Jumat, 08 November 2013

Amy's Diary #2

Berbicara dengan Nathan adalah sebuah hal yang mengasyikkan. Poin plus-nya adalah bahwa ia luarbiasa tampan dan punya selera humor yang sama denganku. Sudah 2 jam aku berbicara dengannya, dan dalam dua jam itu pula aku sudah menghabiskan 2 cangkir cokelat panas. Nathan lebih parah karena ia menghabiskan 1 cangkir cokelat panas dan 2 cangkir kopi, ditambah lagi vanilla pop tart yang sekarang sedang ia santap. 
Sejauh ini, kami sudah berbicara tentang banyak hal. Tentang hobi dan rancangan masa depan, misalnya. Dia juga bertanya banyak tentang Indonesia, dan aku menanyainya balik tentang Australia. Aku diam-diam bersyukur karena bisa berbahasa Inggris lancar, mengingat Papa dulu selalu menuntutku untuk berbicara Bahasa Inggris dan Bahasa Jerman supaya bisa mudah berbicara dengannya. 
Aku juga berbicara tentang kuliahku yang mengambil jurusan Komunikasi di salah satu Universitas Swasta di Jakarta, dan juga tentang restoran yang dibangun Papa di 12 kota di Indonesia. Nathan mendengarkan semua ceritaku dengan baik. Aku sudah menobatkan dia sebagai salah satu pendengar terbaik atas semua cerita-ceritaku, karena semua ceritaku sepertinya selalu menarik untuknya.
"Jadi kamu sempat cuti kuliah selama satu tahun karena membantu Papa-mu membangun restoran?"
Aku menyesap cokelat panas, lalu mengangguk. "Yepp. Dan hasilnya nggak sia-sia, karena Papa nggak hanya buka cabang di Jakarta saja, tapi sudah meluas di 12 kota besar di Indonesia. Papa malah berencana membuka cabang juga di Berlin."
Nathan menganga. "12 kota? Geez. Papa kamu sepertinya keren sekali."
"Yes. He totally is." kataku bangga, "Tapi jangan lupa. Saya juga ikut andil dalam pembukaan restoran pertama Papa. Dan berkat itu semua, saya jadi tau bagaimana rasanya struggling untuk mencapai sebuah kesuksesan." 
Nathan tersenyum samar, sedikit menyipitkan matanya dan menatapku dengan sebuah tatapan yang tak bisa kutebak. "Ternyata ke-kerenan Papa mu menurun sama kamu."
Aku terkekeh. "Banyak orang yang bilang begitu. Kamu bukan yang pertama."
"Dasar narsis."
Kini aku tertawa. "Tapi benar, lho. Dibandingkan Tiffany, saya jauh lebih dewasa. Yah, setidaknya begitulah kata beberapa orang."
"Tiffany siapa?"
Ah, aku lupa memberi tahu tentang Tiffany pada Nathan. "Tiffany Summers, kakak saya."
Nathan mengangguk-angguk, lalu menyuapkan sesendok vanilla pop tart ke dalam mulutnya. 
Diam-diam aku melirik kearah jam tangan merk Dior palsu yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Sudah jam setengah sepuluh malam. Itu berarti sudah lebih dari 2 jam aku berbicara pada Nathan. Tapi anehnya, aku tidak merasa bosan sama sekali. Aku justru ingin berbicara padanya setiap waktu. Sampai pagi, kalau aku bisa.
"Jadi, kapan kamu akan lulus kuliah?"
Aku melenguh, topik ini adalah topik pembicaraan yang paling aku benci. Semua orang sepertinya selalu menanyakannya padaku, dan setiap kali mereka menanyakannya, aku selalu menjawab, "Secepatnya."
Nathan mengembuskan napas, sepertinya mengerti kalau aku tidak suka ditanyai tentang kuliahku yang tak kunjung kelar. "Tidak apa-apa. Dulu saya juga telat lulus kuliah, kok."
"Really?!" 

"Yepp. Dulu saya malas, kamu tau. Tapi pada akhirnya, saya berhasil lulus dan dapat nilai diatas rata-rata."
Aku mengangguk-angguk, mungkin aku terlalu banyak berbicara mengenai diriku sendiri sehingga aku lupa menanyakan seluk beluk tentangnya.
"Jadi sekarang kamu bekerja?"
Nathan menipiskan bibirnya. "Tidak juga."
Aku menaikkan alis. "Lantas?"
"Saya seorang pengusaha."
Pengusaha! Gee. Tampan, sopan, pengusaha pula!
"Kamu pemilik sebuah perusahaan?" aku berkata datar, sebisa mungkin menutupi kekagumanku padanya. 
"Bukan sebuah perusahaan, hanya bisnis kecil-kecilan saja."
Aku mengibaskan tanganku. "Yang namanya pengusaha, mau sekecil apapun, tetap saja namanya pengusaha." Aku bersikeras. "Jadi, bisnis apa yang kamu miliki?"
"Sebuah kafe."
"Wah!" aku mendadak sumringah. "Kafe apa?"
"Kafe ini."
Aku hampir tersedak oleh kesumringahanku sendiri ketika Nathan menjilat bibir bawahnya dan tertawa melihat ekspresiku. Aku yakin aku melotot sekarang, karena Nathan makin tertawa. Bagaimana tidak? Aku sedang duduk bersama seorang pemilik kafe! Tambahan; pemilik kafe yang sekarang sedang aku kunjungi!
"Kenapa kamu tidak mengatakannya dari awal?!" aku mendadak protes.
"Kamu saja yang tidak menanyakannya."
Aku menggaruk pelipisku yang tidak gatal. "Mungkin saya terlalu berbicara banyak mengenai diri saya sendiri."
"Tidak, kok." katanya, "Tidak apa-apa. Saya suka mendengarnya."
Mendadak aku merasa wajahku memanas. Dan aku yakin sekali bahwa kedua pipiku yang tembam sudah berubah warna menjadi merah tomat sekarang juga.
"You're blushing." ujar Nathan.
"I'm not."
Nathan terkekeh. "Yes, you are." 
"Sudahlah, change the topic, please?" 
Nathan terkekeh hebat setelahnya. Aku yakin tawanya kali ini akan berlangsung lama, jadi akhirnya aku yang angkat bicara. "Nathan, stop." kataku, melihatnya masih terkekeh hebat. Sebenarnya apa yang lucu dari seorang Amy yang sedang tersipu?
"Okay, I'll stop."
"Good."  balasku.
Butuh waktu beberapa detik sebelum akhirnya aku menemukan pertanyaan ampuh untuk membuka pembicaraan lagi. "Kamu masih muda, dan kamu sudah punya kafe sendiri. Saya yakin kamu belum menginjak usia 30 tahun. Kamu sama kerennya seperti Papa saya. Tapi tetap Papa saya yang paling keren, tentu saja."
Nathan tersenyum manis dan memperlihatkan deretan giginya yang rapi dan putih bersih. "Tidak juga. Kafe ini baru dibuka beberapa bulan yang lalu. Belum keren."
"Tapi kafe ini cozy, cokelat panasnya enak sekali." 
"Well, thanks for that." jawabnya. 
Aku mengangguk, tersenyum melihatnya menyesap kopi lagi. Aku jadi penasaran berapa umurnya. "Jadi, berapa umurmu?"
Nathan mengerutkan keningnya. "Pertanyaannya telak sekali." 
Aku tertawa kali ini. "Belum sampai 30, kan?"
"Coba tebak saja. Saya akan mengangguk kalau kamu benar."
Aku menggigit bibir bawahku. Pembicaraan ini semakin menarik. 
"Dua puluh lima?"
Nathan menggeleng.
"Dua puluh dua?"
Nathan merengut, lalu menggeleng.
"Dua puluh delapan?"
Nathan tersenyum, tapi tetap menggeleng. Aku mengerutkan kening, menatap wajahnya dan terus saja menebak-nebak.
"Dua puluh tujuh!" aku berkata mantap. Kali ini pasti aku benar.
Tapi ternyata, Nathan menggeleng lagi.
"Lima belas." aku berkata ngawur, dan Nathan langsung tertawa. Entah kenapa tawanya terdengar merdu di telingaku.
"Dua puluh enam." ucapnya, menyerah pada akhirnya. 
Aku mengedikkan bahu, well--tebakanku hampir benar. 
"Beda tiga tahun dari saya."
Nathan melebarkan matanya, "Benarkah? Tadinya saya kira kamu masih tujuh belas." katanya, "Tapi tidak mungkin, mengingat kamu telat lulus kuliah." ledeknya, dan aku mencibir kesal.
"Berkatalah semau kamu, Mr. Mills."
Nathan tertawa lagi. Duh, tawanya seperti kerupuk. Renyah sekali, dan menyenangkan saat sampai di telinga. 
"Twenty six and available." Perkataan Nathan yang begitu tiba-tiba membuatku berhenti menyesap cokelat panasku. 
"Jangan bercanda." aku mengibaskan tangan.
"I'm not, Amy."
Aku terkekeh geli. "Come on, Nathan. You are perfect, and I'm sure that you already have a girlfriend. A fiance, even."
"Ah. Thank you for saying that I'm perfect, by the way."
Aku terkesiap. Aku tau aku keceplosan.
"Maksud saya, kamu begitu matang dan pasti banyak cewek yang naksir kamu. Masa kamu tidak punya pacar?"
Nathan mengedikkan bahu, "I guess I'm the picky ones." 
"Let me guess... You looking for the perfect one, do ya?"
"I think so. Not the perfect girl, but the perfect one."
Aku mengangguk. "Kamu belum menemukannya?"
"Sejauh ini belum. But I'm still working on it." jawabnya mantap, "Kalau kamu sendiri bagaimana?"
Aku menunduk, lalu menertawai diriku sendiri dalam hati. "Twenty three and available." ucapku meniru perkataannya. 
"That's great for ya."
"Not as great as I expected, I think." 
Nathan mencondongkan badannya kearahku. "Why not?"
"It's a long story." balasku, masih menunduk. "Guess I'm not gonna talk about that."
Aku menatap Nathan, dan aku menangkapnya dalam bola mataku yang kali ini menyipit. Aku tidak mau membahas tentang masa laluku. Tidak untuk saat ini, tidak di tempat ini, tidak pada Nathan--satu-satunya pria Gold Coast yang paling menarik sejauh aku berada disini.
"I understand. Lets change the topic." 
Aku mengulum senyum. "Yeah, we better change the topic."
Aku menggigit bibir bawahku, kembali menatap Nathan yang kali ini juga sedang menatapku. Kami berdua tersenyum, lalu sama-sama kikuk dan memilih untuk membuang pandangan kami masing-masing.
Oh. Entah apa yang sudah kulakukan.
Aku berbicara pada Jonathan Mills selama 2 jam lebih. I mean, he's a total stranger and I met him in a cafe! What a romantic movie's story, I guess! 
Tapi aku tidak peduli. Aku hanya senang berbicara dengannya, mengingat perbincangan kami yang tidak ada habisnya. Aku belum tau dimana ujung pembicaraan kami. Dan sepertinya, aku tidak ingin tau. Berbicara dengannnya membuatku gembira, membuatku kembali merasakan sengatan aneh dan rasa panas di pipiku. Entah karena sikapnya yang sopan, wajahnya yang tampan, selera humor kami yang sama, atau aku memang tertarik padanya.
Ya ampun.  
Apa yang sudah kau lakukan, Amy Summers?!

1 komentar: