Senin, 24 Juli 2017

Kepala Dua


Senin, 24 Juli 2017.

            Seperti biasanya, seperti tahun-tahun sebelumnya, aku selalu menuliskan apa yang aku rasakan satu hari sebelum aku ulang tahun. Tomorrow is my birthday. I’m turning 20 tomorrow (actually in an hour though :p) It’s a bit scary, isn’t it? Nggak ada embel-embel teen lagi di belakang umurku. Bukan fifteen, sixteen, or nineteen. Its twenty. It’s a freaking TWENTY.
            Aku bukan remaja lagi. Bukan anak labil yang masih pake baju SMA. Bukan orang yang patut disebut anak-anak. Bukan anak kecil lagi. And I would like to say that 20 is a “tanggung” age. Tanggung banget lah. Bayangin aja, kita disebut menginjak fase adulthood when we turn 21. Then the last year of a teenager phase is 19. Dan 20 ada di tengah-tengahnya, kita nggak bisa lagi dibilang remaja dan juga nggak bisa dibilang orang dewasa. Usia tanggung. Usia yang probably confusing for some people.
            But well... usia 19 menurutku adalah usia yang cukup menarik. Sudah satu tahun menyandang usia ini. And it gone really well. Aku banyak banget belajar tentang diriku sendiri. Seriously, I’m getting to know myself so much more. What I like, what I dislike, what makes me sad, what makes me happy, and what I want in life. Aku makin berambisi, makin gigih untuk ngejar cita-cita, dan aku juga makin tau sebenarnya aku pengen kemana.
            19 tahun adalah usia dimana aku tau bahwa... kita nggak bisa dapetin semua yang kita mau. Kita nggak bisa menghitung berkat orang lain dan membandingkan berkat yang kita dapet. My 19 year old-self might not be as exciting as my 18 year old-self. But I guess that’s a part of growing up.
I’d like to say myself as a tough girl, but damn I also struggle in love. I learned the hard way that once I put my heart and my soul on someone, it is SO FUCKING HARD to get rid of the feeling. I love hard. And I dont know if its good or a bad thing. But the past 1 year has been taught me that loving too much can cause a big freaking damage to myself.

Aku bergabung dengan organisasi yang bagus dan krusial di kampus. Waktuku banyak tersita. Tapi aku merasa jadi manusia yang lebih kritis dan mau melihat situasi dari berbagai perspektif. I’m trying to enjoy all of this. Even it is a big responsibility, I’m still trying to get in the midst of this chaos.
Aku mulai tahu mana teman-temanku yang sebenarnya. Mana teman yang setia, mana teman yang dateng cuma pas butuhnya aja, dan mana teman yang sebenarnya suka nusuk dari belakang. I also learned that who we are is who we surround ourself. Aku sudah ada di lingkaran teman yang negatif selama 4 semester, dan aku nggak mau mengulangi itu lagi di semester yang baru.
Aku masih kesulitan untuk melupakan kejadian-kejadian yang sebenarnya patut untuk dilupakan. Aku masih merasa sulit untuk mengampuni. Aku masih merasa bahwa egoisme yang ada di diriku bisa menghancurkan segalanya. Dan aku masih belum bisa mengontrol emosi. Aku masih hobi mengingat dan membuka luka lama. Aku kadang masih suka menyakiti diriku sendiri dengan nggak mau mengampuni diriku sendiri.
Aku juga belajar bahwa happiness is state of mind. Nggak perlu lah cita-cita bahagia, sebenarnya bahagia itu kita sendiri yang ciptain. Definisi bahagia itu bisa sesederhana nonton di bioskop sendirian, atau makan es krim, atau sekedar hang out dengan orang-orang yang kita cintai. Percaya deh, it might sound bullshit. Tapi coba kejar kebahagiaan dari sisi-nya yang paling sederhana dulu.
Aku baru mengetahui bahwa aku punya anxiety illness di usia 19 tahun ini. Satu bulan lalu aku diserang anxiety attack pertamaku. Trust me, it was horrible. It was like you’re going to die right away. But I also learned that Papa Jesus selalu ada buat aku. Disaat aku punya krisis kepercayaan, aku cuma punya satu pribadi yang selalu aku andalkan dan nggak akan pernah ninggalin aku gimanapun keadaanku. Dia adalah satu-satunya pribadi yang aku percaya. Dan aku percaya bahwa  Dia nggak akan pernah mengecewakanku.
Tiga hari menjelang ulang tahunku, aku menemukan sesuatu yang nggak pengen aku temukan. Sesuatu yang mungkin bisa menghancurkan aku. Sesuatu yang mungkin akan merusak. Sesuatu yang berpotensial untuk menghancurkan segalanya. I’ve been crying a lot these past 3 days. I’ve been thinking a lot, and I barely slept. Aku juga masih belum tau bagaimana harus bersikap, atau bagaimana harus menangani ini. Mungkin ini adalah sebuah pembelajaran dan langkah pertama untuk jadi dewasa.
Dua dekade untuk seorang Brigita Yo’ella Beta Shela. Aku masih berharap akan banyak hal. Aku masih punya impian yang tinggi. Dan aku berharap aku akan mencapai semuanya. Buatku, masa remaja adalah masa yang lumayan semrawut. Ada senangnya, ada sedihnya, ada gobloknya, ada inosennya, ada nakalnya, ada menye-menye gak jelas pula. But its safe to say that I enjoy every single thing on my teenage phase.

Dan sekarang, siap nggak siap, aku harus mulai menjalani hidupku sebagai seorang Shela yang sudah berkepala dua. 

Rabu, 29 Maret 2017

Yogyakarta dan Kamu

Aku menemukan tulisan ini di jurnal yang kutulis pada tanggal 9 Mei 2016.
I remember I was so in love AND desperate back then. I remember it so clearly.
Oh love, what did you do to me? 


----------

Senin, 9 Mei 2016
23:34 

Dan lagi, Yogyakarta, untuk yang kesekian kali.
Aku kembali lagi ke kota ini dengan senyum yang kalau bisa diukur mungkin hanya setengah jari, serta harapan-harapan tak pasti yang belum terpenuhi.
Sudah hampir satu tahun aku berada disini.
Hampir satu tahun aku menyebut kota ini sebagai rumah.
Tapi, kota ini bukan rumah.
Bagaimana mungkin Yogyakarta bisa dikatakan rumah tanpa kamu di dalamnya?
Rumah, bagiku, bukanlah rumah, tanpa kamu.
Setiap kali aku menginjakkan kaki di kota ini, aku seperti berkelana. Aku seperti penjelajah yang keluar dari rumah.
Jauh darimu sudah menjadi makanan sehari-hari. Berada pada jarak ratusan, bahkan ribuan kilometer darimu sudah kuanggap hal yang biasa kujalani.
Bertemu denganmu hanya sebulan sekali, atau parahnya tiga bulan sekali hanya untuk bersua, telah menjadi sesuatu yang melulu menyakiti.
Mereka bilang rindu itu indah.
Tapi ini tidak indah.
Rindu sama sekali tidak indah.
Rindu itu menyiksa.
Tidak satu hari pun kulewati tanpa merindukan kamu.
Tidak satu hari pun semenjak kita setuju untuk menjalani hubungan ini, aku tidak mengharapkan kamu ada disini.
Aku tahu, hubungan ini, entah apapun namanya... ini kacau.
Kita hanya terus berputar. Berkeliling, mengitari orbit yang sama, makin lama makin kacau. Makin lama makin menyakitkan.
Tapi aku bertahan. Kamu juga bertahan.
Mungkin kita berdua hanyalah dua manusia yang sama-sama takut kesepian.
Aku menginginkan kamu.
Kurasa kamupun juga begitu,
Tapi, apakah adil bagi kita untuk menyalahkan semesta? Apakah adil menyalahkan keadaan yang mempertemukan kita di waktu yang salah?
Aku kadang malu. Aku kadang ngilu.
Tapi, kamu adalah bahagiaku.
Jadi untuk sementara, biarlah seperti ini dulu.
Aku untuk kamu.
Kamu untuk aku.
Aku menyayangi kamu. Kamu menyayangi aku; tidak lebih, juga tidak kurang.
Dan untuk sementara waktu, biarlah aku puas berputar dulu diantara Yogyakarta dan kamu.

Arti Rumah

So...
I was looking through my journal, and I found this writing of mine on February 25, 2016. At that time, I was still 18, and I was still in a relationship with a guy. 
When I read this, all I could ever think of was... the fact that a year could change things a lot. 
Oh dear, a year changes you a lot.


---------

Kamis, 25 Februari 2016

And here I am.
Duduk sendiri dengan telinga tersumbat earphone yang mengumandangkan Arthur Theme's-nya Christoper Cross. Mataku nggak bisa berhenti memandangi Jalan Jenderal Sudirman yang sore ini kelihatan padat.
Dari tempat duduk ini, Tugu Jogja nggak keliatan jelas, tapi samping kanannya masih kelihatan sedikit. Nyaris.
Pesananku sudah habis bersih, menyisakan perutku yang lumayan kenyang karena belum makan dari pagi.
Aku sudah menobatkan kursi ini sebagai kursi favoritku. Lokasinya pas. Pemandangan yang disuguhkan juga bebas; kota Jogja yang menggema luas.
Ah, Jogja.
Tempat rantauanku.
Tempatku mengemban ilmu.
Walaupun jauh dari Ibu, aku masih berusaha menjadikan kota ini rumah keduaku.

Katanya, Jogja itu romantis. Benar atau enggaknya, aku masih ambigu. Pendapatku masih rancu. Aku belum mendapatkan sebercak jejak keromantisan di kota ini.
Mungkin belum.
Tapi, sejauh ini, aku menyukai Jogja. Membelah kota ini setiap hari selama enam bulan terakhir membuatku mulai menyebutnya rumah.

Tapi bagiku, rumah bukan sebuah tempat atau bangunan yang bertujuan melindungi kita dari hujan atau panas.
Bagiku, rumah lebih dari sekedar tempat berlindung.
Rumah adalah suasana.
Rumah adalah keadaan.
Rumah adalah perasaan nyaman.
Rumah adalah rasa aman.
Rumah adalah alasan untuk selalu tinggal.
Dan lucunya, aku merasakan semua hal itu padamu.
Kamu adalah rasa nyamanku. Kamu adalah rasa aman yang selama ini belum pernah kurasakan dimanapun.
Kamu adalah setiap alasanku untuk tetap dan selalu tinggal.
Kamu... adalah rumah.
Lucunya lagi, perasaan ini adalah perasaan baru buatku. Perasaan ini belum pernah kutemu. Dan betapa aku ingin perasaan ini tetap tinggal dan tidak berlalu.
Aku menyukai perasaan ini, entah apa namanya.
Dan setengah mati, aku berharap kamu juga merasakan yang sama

Kamu adalah rumah.
Aku ingin selamanya berada di rumah.