Kamis, 11 Juli 2013

YOU (ONESHOOT)

Hi guys!  This oneshoot was made for like a year ago and now I was just gonna repost it. I hope you like it even it kinda mature. This oneshoot is belong to me. And yes--do not copast any scene without a permission. 
And well, happy jolly reading! xx



---------
Temaram sinar bulan yang begitu menentramkan hati seakan memancarkan sinarnya dengan sempurna saat ini. Bintang yang bertaburan tampak berkilau dan berkedap-kedip dengan anggunnya, seolah-olah mengajakku bermain dan selalu bersamanya hingga pagi menjelang. Malam ini mungkin begitu gelap bagi sebagian orang, namun bagiku, malam ini adalah malam terindah dan terdramatis yang pernah kurasakan seumur hidupku.

 Pria yang sedang duduk disebelahku sedang memandangiku dengan tatapan yang tidak bisa dengan jelas kuartikan. Dengan pakaian formalnya, ia melipat kedua kakinya dan duduk persis di sebelahku. Dasinya yang berwarna merah marron tampak dilonggarkan. Kemeja birunya yang begitu maskulin tampak sedikit tertekuk sehingga menimbulkan efek kusut akibat perkerjaan yang menumpuk di perusahaan periklanannya. Tapi justru inilah yang kusukai dari pria ini. Pria ini dilahirkan apa adanya. Ia tidak menjaga imej didepan siapapun. Ia bisa dengan santainya tertawa lepas dihadapan semua orang tanpa memperdulikan bagaimana raut wajahnya saat ia tertawa. Ia bisa dengan eloknya bercerita tentang pekerjaannya dan perusahaannya yang begitu sukses pada klien-nya tanpa mempedulikan puluhan pasang mata yang menatap sirik kearahnya. 

 Pria ini adalah pria yang kucintai seumur hidupku. Sampai aku mati pun, aku akan tetap mencintai pria ini. Dia adalah pria yang sudah menemani hari-hariku selama 4 tahun terakhir. Dia yang selalu aku repotkan jika pekerjaanku menumpuk dan aku harus lembur hingga dinihari. Dia yang selalu meminjamkan bahunya jika aku menangis dan sedang sedih tak menentu. Dia yang mendekapku saat aku benar-benar jatuh di dasar lubang gelap yang paling dalam. Dia yang menopangku disaat aku benar-benar terpukul. Dia yang selalu ada disampingku jika aku sedang menjalani ujian mata kuliah pascasarjana ku. Dia yang selalu mendukungku dan selalu berada di sisiku jika aku berada dalam pilihan yang sulit. Dan dia... dia adalah segalanya bagiku. Dia adalah hidupku. Aku tidak bisa membayangkan jika hidupku berjalan tanpa kehadirannya.

“Aku mencintaimu, Clara.” Desah suaranya yang begitu lembut langsung menerpa tengkukku dengan gemulainya. Sontak seluruh bulu kudukku berdiri dan aku langsung merasakan sebuah sensasi yang tidak bisa kujelaskan dengan kata-kata saat ini. Rasanya.. benar-benar indah.

 Aku menggeliat geli, kemudian menengok kearahnya dan menatap mata coklatnya dalam-dalam, sedalam yang bisa kuraih.

“Aku lebih mencintaimu, Justin.” balasku lembut sambil berbisik di pipinya. Dan dengan gerakan kilat, aku mengecup pipi tirusnya dan tersipu malu dihadapannya. Sudah empat tahun aku berpacaran dengannya, namun aku tetap saja tersipu jika ia melontarkan kata cinta yang membuatku melayang dan enggan turun lagi.

 “Kau cantik sekali hari ini.” Ucapnya lagi sambil mendekatkan wajahnya ke wajahku. Ia tersenyum, kemudian mengecup ujung hidungku dengan lembut. 


Aku perlahan-lahan menutup kedua bola mataku, lalu mulai menikmati setiap detik yang kulewati bersamanya. Dahi kami bertemu, hidung kami bersentuhan, dan nafas kami saling bersinggungan. Bisa kurasakan dengan jelas bau nafasnya yang selalu kusukai. Bisa kurasakan harum gel rambutnya yang selalu kubelikan padanya tiap bulan di minimarket dekat apartmenku. Bisa kurasakan bau cologne nya yang tetap saja harum dan eksis dari pagi hingga malam hari. Bisa kurasakan dengan sangat jelas suara desahan nafasnya yang berat dan begitu menentramkan hatiku. Nafasnya yang hangat dengan anggunnya menerpa kulitku sehingga aku bisa merasakan keindahan luar biasa yang kurasakan malam hari ini.


 Aku jadi ingat kejadian beberapa jam lalu yang membuatku merasa menjadi wanita paling bahagia di dunia. 2 jam lalu, Justin membawaku pergi ke sebuah danau yang begitu sepi. Kami makan malam bersama pada sebuah kapal kecil yang Justin dayung sendiri dari tepi. Tapi aku sontak kaget, ketika ia mengeluarkan gitar klasiknya, dan menyanyikan sebuah lagu cinta untukku. Suaranya begitu merdu layaknya alunan suara malaikat yang menyejukkan hati. Suara baritone-nya dan desahan nafasnya yang begitu kusukai juga menghiasi lagu nya saat itu. Dia memang penyanyi sekaligus pebisnis yang hebat.

 Saat Justin menyelesaikan lagunya, aku langsung bertepuk tangan dan menatapnya dengan tatapan kagum yang jarang kuperlihatkan pada orang lain. Justin juga tersenyum, kemudian mendekatkan letak duduknya kearahku.
 “Kau mau tau alasan ku membawamu ke tempat ini, Clara?” tanyanya dengan manis dua jam yang lalu.
 Aku tersenyum kecil, kemudian mengedikkan bahuku kearahnya. “Memangnya kenapa?” aku malah balik bertanya.

 Justin tidak menjawab, ia hanya tersenyum kecil dan mengeluarkan sesuatu dari kantong jas hitam necis-nya. Dan jantungku langsung berdebar-debar, saat sebuah kotak berwarna ungu keluar dari kantong jasnya.

 Justin menatapku dengan tatapan mautnya yang selalu saja membuatku tak berkutik dan membeku di tempat. Dan dengan perlahan-lahan, Justin mulai membuka kotak itu dihadapanku. Jantungku berdebar lebih kencang dan lebih kencang lagi. Tapi, aku merasa jantungku berhenti berdetak, saat sebuah cincin bermahkotakan berlian warna biru yang begitu anggun terlihat di hadapanku.

“Will you marry me, Clara Anderson?” tanya Justin sambil menyodorkan kotak cincinnya di hadapanku. Ia bersimpuh layaknya seorang pangeran yang menunggu jawaban dari sang puteri. Dan ia juga menunduk kebawah, seolah-olah takut untuk menatapku, atau lebih tepatnya takut dengan jawaban yang akan aku berikan padanya.

 “Justin..” ucapku lirih sambil mengatupkan bibirku rapat-rapat. Dan entah mengapa, tiba-tiba tangisku pecah dan aku menutup mulutku dengan kedua tanganku. Aku benar-benar tidak bisa mendekripsikan perasaanku saat itu. Hatiku seakan ingin meledak saking senangnya. Hatiku seolah-olah diguyur oleh ratusan bunga yang begitu indah. Rasanya.. seperti melayang keatas dan diayunkan oleh dayungan cinta. Ah, rasanya begitu bahagia!

 “Will you marry me, Clara Anderson?” tanya Justin lagi saat itu, tapi kali ini ia menatap kedua bola mataku dalam-dalam. Aku tau, ia ingin pertanyaannya segera terjawabkan. Aku tau, ia begitu mencintaiku dan berharap aku akan menikah dengannya suatu hari nanti.

 Dan aku sendiri… aku juga benar-benar mencintainya. Aku mencintainya dengan segenap hatiku, segenap ragaku dan segenap batinku. Aku benar-benar mencintainya sampai-sampai potongan kata tidak akan pernah bisa mendeskripsikannya.


“Yes Justin. Yes. Aku mau menikah denganmu.” Jawabku mantap sambil kembali menitikkan sebulir cairan hangat yang membasahi pipiku.


Bisa dengan jelas kulihat raut muka Justin yang nerveous mendadak girang bukan main saat mendengar jawabanku. Aku tau ia senang sekali sekarang.
 Justin dengan tangan gemetar langsung memasangkan cincin berlian itu di jemari manisku. Sungguh, aku terharu sekali saat momen itu berlangsung. Aku tidak henti-hentinya menitikkan air mata bahagia. Ini adalah malam terspesial yang pernah kurasakan seumur hidupku. Ini adalah malam terindah, terdramatis, terromantis dan terhebat dalam hidupku. Sungguh, aku bahagia! Aku bahagia!



Dan sekarang, aku dan Justin sedang berada di padang rumput di pinggiran kota yang memang menjadi tempat favoritku bersama Justin. Kami berdua biasa berlama-lama disini. Malah pernah, aku dan Justin hanya berdua di padang rumput ini sampai pagi hari. Dan dari malam sampai pagi hari kami tidak henti-hentinya bercerita tentang banyak hal. Dan biasanya kami akan berpelukan dari malam hingga pagi menjelang. 


“Clara..” sapa Justin lembut sambil meraih tanganku dan meremasnya dengan lembut.
 Aku menoleh, lalu tersenyum kearahnya. “Ya, Justin?” balasku.
 Justin tampak mendesah sebentar, lalu mulai memeluk pinggangku dan mengecup puncak kepalaku.
 “Kau tau mengapa aku melamarmu malam ini?” 


Aku menggeleng pelan, lalu membenamkan wajahku di dadanya yang bidang.
“Karena kau mencintaiku. Benar, bukan?” godaku manja.
 Justin terkekeh beberapa saat, lalu ia mempererat pelukannya. “Aku memang mencintaimu. Bahkan sangat sangat mencintaimu. Tapi aku juga punya alasan khusus untuk melamarmu malam ini.” ucap Justin lembut yang langsung menuai banyak pertanyaan di benakku.
 Aku mendongak, lalu menatap lurus-lurus kearahnya. “Alasan apa?” 

 Justin balas memandangku sambil tersenyum manis. Ia lalu mulai memilah-milah dan membelai rambut brunette ku dengan lembut.
“Aku takut.. aku takut jika aku tidak bisa melamarmu selain hari ini. Aku takut jika aku tidak bisa mengutarakan apa yang ingin kukatakan sejak dulu di lain hari selain hari ini. Dan aku takut.. aku takut jika aku tidak bisa melamarmu sama sekali..” ucap Justin lirih, bahkan hampir tidak terdengar. Ia lalu melayangkan pandangannya keatas, seolah menerawang jauh ke awang-awang sampai menembus ke angkasa. 


“Kenapa kau berkata seperti itu, Just? Ini memang hari yang tepat. Dan aku yakin, ini adalah saat yang benar-benar cocok bagimu untuk melamarku.” Ucapku lemah sambil membelai pipinya. Jujur, aku agak ngeri dengan apa yang Justin baru saja katakan. Justin tidak pernah berkata seperti ini sebelumnya. Dan kali ini, aku bisa dengan jelas melihat kepiluan yang mendalam di raut wajah Justin. Aku tidak pernah melihat wajah Justin yang seperti ini. Dan sebagai seorang pendamping dan kekasihnya selama 4 tahun ini, aku tau persis Justin tidak pernah bersedih sebelumnya. Ia selalu ceria dan bersemangat dalam menjalani semuanya. Bahkan dialah pemberi semangatku saat aku benar-benar berada di titik paling bawah.


“Justin.. jangan berkata seperti itu lagi ya..” ujarku lemah, sambil menahan buliran air mata yang siap lepas landas dari mata coklatku saat ini. Entah mengapa, aku rasanya ingin menangis saat melihat ekspresi muka Justin dan nada bicara Justin yang sangat memilukan saat ini. Rasanya seperti aku juga mengalami kepedihan yang Justin alami. Walaupun aku tidak tau apa sebenarnya kepedihan yang Justin alami saat ini.

 Justin dengan manis membelai pipiku dengan lembut. Dan saat air mata benar-benar meluncur di pipiku, Justin dengan sigap menghapusnya dari pipiku. Ia lalu tersenyum manis kearahku. Entah ini perasaanku atau tidak, tapi senyumannnya kali ini adalah senyum termanis yang pernah Justin berikan padaku.


“Jangan pernah menangisiku, Clara. Jangan pernah menangisiku..” ucap Justin lembut sambil menghujani kecupan di sekitar pelipisku dan pipiku.

 Tapi bukannya berhenti menangis, aku malah tidak henti-hentinya meneteskan air mata dan menangis lagi. Aku terus saja menangis, sampai aku merasakan sesak luar biasa yang berada di dasar hatiku saat ini. 
 “Berjanjilah kau akan baik-baik saja, Justin..” Ujarku lemah dan sedikit tersendat-sendat.


Justin menatapku lagi dan menerawang mataku dalam-dalam, seakan-akan ia tidak akan pernah melihatnya lagi. Dan dengan perlahan-lahan, Justin mendekatkan wajahnya ke wajahku dan mulai menyelipkan bibirnya di bibirku. Ia lalu melumat bibirku dengan lembut dan dengan sangat hati-hati. Ia menelaah setiap inci dari bibirku dengan sangat perlahan-lahan, seolah-olah ia begitu menikmati ciuman kami. Dan selang beberapa saat, ia melepaskan ciuman kami dan membawaku kedalam dekapannya. Ia mendekapku erat, bahkan sangat erat. Ia lalu mencium rambutku dan menghirup aroma tubuhku. Aku hanya diam tak berkutik. Aku hanya terbenam dalam dekapannya dan merasakan detak-detak jantung Justin yang berdetak begitu stabil.


“Kita pulang, ya.” Kata Justin sambil tersenyum simpul kepadaku.
 Aku menatapnya lamat-lamat dan mulai mengerutkan keningku. Dia belum menjawab pertanyaanku..
 “Kita pulang, ya.” Kata Justin lagi, seolah-olah mengetahui apa yang ada di pikiranku saat ini. Ada apa dengan Justin? Mengapa ia begitu berbeda hari ini?

 Akan tetapi ku tidak kuasa menolaknya. Aku hanya mengangguk dan mulai berdiri. Tapi ada satu pertanyaan dariku untuk Justin yang masih menyita perhatianku saat ini. Dan pertanyaan itu belum terjawab sama sekali..

 Semoga saja tidak akan ada hal buruk yang akan menimpaku. Semoga Justin akan baik-baik saja…







----
Author’s View.


Clara duduk di meja kantornya, lalu ia mulai membuka-buka dokumen keuangan yang masih setia bertengger di hadapannya sekarang. Clara sesekali mendesah sambil berdecak kesal begitu melihat dokumen supertebal yang belum direvisi ini. Ia memang bekerja sebagai administrator di salah satu perusahaan ternama di kota Dallas. Ia sudah bekerja lebih dari 3 tahun di perusahaan ini. Dan sebetulnya, Justin lah yang membuat Clara bisa bekerja di perusahaan papan atas ini. Justin lah yang membuat Clara bisa diterima disini. Relasi Justin memang banyak, mengingat ia adalah pemilik sekaligus direktur utama di sebuah perusahaan periklanan paling besar di Amerika Serikat. Justin sebenarnya juga berprofesi sebagai seorang penyanyi internasional, tapi itu dulu. Dan sekarang ia sudah benar-benar fokus akan karier bisinisnya. 


Usia Justin 27 tahun, sementara Clara masih 25 tahun. Mereka pertama kali bertemu 5 tahun lalu, saat acara pernikahan teman Clara yang bernama Tiffani. Saat itu, Justin menjadi salah satu bintang tamu di pernikahan Tiffani. Karena saat itu, Justin memang seorang penyanyi internasional yang naik daun. Kalau bisa diibaratkan, mungkin semua orang akan tau persis siapa Justin Bieber sebenarnya. Mereka bertemu di dekat panggung saat itu. Dan mereka jatuh cinta pada pandangan pertama.


 Tiba-tiba saja terdengar suara ringtone dari ponsel milik Clara saat Clara tengah menandatangani salah satu dokumen yang menumpuk di hadapannya. Clara mendesah sebentar, lalu ia mengambil ponselnya yang tidak jauh dari jangkauannya saat ini. Dan saat ia melihat layar ponselnya, rasa kesal dan capeknya seakan-akan hilang begitu saja. Rasa emosinya seakan sirna. Karena yang meneleponnya kali ini adalah calon mertuanya. Ibu Justin, namanya Patricia Mallette.

 “Hallo mom?” sapa Clara girang. Ia sudah terbiasa memanggil ibu Justin dengan sebutan mom. Karena Pattie sendiri yang memintanya.

 “Clara..” jawab Pattie lemah, seakan-akan tidak memiliki gairah hidup lagi.

Clara langsung menajamkan indera pendengarannya. Ia menegakkan punggungnya dan mendekatkan ponselnya pada telinganya lebih dekat lagi.

“Mom kenapa?” tanya Clara cemas. Clara cemas, karena biasanya jika Pattie meneleponnya ia tidak pernah sedih. Pattie selalu ceria, sama persis dengan Justin.

 Dan tak selang beberapa lama, terdengar suara isakan tangis dari telepon diseberang sana. Clara makin gusar. Ia bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi. Mengapa Mom menangis? Mengapa mom terlihat sedih? Pertanyaan-pertanyaan macam ini langsung menghujani benak Clara layaknya hujan deras yang tak kunjung berhenti.

 “Justin…” ucap Pattie sambil tercekat. Dan itu langsung membuat seluruh bulu kuduk Clara berdiri.

 Clara menaikkan kedua alisnya. Ia lalu mengerutkan keningnya, dan tiba-tiba saja dadanya bergetar dan jantungnya berdetak dua kali lebih kencang. Firasat Clara mendadak menjadi tidak enak. Bulu kuduknya berdiri, dan rasa-rasanya kepalanya sungguh pening saat ini. Clara membatin, pasti ada sesuatu yang tidak beres sedang terjadi saat ini.

“Justin kenapa, Mom?!” tanya Clara setengah berteriak. Nadanya benar-benar menggambarkan nada khawatir. Karena ia memang benar-benar khawatir akan Justin saat ini. Perasaannya berkecamuk. Ia benar-benar berdebar dengan apa yang akan Pattie jawab sekarang.

 “Justin… Justin, Clara.. Justin..” isak tangis Pattie makin menjadi-menjadi. Clara makin panic dibuatnya. Ia benar-benar bingung sekaligus takut tentang kabar apa yang akan diterimanya sekarang ini.
 “Iya, Mom. Justin kenapa?! Dia baik-baik saja, kan Mom? Jawab aku, Mom! Jawab aku!” kali ini Clara benar-benar berteriak. Ketakutannya akan Justin benar-benar mencapai titik puncak. Rasa takut, cemas, khawatir, dan panic langsung menyelubungi relung hatinya saat ini. Clara sudah bisa memastikan bahwa ada sesuatu yang terjadi pada Justin saat ini. Dan dia belum siap untuk mendengar jawabannya….


“Jus-tin.. Jus-tin kecelaka-an, Cla-ra.” Jawab Pattie pada akhirnya.

DEG!!!!!
Clara langsung diam tak bergeming. Aliran darahnya seolah-olah berhenti. Degup jantungnya seolah-olah berhenti berdetak. Dan otaknya seakan-akan tidak berfungsi sama sekali saat ini. Dia benar-benar kaget dengan apa yang baru saja Pattie katakan. Ia benar-benar takut setengah mati. Ia benar-benar syok. Ia benar-benar belum tersadar sepenuhnya. Dan Clara rasa-rasanya sudah tak bernyawa lagi sekarang. Ia terlalu kaget. Dan yang pasti, ia belum siap dengan apa yang akan menimpa Justin selanjutnya setelah ini.


“Justin membutuhkanmu, Clara.. Justin keritis. Datang ke rumah sakit dekat rumah Justin sekarang juga. Justin benar-benar membutuhkanmu, Clara..” ujar Pattie lagi sambil terisak dan menangis tersedu-sedu. Bisa dengan jelas ada rasa ketakutan yang mendalam di nada suara Pattie saat Pattie berbicara. Dan itu juga langsung terjadi pada Clara. Clara benar-benar... takut.


Clara yang masih tercengang setengah mati mencoba bangkit dari tempat duduknya. Ia masih belum mempercayai kabar berita ini. Untuk berdiri dan berjalan saja rasa-rasanya sudah terlalu sulit bagi Clara. Tapi ia harus segera pergi ke rumah sakit. Ia harus segera pergi ke sana sebelum semuanya terlambat. Ya, Ia harus cepat-cepat pergi kesana.


Disana, ada seorang pria yang benar-benar membutuhkan kedatangannya. Disana, ada seorang pria yang tergolek lemah dan sedang berjuang melewati masa kritisnya. Disana, ada potongan dari hatinya yang sedang berdiri di ambang maut. Dan disana.. ada seorang pria yang benar-benar ia cintai sedang bertarung melawan maut untuk bertahan hidup atau… mati.








-----
Clara membanting setir dengan kasar dan tidak sabaran. Ia melajukan mobilnya dengan kecepatan super cepat. Ia benar-benar takut. Ia benar-benar dalam keadaan genting saat ini. Hati nya benar-benar remuk. Hatinya sudah hancur berkeping-keping sampai kepingan yang terkecil. Hatinya seakan-akan melebur… hatinya seakan-akan kehilangan sebuah penyangga… hatinya benar-benar rusak…


Deringan telepon dari ponsel Clara langsung menggema lagi di sekeliling mobilnya. Clara makin gusar dan makin panic. Dan saat Clara melihat layar telepon, hatinya langsung berdebar tidak menentu. Kali ini Pattie lagi yang meneleponnya. Clara makin takut. Nyalinya benar-benar ciut untuk mendengar apa yang akan Pattie sampaikan. Tapi ia mencoba mentabahkan hatinya. Apapun yang akan didengarnya dari Pattie harus ia terima. Apapun yang akan Pattie sampaikan harus diterimanya dengan lapang hati.


“Ya, mom?” ucap Clara lirih, seakan benar-benar takut dengan apa yang akan Pattie katakan. Dan Clara berusaha membendung gundukan air mata yang akan mengalir dari mata indahnya saat ini. Dan sungguh, saat ini ketakutan Clara berada di titik paling atas.


Di seberang sana, tidak terdengar jawaban apapun. Yang terdengar hanya suara isakan tangis yang begitu menggema dan begitu keras. Yang ada hanya suara tangis seorang wanita yang tedengar begitu memilukan. Dan suara isakan tangis itu makin jelas terdengar di telinga Clara saat ada seorang pria yang berbicara di seberang sana.

 “Kau tidak perlu cepat-cepat datang kesini Clara. Hati-hati di jalan.” Ucap orang di seberang sana dengan tegas sambil memutuskan sambungan telepon.

Clara diam tak bergeming. Darahnya seakan membeku. Dan rasanya ia sudah mati dan melayang-layang layaknya arwah saat ini. Dada Clara benar-benar sesak. Rasanya oksigen begitu sulit diraih olehnya saat ini.

 Dan sekarang Clara menyadari suatu hal. Clara tau mengapa Pattie menangis begitu keras di telepon tadi. Clara tau mengapa tadi suara pria yang tak lain adalah ayah Justin menyuruhnya untuk tidak usah terburu-buru ke rumah sakit. Ia tau mengapa nada bicara ayah Justin terlihat begitu memilukan. Ia tau.. ia tau semuanya….


Dan saat ia benar-benar sadar, ia langsung bisa merasakan rasa sesak yang begitu mendalam saat ini. Ia langsung bisa merasakan luka perih yang mengganjali hatinya sekarang. Rasanya benar-benar perih dan sakit.. Dan seketika bahunya berguncang tidak karuan. Tangisnya pecah. Dadanya benar-benar sakit luar biasa. Dan pikirannya langsung melayang pada satu orang sekarang.


Justin, kekasih hatinya dan calon suaminya, sudah tidak berada di dunia ini lagi. Separuh hati Clara sudah hilang. Hilang bagaikan kapas dihembus angin..








-----
Clara mengusap air mata yang kembali mengalir di pipinya dengan kasar. Kacamata hitam besarnya sudah tidak bisa menutupi seberapa banyak Clara menangis selama ini. Bahkan air mukanya sudah tidak bisa menutupi seberapa besar kepedihan hatinya saat ini. Hatinya benar-benar hancur. Hatinya benar-benar sakit sampai tidak bisa dituangkan dalam kata-kata. Yang jelas, ia masih sulit menerima kenyataan tentang apa yang baru terjadi padanya saat ini.

 Pemakaman Justin baru saja selesai dilaksanakan. Suasana haru dan tangis yang tak kunjung berhenti juga menghiasi pemakan Justin beberapa jam lalu. Clara sudah pasti tidak kunjung berhenti menangisi kepergian Justin. Ia masih belum bisa menerima semuanya. Ia masih belum bisa menerima jika kekasihnya, yang tak lain adalah calon suaminya, meninggal dalam kecelakaan tragis dalam perjalanannya ke Texas. Justin memang dijadwalkan mengisi meeting di Texas kemarin siang. Tapi, dalam perjalanannya ke Texas, ia malah harus kehilangan nyawanya dan pergi meninggalkan Clara disini sendirian. Dan untuk selama-lamanya.


“Clara..” sebuah suara yang sudah Clara hafal diluar kepala langsung membuyarkan Clara dari lamunan dan tangisannnya.
 Clara mendongak, lalu menatap siapa yang sedang menyapanya.
“Mom..” jawab Clara lirih, lalu menunduk lagi. Dan saat menunduk, ia kembali menitikkan airmatanya yang sudah terbuang begitu banyak hari ini.

 Pattie beringsut memeluk Clara dan menenangkan Clara dari tangisnya. Pattie memeluk Clara dan mengusap punggungnya layaknya seorang ibu kandung yang sedang meredakan tangisan putri kesayangannya. Dan saat Pattie memeluk Clara lebih erat lagi, Clara langsung menangis tersedu-sedu. Ia menangis sepuasnya di bahu Pattie. Segala kerisauan, kesedihan, kesesakan, dan ketakutan Clara seolah-olah ditumpahkan di bahu Pattie sekarang. Dan Pattie tau persis, bahwa Clara berada dalam posisi sulit saat ini.


“Aku tau bagaimana perasaanmu, Clara. Aku tau..” ucap Pattie lembut berusaha menenangkan Clara sambil ikut menangis. Pattie pun masih belum bisa menerima jika anak kesayangannya mati sia-sia hari ini. Ia masih belum bisa menerima jika Justin, putranya yang selalu ia banggakan sudah pergi untuk selama-lamanya. Pattie merasa sangat terpukul dan merasa jatuh di lubang yang paling dalam, begitu pula dengan Clara. 

 Pattie melonggarkan pelukannya dan menatap Clara dalam-dalam. Ia lalu membelai rambut Clara dan mengecup dahinya dengan lembut.


“Kau tetap anakku Clara.. Kau tetap anakku.” Ujar Pattie lembut.
Clara mengangguk lemah, lalu setitik air mata mulai membasahi pipinya lagi. 
 Pattie tampak mengeluarkan sebuah amplop dan kotak berwarna perak dari tasnya dan memberikannya pada Clara. Pattie tersenyum, lalu membelai rambut Clara lagi dan berkata, “Ini kutemukan di tas kerja Justin sebelum dia kecelakaan. Ini untukmu,” ujarnya lembut.


Clara melihat apa yang ada di tangan Pattie dengan ragu-ragu, namun ia tetap menerima amplop dan bingkisan itu. Setelah itu, ia menatap Pattie dan menitikkan setitik air mata lagi.


“Aku begitu mencintai Justin, Mom..” kata Clara dengan suara serak. Ia lalu menunduk dan kembali menangis. Tidak terhitung lagi berapa banyak airmata yang sudah ia keluarkan hari ini.
 Pattie hanya mengangguk, kemudian ia mengusap lengan Clara dengan sayang.
“Justin juga mencintaimu, Clara. Dia sangat mencintaimu. Bahkan cintanya padamu lebih besar dari pada cintamu padanya. Mom tau persis akan hal itu. Mom tau persis..” jawab Pattie berusaha menghibur Clara. Clara hanya menatap Pattie dengan tatapan nanar. Tapi kemudian ia mengangguk lemah kearah Pattie. Ia berusaha mengerti semuanya. Walaupun sebenarnya ia masih belum bisa mengerti dengan cobaan yang sedang ia alami saat ini.


“Mom harus pergi. Jaga dirimu baik-baik, sayang. Jika kau ada keperluan apapun, segera telepon mom. Ingat, aku adalah ibumu. Dan kau.. kau masih menjadi anakku sampai kapanpun.” Ujar Pattie lembut, sambil menatap mata Clara dalam-dalam, sedalam yang bisa ia capai.


Clara hanya mengangguk lemah, lalu ia membiarkan Pattie pergi dari hadapannya.


Clara memandangi amplop surat dan sebuah kotak perak yang ada ditangannya saat ini. Ia rasanya ingin menangis saat melihat tulisan tangan Justin yang terlihat begitu rapih di bagian depan amplop ini. Dan dengan gerakan halus, Clara mulai meraba tulisan Justin dan mulai membuka amplop itu dengan hati-hati. Dan saat surat sudah benar-benar terbuka, rasanya hatinya benar-benar meleleh. Hatinya benar-benar melebur. Hatinya bertambah hancur lagi. Dan kesesakan luar biasa langsung menjalar di seluruh tubuhnya saat ini. Lalu, Clara mulai membaca satu-persatu katayang Justin rangkai di surat itu.





Dear my angel, Clara Anderson.


Hai, Clara. Bagaimana keadaanmu, sayang? For sure, kau pasti dalam keadaan luar biasa baik saat ini. Kau mau tau perasaanku saat ini? Hahaha, asal kau tau saja, rasanya masih sangat sulit bagiku untuk mempercayai bahwa aku akan menikah denganmu sebentar lagi. Rasanya sangat sulit mempercayai bahwa hubungan kita sudah berjalan selama lebih dari 4 tahun. Dan sampai sekarang, aku masih sulit mempercayai bahwa kau mau menerima lamaranku tadi malam. 


Kau masih ingat waktu pertama kali kita bertemu di pesta pernikahan Tiffani? Kau terlihat begitu mempesona disana, sampai-sampai kau membuatku merasa sebagai pria paling beruntung di dunia karena bisa melihat kecantikanmu yang luar biasa. Dan, aku memang pria paling beruntung di dunia. Aku bisa mengenalmu, aku bisa mengetahui seluk belukmu yang terdalam, aku bisa menjadi pendampingmu, menjadi sandaranmu, dan bahkan bisa menjadi penyangga untukmu. Aku adalah pria paling beruntung saat kau mau menerimaku menjadi pacarmu 4 tahun yang lalu. Aku beruntung karena bisa menciummu dan memperkenalkanmu sebagai kekasihku. Aku beruntung bisa membawamu ke Roma dan Paris pada saat liburan musim semi kita 3 tahun lalu. Aku beruntung bisa tidur disebelahmu, dan memelukmu hingga pagi menjelang. Aku beruntung karena pernah menjadi sesuatu yang berharga untukmu selama 4 tahun ini. Sungguh, aku adalah pria yang paling beruntung di dunia ini.


Dan sekarang, aku yakin, kau sedang menangis. Aku tau itu, Clara. Aku bisa merasakannya. Bahkan jauh sebelum aku benar-benar meninggalkanmu. Aku tau, aku harus meninggalkanmu tidak lama lagi. Aku tau, aku tidak akan pernah bisa memilikimu seutuhnya dan sampai selama-lamanya. Aku tau, aku pasti akan pergi meninggalkanmu, walau aku tidak tau kapan aku akan benar-benar meninggalkanmu. Untuk itu, aku melamarmu tadi malam. Aku senang sekali saat kau mau menerima lamaranku. Rasanya sangat bahagia, asal kau tau saja. Tapi, aku juga merasa takut.. Aku takut kalau aku harus benar-benar meninggalkanmu kelak. Dan sekarang, semuanya sudah benar-benar terjawabkan. Semua ketakutanku telah menjadi kenyataan..


Aku tau Clara sayang, ini tidak adil untukmu. Tapi percayalah, ini yang terbaik untuk kita berdua. Terimakasih Clara, kau sudah mau menemaniku selama 4 tahun ini. Terimakasih untuk segala sesuatu yang telah kau perbuat padaku. Terimakasih sudah menjadi seseorang yang paling kucintai di dunia ini. Terimakasih atas segala kebaikan yang telah kau lakukan kepadaku. Terimakasih sudah menerimaku apa adanya. Terimakasih Clara sayang.. Terimakasih..


Dan aku minta maaf akan segala perbuatanku selama ini padamu. Maaf karena aku telah meninggalkanmu. Maaf untuk segala kesalahan yang sudah kuperbuat padamu selama ini. Maafkan segala kesalahanku yang tidak akan pernah bisa kujelaskan satu-persatu. Maafkan aku, Clara. Maafkan aku..


Dan aku mohon, jangan pernah tangisi aku. Airmatamu terlalu berharga untuk menangisiku. Ingatlah segala kenangan baik yang sudah kita lalui bersama. Ingatlah segala kenangan terindah yang sudah kita lewati berdua. Dan aku yakin, dengan mengingat itu semua, kau akan lebih mudah melupakanku..


Dan pada akhirnya, Clara.. Ingatlah dan ketahuilah, walaupun aku sudah tidak ada, aku akan selalu ada di hatimu, di sisimu, dan dimanapun engkau berada. Aku akan terus mendampingimu walau aku tidak terlihat.


Dan ketahuilah.. aku benar-benar mencintaimu. Aku sangat mencintaimu sampai-sampai aku tidak sanggup berkata-kata untuk mengatakannya dan menjelaskannya. Tapi yang jelas, aku sangat mencintaimu. Sangat sangat sangat mencintaimu!


Dan akhirnya.. Sampai bertemu lagi, Clara. Terimakasih atas segala pengorbanan dan cintamu untukku. Aku mencintaimu lebih dari apapun.


Love,
Justin Bieber, your invisible husband.





Setitik air mata langsung membasahi surat itu. Clara mulai merasakan bulir air mata berderai deras di pipinya. Makin lama makin deras makin deras lagi..


Clara mulai terisak, dadanya terasa nyeri. Dadanya sungguh-sungguh terasa sakit. Tubuhnya berguncang tidak karuan. Mulutnya mengatup dan terbuka untuk mencari secercah oksigen yang tiba-tiba terasa sangat susah diraihnya. Susah payah Clara mengambil nafas. Susah payah ia tidak terisak dan menangis tersedu-sedu. Tapi itu tidak berhasil. Clara mengigit bibir bawahnya keras-keras lalu meremas surat itu dengan perasaan perih luar biasa. Clara tidak mampu bersuara, Clara tidak mampu berkata, semuanya terlalu sulit, semuanya begitu sakit.

 Dan dengan gerakan lamban, tangan Clara mulai menjelajahi sebuah kotak perak yang juga ada di tangannya saat ini. Dan masih sambil menangis, ia membuka kotak itu dengan perlahan-lahan dan menemukan satu album foto cantik disana.

 Clara menangis makin deras sambil mencoba membuka satu persatu lembaran dari album foto itu. Dan tangisnya makin menjadi-jadi, saat melihat berbagai pose dan gayanya bersama Justin tertempel dengan anggun di album foto itu.


Disana ada foto-foto mereka saat mereka berada di Roma. Disana juga ada foto-foto mereka saat mereka ada di Verona dan Paris. Ada juga foto mereka saat mereka berciuman diantara burung-burung yang berterbangan. Ada juga foto mereka yang sedang berenang. Ada foto mereka yang sedang berciuman di dalam air. Ada foto mereka yang sedang bermain gitar bersama di tengah jalan yang sepi. Ada juga foto mereka bersama seekor kucing angora yang mereka beli bersama di petshop dekat apartment Clara. Semuanya ada disana. Semuanya terasa begitu nyata. Semuanya begitu kompleks. Semua kenangan seakan-akan terbuka kembali dan menyisakan lubang yang dalam di hati Clara. Dan di akhir album foto itu, tertuliskan sebuah kalimat yang begitu besar. 

 Tulisannya berbunyi: "JANGAN MENANGISIKU, CLARA. TATAP TERUS MASA DEPANMU. AKU ADA DISINI, DI HATIMU. AKU MENCINTAIMU. SAMPAI BERTEMU DI SURGA."

 Clara menangis lagi, lalu sekelebat kejadian-kejadiannya bersama Justin selama 4 tahun ini kembali terputar layaknya video yang terus berputar. Semuanya berputar dengan jelas. Dari awal mereka bertemu, sampai pada saat tragis ini. Semunya begitu menyakitkan, memang. Tapi Clara tidak akan pernah bisa melawan apapun. Ia tidak mungkin bisa melawan takdir.


Clara mendongak, lalu ia mengusap airmata yang mengalir di pipinya dengan kasar. Justin menyuruhnya untuk tidak menangis. Dan Clara tidak boleh menangis! Ya, Clara tidak boleh menangis!


Dan pada saat ia melayangkan pandangannya, tatapannya langsung tertuju pada suatu titik di ujung sana. Dan sontak Clara langsung tercengang setengah mati saat mendapati siapa yang berdiri di ujung sana. Dadanya membuncah, dan seakan-akan harapannya yang telah sirna menjadi cerah kembali.


Disana.. ia melihat Justin yang tengah tersenyum dengan pakaian serba putihnya.


“Justin…,” lirih Clara pelan sambil mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Ia benar-benar melihat Justin sekarang. Ia benar-benar melihat Justin! Ia melihat Justin!!


Justin hanya tersenyum manis padanya saat ini. Dan dengan gerakan bibirnya yang tidak terdengar, Justin mengatakan sesuatu pada Clara.
 “Jangan menangis.” Ucapnya dengan mimik bibir dan mukanya.

 Clara hanya tersenyum haru, kemudian mengangguk pasti kearah Justin. Ia bisa melihat bagaimana Justin dengan tenangnya tersenyum manis padanya saat ini. Rasa-rasanya ia ingin memeluknya saat ini juga, tapi Clara sadar ia tidak akan pernah bisa memeluk Justin lagi sampai kapanpun. Ia hanya dapat merasakan kehadiran Justin saja.


Justin lalu berkata sesuatu lagi kepada Clara melalui gerakan bibirnya. Dan kali ini, ia tampak tersenyum lebih lebar.
 “Aku mencintaimu,” katanya.


Clara langsung mengangguk cepat dan membalas ucapan Justin. “Aku juga mencintaimu, Justin.” ucapnya.


Justin tampak lega dengan ucapan Clara. Dan Clara pun juga tampak lega karena bisa melihat Justin lagi untuk terakhir kalinya, walaupun Justin hanya seorang arwah sekarang. Dan selama beberapa detik, mereka berpandangan. Mereka berpandangan dalam-dalam seakan melepaskan segala rindu dan kegundahan mereka. Mereka menyimpan memori wajah satu sama lain, seakan-akan menjadi memori tersendiri untuk hidup mereka masing-masing dialam yang berbeda.


Dan dengan gerakan anggun, Justin tiba-tiba saja melayang keatas dan melambaikan tangannya kearah Clara. Justin seolah-olah mengatakan kata perpisahan untuk mereka berdua. Clara mencoba untuk tidak menangis lagi. Dan ia dengan rela melambaikan tangannya kearah Justin yang lambat laun mulai menghilang dari pandangan matanya.


Dan saat tubuh Justin benar-benar hilang dari tatapan matanya, Clara tidak menangis. Ia mencoba untuk tegar, seperti yang Justin inginkan. Clara tidak akan menangis. Clara akan kuat. Clara akan menjalani hidup ini dengan lapang dada, walau tanpa Justin.


Dan Justin, ia akan selalu hidup di hati Clara. Dia tidak akan pernah mati. Api nya tidak akan pernah padam. 
Dan mereka.. mereka akan selalu mencintai, walaupun mereka berada di suatu alam yang berbeda sekalipun. 



END 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar