Kamis, 11 Juli 2013

THE WAY (Cerbung)

Hi guys! Kembali lagi sama aku. Hahaha. Kali ini bawa cerbung yang sebenarnya udah terbit di majalah sekolah aku. Jadi pemerannya bukan our prince aka Justin Beebur. hahaha. I know sebagian dari kalian pasti belum baca, jadi aku repost deh. Dan as always, copycats is unavailable!!! Think creative for those who want to steal this cerbung. Hahaha. Well--Happy reading ya. :) xx



***

Aku menenggelamkan pikiranku dan memandanginya dari jauh. Mengaguminya dari  jarak pandang yang tak bisa ia raih. Tanpa senyum. Tanpa sapa.”


-------------

                Pindah ke tempat yang jauh dari tempatku berasal bukanlah sesuatu yang menyenangkan.
Sekolah baru. Teman baru. Suasana baru. Kota baru. Semuanya serba baru dan aku sama sekali tak menyukainya. Kau bisa mengatakan bahwa aku bodoh karena menyesal sudah pindah ke kota kecil benama Springfield di Amerika. Karena aku sama sekali tidak menyukai Amerika dan lebih meyukai kampung halamanku di Prancis. Jauh berbeda dengan adikku—Rebecca—yang tampak senang atas kepindahan kami dan aku tak tau apa alasannya.
                Besok adalah hari yang menegangkan karena aku akan masuk ke SMA Saint Michael untuk yang pertama kalinya. Rasanya sulit menerima bahwa aku masuk di tengah semester, bukan di awal semester. Hal itu membuat perutku mendadak ngilu.
                Ya ampun. Bukankah hari pertama di sekolah selalu menyeramkan? Apalagi ini Amerika. Semuanya kelihatan jauh lebih mengerikan dari apapun. Aku lantas mengigit bagian dalam pipi kananku—salah satu kegiatan yang kulakukan jika aku sedang grogi.
                Well. Aku adalah seorang Regina Persie Woodley. Hal apa sih, yang tak bisa kulakukan? Masuk sekolah baru adalah sebuah hal yang gampang. Sebuah hal sepele yang bisa kulakukan.
                Aku lantas berdecak dalam hati. Ah. Aku pasti bisa melakukannya!


------------
                Dari caranya menatapku, aku tau aku tidak akan pernah menggunakan mobil butut warna merah atau mobil sedan hitam yang lumayan bagus untuk pergi ke sekolah. Ayah sudah pergi beberapa jam yang lalu, dan dia meninggalkan sebuah catatan kecil diatas meja yang berkata bahwa ada kejutan buatku di garasi depan. Pada saat aku dan Rebecca sudah siap untuk pergi ke sekolah, kami sempat menilik garasi depan. Kami seketika kaget saat melihat sebuah sepeda motor butut warna hitam yang nangkring disana. Aku ternganga beberapa kali saking kagetnya, apalagi saat kuncinya masih menggantung pada tempatnya.
                “Gina! Kita harus ke sekolah naik ini? Ya ampun, menggelikan.” kata Becca jijik, sama sekali tak mau melihat sepeda motor butut yang saat ini sedang kuraba.
                Aku merekahkan senyum. Sialan, motor butut ini jauh lebih bagus daripada mobil butut merah dan sedan itu.
                “Kau bercanda?! Ini keren!” kataku.
                “Apanya yang keren, sih? Bayangkan jika aku harus kembali mengikat rambut karena rambutku bisa jadi ijuk saat kena angin. Atau rambutku jadi kusut padahal aku sudah pakai kondisioner dobel tadi pagi agar rambutku bisa kelihatan jatuh sempurna saat diikat. Errrr, apa kau mau kulitmu jadi hitam kena sinar matahari langsung?”
                “Berisik!” aku mendengus saat Becca mengatakan perkataannya dengan sangat cepat, “Nikmati saja. Ini keren dan tidak ada salahnya naik motor. Kau belum pernah, kan?”
                Becca menaikkan satu alis sebelum akhirnya merutuk dan menghentakkan kakinya kesal.
                Aku pernah naik motor. Maksudku, Christian—sahabatku di Prancis—pernah mengajariku mengendarai motor sekali. Tapi motor Christian jauh lebih besar daripada motor ini. Motor Christian begitu besar dan tampak seperi harimau, sedangkan motor ini tampak seperti bebek yang hampir tak berbentuk. Aku lumayan bisa mengendarai motor gede Christian, dan aku yakin menaiki motor ini tak akan jauh lebih sulit.
“Naiklah,” kataku saat aku sudah memasang helm pada kepalaku dan memasangkan helm pada kepala Rebecca. Dia merutuk untuk beberapa kali karena takut kuciran ekor kudanya akan kabur. Setelah membujuknya dan sedikit mengancamnya, akhirnya ia berhasil naik walaupun takut-takut.
 Dan akhirnya, kami meluncur menuju sekolah.
                 
-----------------
                Kelas pertamaku adalah kelas Biologi. Aku sudah meminta jadwal pelajaranku ke guru BP untuk sembilan bulan kedepan. Guru BP itu lantas menunjukkan dimana kelas Biologi berada, dan aku berterimakasih karena kelas masih agak kosong dan sepi. Paling tidak, hanya ada sedikit orang yang menyadari bahwa aku adalah anak baru. Aku sedikit tersenyum ketika mereka menatapku dengan tatapan ragu. Aku tak banyak berpikir hingga akhirnya aku memutuskan untuk duduk di kursi paling belakang. Di pojok belakang sayap kanan. Disana hanya ada seseorang yang tampak asik dengan ponselnya.
                “Apakah tempat ini kosong?”
                Dia mendongak. Dia jelas seorang pria, dan matanya yang sayu tampak menatapku dengan tatapan siaga sebelum akhirnya ia berkata, “Ya.”
                Aku sedikit mengangkat senyum, lalu terduduk disana. Oh. Apa yang harus kulakukan? Membaca buku? Mengeluarkan ponselku? Atau tiduran saja dan menyelonjorkan kakiku ke meja?
                “Kau pasti anak baru itu.”
                Aku mendongak, itu suara cowok bermata kehijauan tadi. “Bagaimana kau bisa tau?”
                “Karena kau jadi gossip heboh di sekolah.”
                Aku mengernyit. “Apa?”
                Dia malah terkekeh, “Kau harus tau bahwa semua orang menggosipkan tentang anak baru dari Prancis sejak seminggu yang lalu.”
                “Oh—“ aku mendesah kikuk. Entah aku harus bersyukur karena aku digossipkan atau aku harus menelan pil pahit karena semua orang tau aku orang Prancis.
                “Siapa namamu, ya? Kalau tidak salah—“
                “Regina.” Kataku sebelum dia menyelesaikan perkataannya.
                “Oh—yeah, Regina. Aku Daniel, senang berkenalan denganmu.”
                Kami kemudian berjabat tangan, dan kami berdua sama-sama tersenyum. Diam-diam aku bersyukur dalam hati, karena paling tidak aku sudah menemukan satu teman yang lumayan baik walaupun tampak berantakan dan ngantuk berat.
                “Bagaimana kau menyadari bahwa aku adalah anak baru dari Prancis itu?” kataku ingin tahu, dan Daniel justru tertawa.
                “Aku tidak pernah melihatmu di kelas ini sebelumnya. Dan karena aksen Prancis-mu masih sangat kental.”
                Aku tersentak. “Benarkah?”
                “Ya,” katanya, “Aksenmu aneh, kau tau? Aksen Prancis yang menyatu dengan aksen Amerika. Unik. Dan jangan mengubah aksen itu karena itu baik untukmu.”
                Aku yakin wajahku memerah sekarang, “Thanks.” kataku singkat.
Aku dan Daniel lalu berbicara tentang obyek ringan, dan dia berjanji bahwa dia akan menemaniku pergi ke kantin pada jam makan siang nanti. Atau aku bisa bolos bersamanya pada jam sosiologi—kebetulan aku satu kelas dengannya. Namun dari semua itu, aku merasa bahwa semuanya akan baik-baik saja. 
                Ya. Semoga saja.


-------------------
                Daniel tidak mengingkari janjinya karena dia memang menemaniku ke kantin saat makan siang. Kami sudah mengambil jatah makan siang kami, dan kami terduduk di salah satu kursi tertutup di pojok kantin. Daniel tampaknya bukan anak populer, dan aku bersyukur karena aku tidak ingin bergaul dengan siswa populer.
                “Makan siang kali ini payah,” ujar Daniel, lalu menyedot jus jambu dari gelasnya.
                 “Tidak juga. Paling tidak saladnya enak.” Kami berdua lantas terkekeh hebat.
Aku mendesah, lalu memutuskan untuk menyelesaikan makanku. Aku tidak lapar, dan untuk itu aku melayangkan pandanganku kearah lain. Kearah segerombolan anak yang tampak berkumpul di meja tengah kantin sambil tertawa lepas. Ada beberapa perempuan dengan pakaian cheers, dan beberapa lelaki yang badannya sekekar pemain futbol.
Mereka pasti anak populer.
Sementara Daniel melanjutkan makan saladnya, aku duduk terpaku dan pandanganku melayang-layang di sekitar kantin yang cukup luas ini. Kantin ini bersih, dan makan siangnya lumayan enak walaupun keju kambing yang disiapkan agak sedikit lembek. Tapi untung saja salad wortelnya enak, dan jus jambu itu juga lumayan manis.
Dan ketika pandanganku tertuju pada salah satu meja kantin yang terletak di dekat pastry, aku hampir sesak nafas. Dia adalah cowok tampan yang kutemui di depan sekolah tadi pagi. Tapi sedihnya, dia tidak sendirian. Dia bersama dengan beberapa wanita dan beberapa pria yang juga sama-sama tertawa seperti anak populer tadi.
“Daniel, kalau mereka…maksudku yang itu. Mereka itu siapa?” aku menunjuk tempat duduk mereka dan Daniel langsung mendesah.
“Mereka golongan jenius.”
Aku sedikit tersentak. “Benarkah?”
“Ya. Mereka termasuk golongan populer sebenarnya. Namun mereka juga masuk golongan jenius karena kebanyakan dari mereka adalah anggota organisasi sekolah.”
Aku mengangguk, lalu meneguk ludahku sendiri. Aku akan menanyai Daniel tentang cowok itu. Aku bisa mati penasaran jika tidak tau siapa namanya.
“Kalau pria yang itu—“ aku menunjuknya dengan jari telunjukku, “Yang sedang tertawa itu. Itu siapa?”
“Oh—“ Daniel mengerutkan keningnya, “Yang rambut hitam itu? Dia Troy. Troy McCartney.”
Aku bersorak dalam hati. Namanya Troy. Troy! Nama itu cocok buatnya dengan segala ketampanan dan kemahaseksian bibirnya yang penuh dan yang tampak lembut itu.
“Oh, Troy..” aku berdesis, sukses membuat Daniel menyenggol lenganku dan mengerling jahil kearahku.
“Kau menyukainya, ya? Duh, Regina. Aku sarankan jangan. Kau bisa kalah telak. Troy adalah Ketua OSIS di sekolah ini.”
Aku terperangah seketika. “Ketua OSIS?”
“Ya, sejak dua tahun yang lalu. Dia itu kesayangan guru-guru, kau tau? Dan kabarnya, adiknya yang masih di kelas junior juga dicalonkan jadi Ketua OSIS selepas Troy lulus nanti.”
Aku meneguk ludahku yang terasa pahit dan terasa janggal saat mencapai kerongkongan. Sialan. Ketua OSIS?! Oh. yang benar saja.
Aku memutuskan untuk mengangguk dan tidak menanyai Daniel lagi, takut kalau Daniel akan menginterogasiku dan berprasangka bahwa aku menyukai Troy. Daniel mengambil jatah keju kambingku, dan dia melahapnya dalam balutan roti kering yang dia bawa dari rumah. Aku masih memandangi Troy diam-diam. Dan untungnya dia tidak menyadari bahwa sedari tadi ada seseorang yang sedang memperhatikannya.
Dia tampak manis saat menyuapkan sesendok salad ke mulutnya. Dan ia tampak seksi saat bibirnya mengerucut untuk menyedot sedotan. Dia juga tampak bahagia dengan kehadiran cewek-cewek cantik walaupun kutau mereka bukan anak-anak cheers seperti anak-anak populer.
Aku mengerjap, lalu menyedot jus jambuku dan menatapnya lagi sambil diam-diam tersipu malu. Aku melakukannya beberapa kali, selalu begitu dan seterusnya. Aku menenggelamkan pikiranku dan memandanginya dari jauh. Mengaguminya dari  jarak pandang yang tak bisa ia raih. Tanpa senyum. Tanpa sapa.
Dan kurasa, hanya boleh aku saja yang mengetahuinya.


----------------
Saat alarmku meraung pada pukul enam, aku tergoda untuk melemparkannya ke dinding. Aku kena pusing akut kalau dilihat dari otot-otot tubuhku yang mulai melemah dan juga kepalaku yang pening berat. Sepertinya otakku beku, rasanya seperti ditusuki oleh peniti. Sambil melirik kearah alarm sialan itu, aku menarik selimut putih sampai keatas kepalaku, berusaha meredam suara alarm yang memekakan telinga.
Otakku sudah terjaga. Kalau sudah bangun, aku susah untuk tidur lagi. Untuk itu, aku punya dua pilihan saat ini.
Yang pertama, aku bisa mematikan alarm itu dan kembali meringkuk di balik selimut, berusaha untuk tidur lagi walaupun aku tau itu sulit.
Yang kedua, aku bisa saja mematikan alarm itu dan merangkak keluar dari selimut selembut beludru ini, lalu keluar untuk menghirup udara segar. 
Aku mengigit bagian dalam bibir bawahku, kemudian mematikan alarm sialan itu dengan tangan mengepal. Aku memilih pilihan yang kedua. Untuk itu, aku merangkak keluar dari selimut dan segera membasuh wajahku dengan air keran yang terasa dingin saat menyentuh pergelangan tanganku.
Aku kemudian menyambar celana training dan kaus warna oranye dari lemari, kemudian mengenakannya secepat kilat. Tak lupa sepatu kets yang tampak kotor untuk melengkapi acara jalan-jalan pagiku hari ini. Setelah semuanya siap, aku langsung keluar tanpa mempedulikan Becca dan Ayah yang mungkin masih meringkuk di balik selimut saat ini.

Saat sampai di luar, udara benar-benar terasa menusuk. Masih ada kabut. Masih ada embun yang tersisa di dedaunan atau ilalang di pekarangan rumahku. Aku tidak bisa berdiam diri terus dan berjalan-jalan biasa di udara sedingin ini. Aku bisa mati kedinginan.
Aku berusaha untuk lari. Dan aku melakukannya. Aku berlari pelan-pelan di awal, dan makin mempercepat langkah kakiku saat aku merasakan bahwa tubuhku terasa hangat. Aku berlari makin kencang lagi. Lagi, lagi dan lagi. Aku tau aku bukan atlet lari lintas alam. Tapi melakukan hal seperti ini di tengah kabut yang dinginnya setengah mati bisa membuat adrenalinku naik.

Sampai akhirnya aku berhenti ketika aku merasakan sekujur tubuhku benar-benar lengket oleh keringat. Ditambah lagi dengan nafas memburu dan jantung yang berdetak tidak karuan. Aku lantas menengok kesamping kanan dan kiri. Kabut sudah tidak ada lagi, entah sudah berapa lama aku berlari. Setengah jam kah?
Saat menengok ke samping kanan dan kiri, aku baru sadar bahwa aku sama sekali tidak mengenali daerah ini. Oh sial.
Aku lupa bahwa aku baru ada di Springfield selama satu minggu—satu minggu yang sudah kulewati bersama sekolah dan kawan-kawan baru. Bagaimana aku bisa tau daerah-daerahnya?
Ya ampun. Aku tersesat.

Seperti kehilangan arah, aku mendengar suara derap langkah kaki di belakangku, membuatku seketika menoleh ke belakang dan menemukan seorang cowok yang tengah berlari kearahku. Demi Neptunus. Aku bisa bertanya pada lelaki itu tentang arah jalan pulang ke rumah.
“Hai.” Katanya, suaranya cukup rendah dan lembut untuk membuat tulangku bergetar.
“Hai.” Balasku. Dan saat itu pula lah aku bisa melihatnya lebih dekat.
Ya ampun. Apakah aku sedang berhalusinasi? Apakah aku sedang ada dalam dunia fantasi? Kalau iya, tolong jangan bangunkan aku dari dunia itu! Holly cowl! Pria yang ada dihadapanku kali ini adalah Troy. Ya. Troy McCartney! Ketua OSIS ganteng yang kutaksir sejak hari pertama masuk sekolah. Sungguh, aku tak pernah membayangkan jika aku akan bertemu dengannya pagi ini.
Geez. Aku menahan nafasku saat ia memiringkan senyumnya. Tidak biasanya aku seperti ini.
“Kau darimana?” katanya.
“Aku tidak tau—“ aku mengigit bibir bawahku, “—Ah, rumah Mr. Woodley!”
“Kau kenal dengan Mr. Woodley?”
Ya ampun. Ternyata dia kenal Ayah.
“Aku anaknya.”
Dia manggut-manggut, sukses membuatnya tampak menggemaskan karena setitik keringat jatuh di pelipisnya. Dia seksi dengan rambut hitamnya, harus kuakui itu.
“Kau berlari?”
Aku menahan nafasku sekali lagi karena dia tersenyum lagi padaku. “Ya. Tapi aku tidak tau jalan pulang.”
Setelah itu dia tertawa. Ya ampun. Dia saja terlihat begitu keren saat tertawa. Jenis tertawa yang membuatmu juga ingin tertawa tanpa ada suatu alasan yang jelas.
“Maafkan aku karena aku tertawa.” Katanya, “Tapi aku bisa menunjukkan jalan pulang buatmu.”
Aku bersorak dalam hati. Cowok tampan ini akan mengantarku pulang? Geez. Rasanya aku ingin berteriak!
                “Mari kuantar.” Katanya, dan aku langsung berjalan di sebelahnya tanpa aba-aba lagi. Aroma tubuhnya yang beraroma gummy secara otomatis membuat hidungku terangsang. Dan hal itu makin terasa maskulin saat bercampur dengan aroma keringatnya yang entah kenapa terasa nyaman. Oh, aku sudah gila.
                “Jadi, kau anak Mr. Woodley?” aku bersyukur karena dia yang memulai percakapan.
                “Ya,” kataku, “Kau mengenalnya?”
                “Tentu saja aku kenal. Kau tak mengenaliku? Aku adalah tetangga sebelah rumahmu.”
                Aku terlonjak seketika. Apa katanya tadi? Tetangga?! Seorang Troy McCartney adalah tetangga sebelah rumahku dan aku tak mengetahuinya?!
                “Oh—well…” aku berkata canggung, “Aku jarang keluar. Dan aku sama sekali tidak tau bahwa kau adalah tetanggaku.”
                “Hahahaha. Tidak apa-apa. Lagipula aku sudah sempat melihatmu di hari pertamamu sekolah. Dan kita bertemu di kelas Fisika dan Ekonomi beberapa kali.”
                Aku yakin wajahku sudah semerah tomat sekarang. Gila. Troy menyadari keberadaanku saat masuk sekolah seminggu yang lalu. Oh, ya Tuhan.
                “Ya, dan kau adalah ketua OSIS itu.”
                “Bagaimana kau bisa mengetahuinya?”
                “Aku tau dari seseorang,” kataku sok misterius, “Lagipula siapa sih, yang tidak tau seorag Troy McCartney?”
                Aku yakin aku sudah membuatnya geli karena akhirnya dia terkekeh, “Kau pasti tau dari Daniel. Ah, sudahlah. Jangan bahas tentang jabatanku itu.”
                Aku mengedikkan bahu dan terus berjalan sementara Troy berada di sebelahku. Jujur saja, aku tidak pandai memilih topik pembicaraan hingga akhirnya aku terdiam, menunggunya untuk angkat bicara lagi.
                “Ah, aku sangat tidak sopan. Kita belum berkenalan secara resmi,” katanya, lalu berhenti dan berbalik untuk menatapku, “Aku Troy Nicolas McCartney. Siapa namamu?”
                Entah kenapa aku ingin tertawa saat dia menyodorkan tangannya yang kekar padaku. Aku balas menjabat tangannya yang terasa basah oleh keringat sebelum akhirnya berkata, “Regina Persie Woodley. Senang berkenalan denganmu, Troy.”
                Dia mengangguk dan tersenyum, lalu jabatan tangan kami lepas. Kami melanjutkan perjalanan hingga akhirnya Troy kembali membuka pembicaraan.
                “Omong-omong, aku suka aksen Prancismu.”
                Aku yakin wajahku sudah merah padam saat ini, “Terimakasih.”
                “Jadi kau benar-benar dari Prancis? Maksudku, kau memang asli sana?”
                Aku menggeleng, “Ayah masih punya darah Amerika sedangkan Ibu orang Prancis.”
                “Ah, itu masuk akal,” katanya, “Tapi kau benar-benar berbicara seperti orang Prancis.”
                “Karena aku sudah menghabiskan separuh hidupku disana. Tapi aku terpaksa pergi setelah Ayah dan Ibuku bercerai, dan harus pindah ke Amerika karena hak asuh ku jatuh ke tangan Ayah.”
                Troy menatapku iba, “Oh, maafkan aku.”
                “Tidak apa-apa,” kataku.
                Dan setelah itu keadaan berubah hening. Sampai pada akhirnya Troy menjulurkan tangannya dan menyerahkan sebotol minuman mineral padaku. Aku menerima botol yang isinya hanya tinggal setengah itu dan menegaknya hingga hampir tandas.
                “Habiskan saja jika kau haus,” katanya, sontak membuatku malu setengah mati.
                “Ah, maafkan aku.”
                Dia terkekeh lagi dan dia tiba-tiba mendekat kearahku, sehingga kulit kami bersentuhan. Oh, ya Tuhan. Tolong hentikan ini semua. Entah sudah berapa lama kejadian itu berlangsung hingga akhirnya dia menjauh, dan akhirnya dia berkata, “Kita sudah sampai.”
                Aku terhenyak, lalu menengok ke samping kanan. Benar saja. Ini rumahku. Ah. Kenapa perjalanan kami terasa begitu cepat?
                “Terimakasih sudah mengantarku,”
                Troy mengedipkan satu matanya, cukup untuk membuat lutuku lemas, “Anytime, Regina.
                Aku tersenyum mendengarnya, “Well, I’ll see you soon then?”
                “Yea,” dia mengangguk, “I’ll see you soon then.”
                Aku langsung berbalik dan berusaha menyembunyikan wajah merahku ketika dia berkata seperti itu. Aku baru saja melangkah ke dalam rumah ketika akhirnya Troy memekikan namaku, membuatku berbalik dan menatapnya dengan seribu tanda tanya yang menggantung di atas kepalaku.
                “Regina!”
                “Ya?”
                “Erm—,” katanya sambil mendesis, “Besok Senin, maukah kau berangkat sekolah bersamaku?”
                Holly cowl. Seorang Troy McCartney mengajakku pergi ke sekolah bersama? Apakah ini mimpi? Apa aku baru saja terlelap dan masuk dalam dunia mimpi?
                “Well, itu ide yang bagus. Sepertinya akan menyenangkan,” perkataan itu keluar dari bibirku tanpa kendali. Perkataan itu keluar darisana tanpa bisa kucegah.
                “Baiklah. Aku siap kapanpun kau siap.” Katanya, dan ia tersenyum manis ke arahku.
                “Cool,” kataku, “Sampai jumpa besok pagi.”
                “Sampai jumpa besok pagi.”
                Dan kemudian aku berbalik dan berjalan masuk ke dalam rumah. Dia tidak memanggilku lagi hingga akhirnya aku berhasil masuk ke dalam rumah. Apa yang baru saja terjadi? Aku berjalan bersama Troy McCartney dan dia mengjakku berangkat sekolah bersama? Ya ampun, aku tak bisa menahan senyumku yang tiba-tiba saja tersemat dan merekah di bibirku.
                Pertemuan pertama itu telah menyeretku untuk masuk ke dalam sebuah pusaran yang tak bisa kukendalikan…



To be continued….
Love, BS! :) xx

Tidak ada komentar:

Posting Komentar