan Justin yang ada diatas paha. Tayla mengambil tangan itu, meremasnya dengan lembut—menyalurkan kehangatan tubuhnya pada tubuh Justin. Tayla tidak berkata apa-apa saat dia dengan leluasa meletakkan kepalanya di pundak Justin, membuat Justin yang ada di sebelahnya langsung menegang namun tetap membiarkannya.
                “Aku masih sahabatmu.” Kata Tayla, sedikit berbisik dan tersenyum ketika akhirnya ia melanjutkan, “Selamanya akan jadi milik kita, bukan?”
                Justin mengerjapkan mata, lalu merasa bahwa hatinya benar-benar damai ketika Tayla meremas tangannya dan kepalanya terkulai bebas di pundaknya. Semua ini sama seperti dulu—ketika mereka dengan leluasa bersentuhan sebagai sahabat. Ketika mereka masih bisa adu mulut dan bertengkar, namun pada akhirnya menyadari bahwa mereka tidak bisa hidup tanpa satu sama lain.

Justin tau persis bahwa semua ini terjadi bukan tanpa alasan. Semua ini diatur oleh Seseorang yang selama ini tak kasat mata, namun tetap mengikuti gerak-geriknya. Tayla hadir disini bukan tanpa alasan. Ia hadir disini karena Seseorang itu menginginkannya untuk bisa bersama Tayla sekali lagi.

                Dan kemudian, Justin tersenyum. Diletakannya kepalanya diatas kepala Tayla, lalu tangannya meremas tangan Tayla ketika ia mengecup puncak kepalanya dan berkata,

                “Ya. Selamanya akan jadi milik kita.”


THE END