Kamis, 07 November 2013

Amy's Diary #1

Hari itu adalah hari Sabtu di awal bulan Agustus. Aku sedang terduduk di pojok sebuah kafe sambil melihat-lihat isi laptop dan mendengarkan lagu melalui earphone murahan yang kubeli di toko elektronik China di ujung blok. Tak banyak yang bisa kulakukan di tempat ini, walaupun pada awalnya aku ingin sekali mengunjungi tempat ini sekali seumur hidup. Aku masih punya 3 minggu lebih di kota yang penuh dengan pantai ini sebelum liburan musim panasku berakhir. Entah aku harus senang atau sedih karena aku masih mempunyai setidaknya 20 hari untuk tinggal di Gold Coast, sebuah kota kecil di bagian negara Queensland, Australia. 
Aku mengaduk coklat panas kedua yang kupesan dari kafe ini. Rasa coklat panasnya enak sekali, padahal kafe ini tidak terlalu besar dan pengunjungnya hanya beberapa. Tapi kafe ini nyaman dengan interior klasik dan juga aroma kopi yang menyeruak manis di setiap ujung ruangan. 
Aku mematikan laptop, menutupnya dan kemudian memasukkannya ke dalam ransel. Aku merasa ada sepasang mata yang mengawasiku, dan saat aku mendongak, aku baru tau bahwa ada seorang pemuda yang sedang menatapku sambil menyesap kopinya. 
Aku menatapnya balik, membuatnya melepaskan pandangannya dariku dan berpura-pura tidak melihatku, padahal aku tau persis bahwa dia tadi melihatku. Aku mengacuhkannya, lalu menyesap coklat panasku lagi dan aku merasa bahwa matanya mengawasiku lagi. Aku secepat kilat mendongak, dan secepat kilat itu pula pemuda itu mengalihkan pandangannya dariku.
Aku mengernyit. Dasar aneh. 
Lalu tiba-tiba, aku merasa bahwa pemuda itu berjalan ke mejaku. Dari sudut mataku, aku yakin sekali bahwa pemuda itu kini sudah berdiri tepat di sebelah mejaku. 
"Hallo."
Dia menyapa, membuatku mau tak mau mendongak dan menatapnya juga.
"Ha-llo?" jawabku canggung, ia membalasnya dengan senyuman tipis.
"Maaf ya, tadi saya melirik kearah kamu dua kali." katanya, tersenyum lagi. "Maaf saya sudah bersikap tidak sopan. Sebenarnya saya hanya penasaran saja. Kamu sepertinya bukan berasal dari daerah ini, ya?"
Aku meneguk ludahku, pemuda ini jelas berbicara terlalu sopan. "Tidak apa-apa. Dan, ya. Saya memang bukan berasal dari sini. Saya berasal dari Indonesia."
Pemuda itu mengangguk-angguk, menilai fakta bahwa gadis sepertiku berasal dari Indonesia sepertinya membuatnya tertarik. 
"Kamu seperti bukan orang Indonesia." Aku sudah menyangka bahwa ia akan mengatakannya. Pemuda itu lantas mengedikkan bahu, menarik kursi yang ada di depanku. "Boleh saya duduk disini?"
"Silahkan." jawabku buru-buru. 
"Terimakasih." katanya, "Kamu bukan orang asli Indonesia, ya? Wajah kamu seperti orang western, berbeda sekali dengan wajah salah satu teman saya yang asli Indonesia."
Aku tersenyum kecil. "Wajah saya ikut wajah Papa yang kebetulan asli Jerman, tapi saya lahir di Indonesia dan besar di Indonesia." 
"Saya sudah tebak." Pemuda itu mengedikkan jarinya, lalu tersenyum lebar padaku. Senyumannya bagus dan giginya putih bersih. "Ada acara apa di Gold Coast? Liburan? Atau mengunjungi pacar?"
Aku mendengus. "Hanya liburan musim panas, kok. Saya kembali ke Indonesia bulan September  mendatang."
"Biar saya tebak... Kamu pasti datang sendirian saja ke Gold Coast?" mata pemuda itu mendelik, membuatku bisa melihat matanya yang ternyata berwarna biru keabuan.
"Sedihnya, ya. Tapi saya tinggal bersama sepupu saya yang kebetulan kuliah disini."
Pemuda itu mengangguk lagi, seperti tanda bahwa ia mengerti. Sementara ia mengangguk-angguk seperti burung pelatuk, aku diam-diam mengamati wajahnya. Wajahnya lonjong dengan garis muka tegas dan juga dagu yang sedikit runcing. Bentuk mukanya nyaris sempurna layaknya pahatan, alisnya tebal berwarna cokelat, lalu bibirnya berwarna merah muda yang sepertinya nikmat sekali jika dicium. Rambutnya coklat gelap, dan warna matanya biru keabuan. Walaupun mempunyai garis muka yang tegas, pemuda ini punya cara bicara yang membuatku kagum karena kesopanannya. Duh, dia adalah pemuda pertama yang nyaris sempurna yang kutemui di Gold Coast selama 5 hari disini. 
"Ya ampun. Saya begitu tidak sopan. Saya lupa memperkenalkan diri saya pada kamu."
Perkataannya membuyarkan lamunanku yang melambung jauh. Aku mengerjapkan mata beberapa kali. Duh, apa yang baru saja aku pikirkan?
"Nama saya Jonathan Mills. Kamu cukup panggil saya Nathan." Nathan mengulurkan tangan dan aku membalasnya. Tangannya terasa besar dan kekar saat menjabat tanganku.
"Amy Summers." kataku, tersenyum padanya.
"Senang berkenalan denganmu, Amy." kata Nathan dengan senyuman mautnya.
"Senang berkenalan denganmu juga, Nathan." jawabku, dan jabatan tangan kami terlepas setelahnya.
"Coklat panas kamu sudah hampir habis. Pesan lagi saja, ya? Saya yang traktir."
Aku menggeleng. "Saya bisa beli sendiri kok..."
"Jangan menolak. Anggap saja hadiah dari pemuda aneh bernama Nathan yang sok pintar ini."
Mau tak mau aku tertawa kecil. Dia lucu juga. Aku sebenarnya bisa saja menolaknya, tapi aku tau aku tidak bisa. Satu cangkir cokelat bisa memuat satu jam pembicaraan dengan seseorang. Dan entah mengapa, saat Nathan mengangkat tangannya dan memesan satu cokelat panas untukku dan untuknya, aku tersenyum diam-diam.
Sepertinya aku akan suka berbicara dengannya. Dan sepertinya, aku akan menikmati sisa liburan ini jika begini caranya.
Aku tau semua ini terdengar aneh. 
Tapi siapa peduli?

1 komentar: